PRAHARA SUSU KENTAL MANIS ; APA YANG SALAH?
Baca Juga
Indonesia sedang diguncang prahara besar minggu ini.
Bukan kudeta politik maupun korupsi, melainkan pemberlakuan aturan baru dari
BPOM tentang pelarangan penyebutan kata susu untuk produk kental manis karena
disebutkan bahwa tidak ada/sedikit sekali kandungan susu dalam produk kental
manis. Yang dominan adalah gula. Bagi sebagian orang, kabar ini seolah
menyentakkan kesadaran mereka bahwa ternyata selama ini mereka merasa dibohongi
oleh iklan dan gaya marketing nya.
Bahkan ada sebagian orang di media sosial mewacanakan untuk menuntut ganti rugi
atas penipuan puluhan tahun melalui produk susu kental manis. Tentu wacana ini
sebenarnya hanya bentuk kekesalan karena kekecewaan mereka terhadap apa yang
mereka pahami selama ini terhadap produk susu kental manis yang nyatanya
berbeda.
Sebelum berbicara
lebih jauh tentang prahara ini, saya coba sarikan aturan dan pengertian susu
yang berlaku di Indonesia. Jika berbicara tentang susu, maka ada banyak varian
dari produk susu itu sendiri, ada susu segar dan ada juga susu murni. Mengacu
pada aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3141- 1998 yang merupakan revisi dari SNI
01-3141-1992 mengenai standar susu segar, maka pengertian susu murni adalah
cairan yang berasal dari kambing serta sapi sehat dan bersih, yang diperoleh
dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah
sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan pengertian susu
segar adalah susu murni yang disebutkan diatas dan tidak mendapat perlakuan
apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya.
Kalau melihat definisi diatas, sudah tentu susu kental
manis tidak masuk dalam 2 kategori susu yang yang disebut diatas. Definisi susu
kental manis sendiri diatur khusus dalam SNI 2971:2011 yang merupakan revisi
dari SNI 01-2971-1998 yang juga revisi dari aturan awal tentang susu kental
manis yang terdapat dalam SNI
01-2971-1992. Di dalam standar ini, disebutkan bahwa susu kental manis
adalah produk susu yang terdiri dari bahan baku utama (susu segar dan/atau susu
bubuk, air, gula); bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan
untuk produk susu sesuai dengan ketentuan tentang bahan tambahan pangan. Di
aturan ini juga, susu kental manis didefinisikan sebagai produk susu
berbentuk cairan kental
yang diperoleh dari
campuran susu dan
gula dengan menghilangkan sebagian
airnya hingga mencapai
tingkat kepekatan tertentu
atau hasil rekonstitusi susu
bubuk dengan penambahan
gula dengan/atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan.
Dari definisi aturan diatas, sangat jelas disebutkan
bahwa susu kental manis merupakan produk susu yang harus mengandung susu yang
bisa berasal dari susu bubuk, susu skim maupun susu segar. Pertanyaan
berikutnya lantas apakah susu kental manis yang saat ini beredar di Indonesia benar-benar
mengandung susu atau tidak, seperti yang banyak diisukan dan viral di media
social?
Susu kental manis sendiri memiliki beberapa varian,
seperti susu kental manis, susu skim kental manis, susu skim sebagian kental
manis, dan susu kental manis tinggi lemak. Dalam table syarat mutu, disebutkan
bahwa kandungan protein (Nx6,38) yang notabenenya berasal dari susu, jumlahnya
bervariasi, mulai dari 4,8 % hingga 6,8 % tergantung varian susu kental manis
tersebut. Pun begitu dengan kandungan gulanya. Dalam satu takaran saji,
kandungan gula/sakarosa yang diizinkan dalam susu kental manis adalah sebanyak
43-48 % untuk semua varian susu kental manis.
Faktanya, untuk 2 merek susu kental manis yang paling
terkenal di Indonesia, jika kita membaca informasi nilai gizi (label gizi) yang
terdapat dalam label produk tersebut, maka sudah sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai contoh dalam susu kental manis indomilk,
disebutkan bahwa per sajian 40 gram, terdapat kandungan gula sebanyak 19 gram
atau sebanyak 48 %, dan protein sebanyak 1 gram atau sekitar 3 %. Sedangkan
untuk merek Frisian Flag, disebutkan
bahwa per sajian 40 gram terdapat 18 gram kandungan gula/sukrosa atau sekitar
45 %. Kemudian terdapat pula 3 % persen kandungan protein. Dari kedua merek
yang sudah dikenal luas oleh masyarakat tersebut, kita bisa menarik kesimpulan
bahwa kandungan yang ada sudah disesuaikan dengan aturan yang ada, walaupun ada
juga yang perlu kita kritisi tentang perbedaan sekitar 1,8 % dari kandungan
protein yang ada di produk kedua brand tersebut
dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Lalu dimana letak masalahnya?
Rendahnya Nutrition Literacy
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di jurnal Preventing Chronic Disease, disebutkan
bahwa Nutrition literacy atau
literasi gizi dipahami sebagai tingkat di mana orang memiliki kapasitas untuk
memperoleh, memproses, dan memahami informasi gizi dasar. Sebagus dan sekomplit
apapun sebuah perusahaan dalam menyajikan informasi nilai kandungan gizi dalam
produknya, namun jika tingkat kemauan masyarakat untuk mencari tahu dan
membacanya (atau lebih populer disebut dengan literasi) kurang, maka akan sia-sia
saja. Kapasitas ini penting untuk menggerakkan seseorang agar mau membaca dan
mencari tahu tentang kandungan nilai gizi terhadap makanan / minuman yang akan
dikonsumsi. Biasanya tingkat literasi gizi ini erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan. Seseorang yang memiliki tingkat literasi gizi yang tinggi, tidak
sembarangan mengkonsumsi makanan dan minuman, karena ia akan memeriksanya
terlebih dahulu. Jika tingkat literasi gizi ini rendah, maka masyarakat akan
mudah untuk termakan iklan, promosi, maupun ucapan orang. Padahal tidak
selamanya hal-hal tersebut selalu benar.
Secara umum, tingkat literasi Indonesia memang cukup
rendah. Dalam daftar yang dikeluarkan oleh PISA, Indonesia berada di peringkat
64 dari 72 negara. Sedangkan dalam daftar yang dikeluarkan oleh The World Most
Literate Nation Study, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Sebuah
peringkat yang kiranya perlu menjadi perhatian bersama untuk segera diatasi.
Pada prakteknya, masyarakat enggan untuk membaca
informasi nilai gizi yang sudah ditempel dan disajikan oleh produsen dalam
produknya. Bisa saja keengganan ini muncul karena Bahasa yang dipakai terlalu ilmiah. Namun bisa juga karena
masyarakat merasa bahwa informasi seperti ini dirasa kurang penting untuk
dibaca. Saya sendiri cenderung fokus ke alasan kedua. Sehingga wajar saat ramai
pemberitaan tentang kandungan susu kental manis yang disebutkan bahwa ternyata
setengahnya adalah mengandung gula, masyarakat ramai-ramai membahasnya,
seolah-olah baru tahu dan tersadarkan, padahal produsen sudah menyediakan
informasi ini sejak awal. Andai saja masyarakat mau membacanya, menanyakannya,
dan lebih kritis terhadap informasi kandungan gizi ini, tentu heboh susu kental
manis tidak akan terjadi seperti saat ini.
False Advertising Dalam Iklan Susu Kental Manis
Kemauan untuk mencari tahu dan keinginan untuk membaca
suatu informasi secara utuh penting diperlukan untuk membangun masyarakat yang
cerdas dan tidak mudah termakan oleh isu dan berita hoax, termasuk false
advertising.
Dalam kamus marketing “American Marketing
Association”, disebutkan bahwa False Advertising
adalah suatu penggunaan informasi yang salah, menyesatkan, atau tidak terbukti yang
digunakan untuk mengiklankan sebuah produk kepada konsumen, serta iklan yang
tidak mengungkapkan sumbernya. Salah
satu bentuk iklan palsu ini adalah mengklaim bahwa suatu produk memiliki
manfaat kesehatan atau mengandung vitamin atau mineral yang sebenarnya tidak
ada.
Kita bisa melihat bagaimana iklan-iklan susu kental
manis di Indonesia di asosiasikan dengan minuman susu yang diminum oleh
anak-anak. Padahal di label yang tertera dalam kemasan jelas menyebutkan bahwa
susu kental manis tidak cocok untuk balita. Namun karena iklan yang ditampilkan
memakai anak-anak sebagai pemerannya, bisa jadi masyarakat kemudian menggeneralisirnya
bahwa susu kental manis bisa diminum oleh semua umur, tak terkecuali oleh
balita. Tidak terbacanya peringatan ini bisa jadi masih erat kaitannya dengan
rendahnya literasi gizi dalam masyarakat kita.
Di iklan-iklan susu kental manis juga di tampilkan
bagaimana produk ini bisa dikonsumsi dengan cara dibuat minuman yang dilarutkan
dalam air dan diminum. Padahal fungsi dari susu kental manis ini hanyalah
sebagai campuran (filling dan topping)
untuk makanan seperti kue, bukan untuk diminum seperti susu segar maupun susu
bubuk. Kesalahan konten iklan ini bisa jadi berasal dari produsen dari
produknya tersebut atau bisa juga berasal dari production house yang membuat iklan tersebut yang salah dalam
mengartikulasikan produk susu kental manis dalam Bahasa dan konten untuk
iklannya.
Jika kita melihat iklan-iklan susu kental manis di
negara lain, tidak kita ketemukan iklan susu kental manis yang menampilkan
anak-anak sedang meminum segelas susu kental manis. Anehnya ini terjadi di
Indonesia. Selain iklan, ada juga
kesalahan yang cukup fatal dalam mengkomunikasikan produk susu kental manis ini
kepada masyarakat, yaitu gambar pada label kemasan. Ada brand susu kental manis yang justru sengaja memasang gambar anak
sedang meminum segelas susu kental manis. Sehingga membuat konsumen percaya
bahwa susu kental manis bisa disajikan dengan cara tersebut.
Iklan-iklan dan cara marketing seperti ini nyatanya terbukti
cukup ampuh untuk menyihir masyarakat agar mau mengkonsumsi susu kental manis
tidak sesuai peruntukannya. Jika saja badan / lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan untuk melakukan filter
terhadap iklan-ikan yang tayang (tidak hanya dilihat dari konten SARA /
Pornografi dan Pornoaksinya saja, melainkan juga isi dari iklan tersebut),
tentu ribut-ribut seperti ini tidak perlu terjadi.
Kurang Maksimalnya
Peran Akademisi Dalam Mengedukasi Masyarakat
Kalau kita merunut siapa yang harus bertanggungjawab terhadap
fenomena susu kental manis ini, maka disana ada peran akademisi yang perlu
dipertanyakan perannya selama ini. Kita tidak bisa pungkiri bahwa akademisi
memiliki peran penting dalam control terhadap masyarakat, termasuk
makanan/minuman/produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai kelompok
masyarakat terdidik, akademisi memiliki kelebihan berupa keilmuan yang mumpuni
dan sumber daya – sumber daya yang lain yang bisa menunjang aktifitas control
tersebut.
Sebagai contoh adalah akademisi di bidang gizi. Di
Indonesia, terdapat 45 perguruan tinggi yang membuka program D3 Gizi, 20
Perguruan Tinggi untuk D4 Gizi, dan 45 Perguruan Tinggi yang membuka S1 Gizi. Jika
saja setiap tahun ada 100 ahli gizi yang diwisuda, artinya ada 11.000 ahli gizi
yang lulus tiap tahunnya. Itu baru akademisi yang bidang ilmunya spesifik dalam
hal gizi. Ini belum termasuk akademisi / ahli dari bidang lain seperti dokter,
bidan, dan ahli kesehatan masyarakat lainnya yang masih relevan dalam
mengedukasi masyarakat dalam hal kegizian. Tentunya ini hanya sebagai contoh
kalkulasi kasar semata. Tugas edukasi adalah tugas semua akademisi dengan tidak
membatasi bidang ilmunya secara spesifik. Namun tetap memperhatikan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Jika saja semua sumber daya akademisi yang disebutkan
tadi dimaksimalkan dalam hal edukasi soal nilai gizi, tentu akan menjadi
gerakan yang luar biasa. Dampaknya akan meningkatkan tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap isu-isu penting seperti kandungan nilai gizi dalam susu
kental manis. Namun faktanya, para lulusan perguruan tinggi justru asik dengan
dirinya sendiri. Tidak ada semacam pertanggungjawaban moral terhadap keilmuan
yang ia dapatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Kalaupun ada, hanya segelintir
saja. Tidak banyak.
Pernah satu waktu teman saya menanyakan kepada salah
seorang warga mengapa ia memberikan susu kental manis untuk konsumsi anaknya
yang masih balita. Padahal teman saya tersebut sudah mencoba menginformasikan
tentang fungsi susu kental manis yang sebenarnya. Apa jawaban si warga
tersebut? “Bu Bidannya saja mengizinkan
kok”. Sungguh jawaban yang membuat kita terbelalak antara miris dan
khawatir.
Dari cerita teman saya tersebut, kita bisa paham bahwa
ternyata masyarakat sangat percaya apa yang disebutkan dan diucapkan oleh
tenaga kesehatan / orang berpendidikan. Namun nyatanya justru si tenaga
kesehatan tersebut entah tidak tahu atau justru malas mencari tahu dan
mengedukasi masyarakatnya tentang kandungan gizi susu kental manis yang
sebenarnya tidak cocok untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Masih ada banyak
cerita-cerita lain sebenarnya yang bisa menjadi justifikasi bahwa peran
akademisi, tenaga kesehatan, dan orang-orang terdidik lainnya belum
memaksimalkan perannya dalam hal edukasi kesehatan masyarakat.
***
Lantas apakah dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
BPOM saat ini sudah efektif dan tepat untuk mengatasi hal ini? Jawabannya bisa
iya, bisa juga tidak. Yang perlu menjadi perhatian adalah susu kental manis
sudah terlanjur terstigma oleh masyarakat sebagai susu yang bisa rutin diminum
harian dan mengandung kandungan gizi seperti susu. Dan ini sudah berlangsung
puluhan tahun. Tentu akan menjadi PR besar untuk merubah stigma tersebut.
Satu hal mendasar yang perlu dan harus segera
dilakukan oleh semua pihak adalah membentuk masyarakat yang memiliki tingkat
literasi lebih tinggi dengan cara memberikan edukasi. Jika ini bisa dilakukan,
maka kelak akan terbentuk masyarakat yang cerdas terhadap pemilihan
produk-produk makanan/minuman, apapun bentuknya. Sehingga mau bagaimanapun
bentuk iklan produknya, masyarakat tidak akan terlalu terpengaruh dan lebih
serius memperhatikan soal nilai gizinya.
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 9 Juli 2018 dengan judul : Salah Kaprah Susu Kental Manis : Literasi Gizi dan Tipu-Tipu Iklan
Tags:
Sospol
0 comments