HALAL IS MY WAY
Baca Juga
Beberapa
waktu terakhir, saya disibukkan dengan project dari Professor saya yang
bersumber dari ITRI, sebuah lembaga riset plat merah Taiwan. Mereka ingin
mengadakan semacam riset pasar sekaligus pembuatan SOP untuk produk-produk
halal segar, seperti daging mentah atau produk olahan daging. Ini bukan tanpa
alasan, karena sejak Presiden Tsai Ing Wen mencanangkan kebijakan barunya
"New Southbound Policy", isu tentang halal semakin seksi di Taiwan. Ini karena dengan
kebijakannya yang fokus ke negara-negara di Asia Selatan, salah satunya adalah
Indonesia, maka kerjasama di berbagai bidang akan semakin kuat yang salah
satunya adalah ekonomi, ketenagakerjaan, pariwisata dan pendidikan. Menurut
catatan imigrasi Taiwan, terdapat kurang lebih 250 an ribu orang Indonesia yang
bermukim dan bekerja serta belajar di Taiwan. Dan mayoritas adalah muslim.
Karena
project ini juga, pada akhirnya saya harus berkeliling ke beberapa kota di
Taiwan untuk mencari suplier daging halal dan toko/supermarket lokal di Taiwan
untuk diajak bekerjasama menggarap project riset 3 bulan ini. Tulisan ini tidak
akan mengupas tentang project ini, melainkan ingin berbagi cerita hikmah yang
saya dapat ketika bertemu dengan para pelaku ekonomi dan bisnis makanan halal
di Taiwan.
Taiwan Yang Islamophobia?
Saya
bermukim di Taiwan sudah lebih dari 3 tahun sejak 2013. Lingkungan pergaulan
saya adalah kampus dan lingkungan sekitar kampus. Namun saya agak terkejut saat
mendatangi dan menawarkan kepada beberapa pemilik toko / supermarket local
tidak jauh dari tempat tinggal saya yang menolak untuk bekerjasama menjual
daging halal.
Saat
saya tanyakan alasan mengapa mereka menolak, mereka tidak mau menjelaskannya. Oh iya, saya mengajak kolega saya di
kampus yang orang Taiwan tentunya untuk menjadi penerjemah saya. Saya agak bingung dengan penolakan ini,
karena di toko mereka sendiri mereka menjual daging sapi dan babi. Tapi
anehnya, saat kami menjelaskan bahwa ini adalah daging sapi halal, yang artinya
disembelih dengan cara Islam, mereka tiba-tiba menolak.
Berselang
sehari, kolega saya menceritakan bahwa sesampainya dia dirumah setelah
mengunjungi toko tersebut, dia menanyakan kepada orangtuanya. Sebagai orang
Taiwan, apakah mereka mempermasalahkan atau tidak, jika ada produk daging dengan
label halal yang notabenenya produk yang bisa dikonsumsi oleh muslim? Dan
orangtuanya menjawab tidak masalah. Selama itu layak dikonsumsi dan aman, bagi
orangtuanya ada atau tidak ada label halal itu tidak menjadi soal.
Ia
melanjutkan ceritanya, ternyata kadangkala ada orang Taiwan (tua) yang sengaja
tidak mau menjual produk yang berbau agama tertentu karena takut dicap negatif
oleh pelanggannya. Saya cukup terhentak mendengarkan penjelasannya dia yang
ini. Masih menurut dia, saat si pemilik toko menjual daging halal yang
notabenenya untuk muslim, para pelanggan akan mencibirnya karena menjual
sesuatu dikarenakan agama. Alhasil, para pelanggannya jadi emoh untuk berbelanja di toko tersebut. Ini yang tidak diinginkan
oleh si pemilik toko tersebut.
Cerita
ini cukup kontras menurut saya terhadap kesan yang saya dapat selama tinggal di
Taiwan sejak 2013. Dalam pandangan saya, Taiwan adalah negara terbuka yang
sangat toleran terhadap semua agama. Bahkan agama benar-benar dipisahkan dari
urusan public dan menjadi domain
pribadi masing-masing. Bisa jadi, yang terjadi kemarin ini adalah special case yang kebetulan saya jumpai.
Saat
saya sampaikan cerita ini kepada professor, dia cukup terkejut. Dia bahkan
meminta saya untuk membawanya menemui si pemilik toko tersebut. Tapi urung
dilakukan, karena masih banyak hal lain yang perlu kami selesaikan daripada
hanya menanyakan soal ini kepadanya. Entahlah,
mungkin benar ini hanya cerita segelintir orang saja. Yang jelas, bagi saya
Taiwan adalah tempat yang nyaman untuk semua agama, tak terkecuali Islam yang
angka pertumbuhannya semakin menggembirakan tiap tahunnya.
Luruskan Niatmu, Maka Allah Akan
Memudahkan Urusanmu
Saya
menemui beberapa orang dalam kurun waktu 2 minggu terakhir ini. Salah satunya
adalah pemilik salah satu penjualan daging halal terbesar di Taiwan. Ia adalah
seorang muallaf yang memulai usaha pemotongan dan penjualan daging halal di
Taiwan sejak tahun 2015. Sejak menjadi muallaf, ia langsung jatuh cinta
terhadap makanan halal. Baginya halal adalah bukan sekedar syarat, melainkan
sebuah gaya hidup. Ada kebaikan di setiap makanan halal yang dikonsumsi.
Berangkat
dari kecintaannya terhadap makanan halal serta semangatnya untuk mengenalkan
makanan halal, terutama daging halal di Taiwan, ia membuka usaha pemotongan dan
penjualan daging halal di Taiwan. Ia tidak menjadikan keuntungan materi sebagai
tujuan utama. Ia hanya ingin menularkan semangat dan kecintaannya pada makanan
halal kepada masyarakat Taiwan yang masih asing dengan konsep halal dalam
Islam.
“Saya
hanya ingin mendapat ridho-Nya, karena sebagai muslim kita memiliki kewajiban untuk
mendakwah Islam, tak terbatas kepada kalangan muslim saja, juga kepada non
muslim, karena Islam turun membawa rahmat serta semangat yang universal”,
ucapnya pada saya.
Baginya
konsep dalam Islam adalah konsep final terbaik bagi umat Islam. Sedikit
menyitir ayat dalam Alquran, bahwa Islam itu diturunkan bukan hanya untuk
kalangan tertentu saja, melainkan untuk semua manusia di dunia.
Bisa
jadi Islam secara agama (formal) tidak bisa dipeluk oleh semua manusia yang ada
di dunia, namun Islam secara ajaran bisa menjadi cara hidup bagi semua umat
manusia. Dan halal adalah salah satu ajaran Islam yang bisa menjadi cara hidup
universal, tidak terbatas oleh agama yang dipeluk.
Di
poin inilah, pemilik toko ini meluruskan niatnya agar semata-mata apa yang ia
lakukan saat ini adalah karena Allah. Dan ternyata Allah melunasi janji-Nya.
Dulu, tokonya hanya berukuran beberapa petak saja. Kini dalam kurun waktu 3
tahun saja, ia sudah bisa membuka toko yang cukup besar serta [akan] memiliki
cabang dan Gudang penyimpanan khusus di kota lainnya. Ia juga kini menjadi
salah satu pemasok utama untuk bahan makanan halal ke hotel-hotel di Taiwan.
Berniaga dan Berdakwah
Di
hari yang lain, saya bertemu dengan salah satu pemilik restoran halal yang
cukup besar di kotanya. Ia menceritakan bahwa awalnya ia seperti restoran
lainnya. Ia tidak mengenal konsep halal-haram, walaupun ia adalah seorang
muslim sejak lahir. Baginya haram itu adalah babi, anjing, alcohol dan
sejenisnya. Dan halal itu adalah ayam, sapi, dan kambing. Ia tidak begitu
memahami tentang kehalalan sebuah proses. Ia pun membeli daging-daging untuk
restorannya di pasar Taiwan. Baginya asal daging itu bukan daging yang
diharamkan, terlepas dari disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak, dia
tahunya itu bisa dimakan. Sampai satu waktu Allah mempertemukannya dengan
seorang Muslimah berhijab dari Indonesia.
Ia
datang ke restoran tersebut untuk makan siang. Saat akan mengambil lauk daging,
urung ia lakukan. Ia pun bertanya kepada si pemilik restoran tersebut tentang
status kehalalan daging yang ia jual sebagai lauk.
“Apa
maksud njenengan dengan dagingnya
halal atau haram? Saya rasa ini halal, karena ini adalah daging sapi dan ayam.
Bukan daging babi, celeng, atau sejenisnya”
“Maksud
pertanyaan saya adalah apakah daging ini disembelih dengan mengucap nama Allah ataukah
beli di pasar disini?”
“Saya
belinya dagingnya di pasar”
“Oh
begitu. Baik bu, terimakasih. Saya makan nasi dan sayur saja kalua begitu”
Sejak
kejadian hari itu, si pemilik restoran seperti disadarkan dari kealpaannya terhadap kehalalan proses
sebuah makanan. Halal bukan saja dari kandungannya, melainkan juga cara
memperolehnya, dan cara memprosesnya. Ini menjadi suatu keharusan untuk memastikan
bahwa makanan yang disajikan tidak hanya halal, melainkan juga thoyyib.
Ia
bertanya kepada ustadz-ustadz Indonesia
yang bermukim di Taiwan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti
berjualan lauk daging yang dibelinya dari pasar. Ia pun memantapkan diri bahwa ia
harus merubah cara berniaganya. Ia tidak mau menjadi penyebab orang berdosa
karena mengkonsumsi makanannya.
Walaupun
kini ia harus membeli daging halal yang sedikit lebih mahal dari daging yang
dijual dipasaran, baginya itu tidak menjadi masalah. Ia meluruskan niatkan agar
niaga yang dilakukannya bisa dihitung menjadi jalan dakwah baginya. Ia sadar
bahwa ia belum sempurna dalam mengamalkan ajaran Islam, namun ia percaya bahwa
pengamalan Islam bisa dilakukan dalam rutinitas kesehariannya, dan apa yang ia
lakukan dengan dakwah niaganya ini, diharapkan mampu menjadi pemberat amalnya
kelak.
Dan
sungguh Allah menepati janji-Nya kepada manusia yang senantiasa beriman dan
bertakwa kepada-Nya. Dulu ia hanya memiliki toko kecil berukuran 4 x 6 meter. Kini
setelah ia memulai menjual makanan halal, rezekinya seolah tidak terputus. Ia
kini menempati sebuah ruko 2 lantai berukuran besar yang didesainnya sebagai
sebuah restoran. Tiap minggu, ada ratusan pengunjung memadati restorannya,
sampai-sampai mereka harus antri untuk makan disana.
Kini,
setelah semua kejadian yang dilaluinya, mata hatinya semakin terbuka bahwa
tantangannya kedepan adalan bukan menjadikan orang non muslim menjadi muslim
saja secara status keagamaan, namun yang paling penting adalah mengenalkan
nilai-nilai keislaman yang sesungguhnya universal bagi semua pemeluk agama. Nilai-nilai
ini dimaknai sebagai bentuk cara hidup yang paripurna yang menjadikan manusia
sebagai manusia seutuhnya.
***
Halal
ternyata masih dimaknai dengan sangat sederhana sekali bagi sebagian kalangan. Asalkan
bukan babi, anjing, atau alcohol, maka itu artinya halal. Padahal jika dimaknai
secara lebih luas, halal itu sendiri merupakan sebuah cara hidup paripurna
seorang muslim. Halal itu erat kaitannya dengan sifat seorang manusia. Kehalalan
bukan sekedar susunan kimia sebuah makanan, melainkan juga sebuah pesan social tentang
bagaimana manusia harus memperlakukan manusian dan makhluk hidup lainnya. Semoga
kita bisa istiqomah menjadikan Islam
dan nilai-nilai Islam sebagai cara hidup kita [dimanapun berada] sebagai bentuk
ketaatan kita pada Sang Pencipta.
Tags:
Formosa
0 comments