Sore ini saya dihubungi oleh salah satu sahabat baik saya di Taiwan yang meminta untuk dijelaskan lagi soal status kehalalan vaksin AstraZeneca (AZ) yang “simpang siur” di media dan menjadikan masyarakat ragu untuk divaksin. Sekitar 2 bulan yang lalu saat acara halal bi halal diaspora Indonesia se-Taiwan, saya sempat menjelaskan tentang status kehalalan vaksin AZ ini maupun vaksin lainnya. Agar lebih mudah, maka saya menuliskan lagi penjelasan tentang status kehalalan vaksin AZ ini dimana di Taiwan sendiri memakai vaksin ini dalam program vaksinasi Covid-19.
Di Indonesia, Lembaga yang mengeluarkan status kehalalan sebuah produk [masih] dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dalam pemeriksaannya dilakukan oleh LPPOM MUI sebagai Lembaga resmi dibawah MUI yang memiliki kapasitas untuk itu. Sedangkan menurut UU Jaminan Produk Halal, sertifikat kehalalan sebuah produk diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Ilustrasi Vaksin Covid-19 (Gambar : Freepik) |
MUI Pusat dalam menetapkan status kehalalan sebuah produk, menggunakan prinsip kehati-hatian (ikhtiyath) dan keluar dari polemik (khuruj minal khilaf). Prinsip ini dirujuk dari madzhab Syafi’i. Dalam kasus vaksin AstraZeneca, ada perbedaan status yang antara MUI Pusat dengan MUI Jawa Timur. MUI Jawa Timur menggunakan prinsip argument istihalah (perubahan benda najis menjadi suci) secara mutlak yang merujuk pada madzhab Hanafi dan maliki.
MUI Jawa Timur memberikan status halal pada vaksin AstraZeneca, sedangkan MUI Pusat memberikan status haram. Perbedaan status ini merujuk pada perbedaan prinsip dan argument yang digunakan berdasarkan madzhab yang dirujuk (lihat paragraph diatas ini). Namun walaupun berbeda, MUI Pusat dan MUI Jawa Timur sama-sama membolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca ini untuk umat Islam. MUI Pusat mendasarkan pembolehan penggunaan vaksin AstraZeneca ini dengan alasan darurat.
Seperti yang kita tahu, pandemic Covid-19 ini semakin hari semakin memburuk keadaannya. Per 15 Juli 2021, Indonesia menempati posisi puncak sebagai negara terbanyak penambahan kasus positif Covid-19 di dunia. Bahkan setiap hari, media sosial kita diramaikan dengan pengumuman duka cita dari para handai taulan, saudara, sahabat, ulama, hingga masyarakat umum yang wafat dan dikebumikan dengan protocol Kesehatan Covid-19. Rasa-rasanya parade kematian akibat Covid-19 sedang terjadi di hadapan kita saat ini.
Salah satu ikhtiar agar kita segera menyudahi pandemic ini adalah melalui vaksinasi. Vaksinasi yang dilaksanakan di Indonesia menggunakan beberapa merek vaksin seperti Sinovac, Moderna, Sinopharm, dan AstraZeneca. Vaksin Sinovac untuk saat ini menjadi satu-satunya vaksin yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI Pusat. Sedangkan lainnya ada yang berstatus belum disertifikasi dan ada juga yang berstatus haram. AstraZeneca adalah salah satu yang berstatus haram tersebut.
Secara sederhana ada tiga hal yang menjadi pertimbangan haramnya suatu vaksin. Pertama, mengandung bahan haram atau dibuat dengan cara yang haram. Kedua, proses pembuatannya melanggar hukum syariah. Ketiga, manfaatnya tidak jelas atau mudaratnya jauh lebih besar. Jadi, hukum haram tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, tetapi juga pada proses maupun manfaatnya.
Status haram dari vaksin AstraZeneca didapat dari penggunaan jaringan manusia dan babi dalam proses pembuatan vaksin tersebut. Bahan aktif vaksin AstraZeneca adalah rekombinan adenovirus yakni monovalen vaksin yang terdiri atas satu rekombinan vektor 'replication-deficient chimpanzee adenovirus (ChAdOx1)', yang menjadikan kode untuk glikoprotein S dari SARS-CoV-2, disebut juga ChAdOx1-S (recombinant). Kemudian, saat pembuatan, dalam penyiapan inang virus, sel inang yang digunakan berasal dari diploid manusia. Persisnya sel yang diambil dari jaringan ginjal bayi manusia puluhan tahun lalu. Sel tersebut ditumbuhkan pada media Fetal Bovine Serum, yang disuplementasi dengan asam amino, sumber karbon, bahan tambahan lain serta antibiotik. Pada tahap penyiapan sel inang itulah ditemukan bahan atau enzim tripsin yang berasal dari pankreas babi.
Tripsin babi digunakan pada proses awal penanaman untuk menumbuhkan virus pada sel inang. Setelah virus ditanam kemudian tumbuh, virusnya dipanen. Pada dasarnya tidak ada persentuhan lagi antara tripsin dan si virus karena urusan tripsin tersebut hanya dengan media tanamnya. Karena itu, sudah tidak ada unsur babi sama sekali di produk akhir vaksin AstraZeneca.
Analoginya, jika kita menanam pohon dengan menggunakan pupuk kandang merupakan barang yang najis, tetapi ketika menghasilkan buah, si buah tidak lantas menjadi najis. Buahnya tetap halal dimakan.
Oleh karena itu, walaupun status vaksin AstraZeneca itu haram menurut MUI Pusat, namun MUI Pusat membolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca untuk disuntikkan kepada umat islam karena kondisi darurat. MUI Pusat memberi jalan keluar dengan kaidah hajat dan darurat. Bukan Tahlilul Haram (menghalalkan yang haram) atau Tahrimul Halal (mengharamkan yang halal). Tapi memubahkan yang haram karena darurat (konsep hukumnya: mubah, bukan halal)
Vaksin AstraZeneca sendiri sudah [diklaim] disetujui lebih dari 70 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara Islam. Beberapa diantaranya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko.
***
Jadi jelaslah status kehalalan dan dibolehkannya penggunaan vaksin AstraZeneca. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kita wajib ambil bagian aksi untuk segera mengakhiri pandemic Covid-19 yang telah mengakibatkan jutaan nyawa manusia melayang. Jadikan vaksin ini sebagai ibadah untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup manusia. InshaAllah, manfaat dari vaksinasi Covid-19 ini lebih banyak dibanding mudharatnya. Wallahu’alam bishawab