REDUPNYA MAKNA LEBARAN K[ET]UPAT
Baca Juga
Ilustrasi Ketupat (Sumber : Istimewa) |
Adalah sesuai penanggalan Islam dan Jawa, maka hari
ini adalah hari Lebaran Ketupat atau yang biasa juga disebut lebaran kupat
(Kupat adalah nama pendek dari ketupat, biasa diucapkan oleh masyarakat Jawa).
Lebaran ketupat adalah salah satu perayaan umat Islam di Indonesia hasil
akulturasi Islam dan budaya Jawa garapan
Walisongo.
Lebaran kupat adalah perayaan kemenangan (sama halnya
seperti lebaran 1 syawal) setelah 6 hari puasa sunnah di bulan Syawal. Menurut
salah satu hadits, yang kurang lebih isinya menyebutkan bahwa jika kita
(muslim) melaksanakan puasa ramadhan selama sebulan penuh kemudian disambung
dengan puasa 6 hari dibulan syawal, maka baginya pahala puasa layaknya orang
berpuasa setahun lamanya. Puasa Sunnah syawal sendiri bisa dikerjakan kapan
saja asal masih di bulan syawal. Namun kebiasaan yang utama, puasa ini dimulai
pada tanggal 2 syawal hingga berakhir 7 syawal. Sehingga muslim akan berlebaran
ketupat pada hari ke-8 syawal.
Dalam perayaan lebaran kupat ini, ada perbedaan dengan
lebaran 1 syawal, terutama dalam hal merayakannya. Yang khas dari lebaran ini
adalah adanya makanan wajib pada perayaan lebaran kupat ini, yaitu Ketupat atau
Kupat. Walaupun kadangkala dalam perayaan lebaran 1 syawal pun kita juga membuat
kupat. Namun seiring berjalannya waktu, banyak yang menggantikan keberadaan
kupat ini dengan lontong maupun yang lain saat lebaran 1 syawal. Namun dalam
lebaran kupat, keberadaan kupat tidak bisa tergantikan dengan lontong maupun bentuk
lainnya.
Lebaran kupat sendiri tidak hanya sekedar menjadi
tradisi yang dilaksanakan setiap tahun. Lebih dari itu, kupat yang menjadi
simbol utama dalam perayaan ini adalah anyaman janur kuning yang
menggambarkan jalinan silaturrahmi yang erat, saling membungkus, dan saling
menguatkan. Semacam simbol pentingnya persatuan dan kesatuan. Di beberapa literature
disebutkan bahwa janur kuning, daun kelapa muda, juga bermakna simbol perlunya
mempermuda, terus memperbarui jalinan silaturrahmi agar tidak lekas menua dalam
pengertian menjadi rapuh dan lemah. Sebab, rapuh dan lemahnya silaturrahmi
adalah embrio keterpecahan baik individual maupun kolektif. Dan ini berbahaya
bagi kelangsungan tata hubungan social kemasyarakatan.
Sebagai muslim yang terlahir di Indonesia dan
dibesarkan bersama budaya nusantara, kita beruntung memiliki perayaan Idul
Fitri. Kita juga diuntungkan dengan adanya tradisi dan budaya kupat atau
ketupat sebagai simbolisasinya. Karena kupat bisa menjelaskan hakikat Idul
Fitri dengan mengangkat dan menghargai budaya lokal. Jika dicari dalilnya,
mungkin hal yang seperti ini tidak akan ketemu. Namun lita tidak harus alergi
dengan symbol-simbol budaya seperti ini darimanapun itu asalnya selama tidak
bertentangan dengan agama. Sebab, dalam simbol, terkadang kita bisa menguak
makna tanpa kehilangan esensinya.
***
Namun apalacur, hari-hari ini kita seperti sedang
mengalami krisis identitas. Semua yang dianggap berbeda, di cap salah. Padahal belum tentu yang
berbeda itu salah, karena terkadang perbedaan itu bukan pada hal mendasarnya,
melainkan hanya pada cara mengungkapkannya. Dan ini banyak terjadi disaat kita
tidak memahami makna dan tujuan dari simbolisasi dari apa yang dilakukan.
Seperti yang sudah disebutkan, bahwa selama itu tidak bertentangan dengan
aqidah dan ajaran Islam, serta bisa diambil manfaatnya, tentu sah-sah saja ini
dilakukan.
Seperti yang terjadi pada lebaran ketupat. Banyak
orang yang tidak mau merayakannya, atau bahkan tidak tahu tentang acara ini. Tentu
ada factor-faktor yang mendasarinya. Namun terlepas dari itu semua, ada juga
sebagian dari kita yang merayakan lebaran kupat hanya sebagai tradisi saja
tanpa tahu makna dibalik itu semua.
Jika saja lebaran kupat yang sebenarnya penuh dengan
pemaknaan symbol dan ajaran Islam, direduksi maknanya dengan hanya menjadikannya
sebagai sebuah tradisi turun temurun yang kalau tidak dilakukan maka terasa ada
yang kurang pas (karena dianggap melenceng dari tradisi leluhur), maka ini
sangat disayangkan. Jika diamati, pudarnya makna lebaran kupat ini bisa jadi
akibat factor internal dan factor eksternal.
Faktor internal lebih mengarah pada bagaimana keluarga
dan lingkungan mengajarkan tradisi baik ini beserta dengan pemahamannya. Beberapa
tahun terakhir saya mengamati perayaan ini di beberapa desa di sekitar saya
yang notabenenya adalah masyarakat
Jawa transmigran generasi ketiga, mereka hanya merayakan tradisi lebaran kupat
hanya sebagai seremonial leluhur saja. Mereka membuat selebrasi-selebrasi
tertentu, namun sayangnya tidak tahu apa makna dan tujuan dari selebrasi
tersebut. Sudah sangat jarang orangtua maupun guru ngaji yang mengajarkan makna
penting dibalik perayaan ini. Sehingga generasi-generasi mudanya hanya tau
luarnya saja, tidak menyentuh pada hal-hal esensialnya. Alhasil, saya banyak
menemukan lebaran kupat dirayakan lebih awal dari yang seharusnya. Selain itu, factor
internal lainnya adalah anggapan bahwa tradisi ini adalah tradisi lama yang
tidak kekinian, sehingga dirasa
kurang pas untuk dilaksanakan hari-hari ini. Sedangkan factor eksternal yang
mempengaruhi turunnya popularitas (jika boleh disebut seperti itu) lebaran
kupat adalah menguatnya tren budaya asing dan modern dalam hal perayaan lebaran
itu sendiri yang pada akhirnya menyingkirkan tradisi negeri sendiri.
***
“Bukankah orang yang berhari raya itu adalah yang mencukupkan puasa dan membayar zakat?”
Sama halnya dengan lebaran 1 Syawal, lebaran kupat
juga pada dasarnya hanya dirayakan oleh orang-orang yang melakukan puasa sunnah
6 hari di bulan syawal. Dan ini kiranya perlu menjadi perenungan bagi kita
semua, apakah kita hanya sekedar menjalani tradisi atau mengambil esensi dari
tradisi tersebut. Karena sesunggunya tradisi itu dibuat bukan tanpa sebab,
melainkan mengajarkan manfaat bagi si pelakunya.
Selamat berlebaran !
Lampung Tengah, 17 September 2010
Tags:
Khazanah Islam
0 comments