MEMBEDAH ISI KEPALA AKTIF [IS]
Baca Juga
“Organisasi Adalah Sekolahnya Para Calon Pemimpin”
Disuatu sore yang
hangat, 3 orang pedagang di pasar kembang terlihat sedang beristirahat sembari
berbincang-bincang. Dari gesturnya, tema pembicaraan mereka agaknya serius. Mereka ada Bejo, Paino,
dan Sarkum.
“No, sepertinya kita
perlu membuat sebuah paguyuban pedagang kaki lima”, ucap bejo tiba-tiba
“Untuk apa Jo,
pedagang kecil kayak kita ini tidak perlulah bikin-bikin paguyuban segala, cukup dagang yang serius dan cari
nafkah sebanyak-banyaknya”, jawab Paino
“Iya, buat apa sih
Jo. Nyapek-nyapekin diri saja. Bikin
paguyuban berarti kan harus bikin kegiatan. Nah bikin kegiatan berarti perlu
dana, tenaga, dan segala macam tetek
bengeknya”, seloroh Paino
“Gini Jo, No.
Memang adanya paguyuban berarti akan menyita lebih banyak waktu kita, tenaga,
bahkan mungkin materi. Tapi diluar itu semua, ada banyak manfaat yang bisa
didapat kalau ada paguyuban. Contohnya pas ada razia PKL dari apparat dan ada
diantara kita yang diangkut orang / barang dagangannya, melalui paguyuban kita
bisa melakukan advokasi. Atau istilah gampangnya ada yang bantuin agar kita tidak ditahan / didenda. Yah paling tidak
diringankan hukumannya kalau kita terbukti melanggar, karena ada yang membela”,
pangkas Bejo
“Loh, fungsinya apa Cuma itu? Kalau Cuma itu
sih kita bisa minta bantuan ke LBH
atau Ormas yang suka tebar iklan dimana-mana gitu”, Tanya si Paino masih
penasaran
“Nggak gitu No. Itu baru satu contoh
saja. Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan dari adanya paguyuban ini. Kita bisa
belajar menjadi pemimpin, belajar manajerial, belajar berdebat / berdiskusi
untuk mengungkapkan ide / usulan, belajar melobi dan masih banyak lagi. Ini semua
akan bermanfaat untuk orang-orang macam kita yang gak pernah merasakan bangku kuliahan. Apa iya kita selamanya mau
jadi kayak gini terus. Setidaknya dengan adanya paguyuban ini, kita belajar
banyak hal dan itu bisa kita pakai untuk modal agar lebih bisa bermasyarakat
secara luas”, pungkas Bejo
***
Saat di bangku
perkuliahan, mahasiswa dihadapkan pada 2 pilihan karakter, yaitu menjadi
mahasiswa pasif atau aktif. Mahasiswa pasif adalah mahasiswa yang study oriented, dimana biasanya
kemampuan akademiknya lebih senang diasahnya melalui jalur-jalur akademik “normal”.
Sedangkan mahasiswa aktif adalah jenis mahasiswa yang hidupnya (terkadang)
lebih banyak di luar kelas dibanding duduk manis di kelas atau perpustakaan. Ia
menghabiskan waktunya di tempat-tempat diskusi mengenai berbagai hal (biasanya
diskusi taman / informal, terkadang lebih sering di secretariat organisasi)
yang tidak linier dengan keilmuan formalnya bahkan. Mereka ini kaum lebih
sering melek di malam hari dan tidur
setelah subuh hingga menjelang dzuhur. Mereka lebih dikenal dengan sebutan
aktifis mahasiswa.
Label itu biasanya
akan menempel hingga purna studi. Bahkan tak jarang label itu tetap tersemat
saat ia hidup ditengah masyarakat. Lantas apa istimewanya label seorang
aktifis? Bagaimana isi otak / cara berpikirnya seorang aktifis dalam menghadapi
berbagai hal? Mari kita coba bedah……..
Selalu Ada Celah Dalam Setiap Hal
Sebagai seorang
aktifis, mereka diajarkan untuk memahami segala macam masalah yang dihadapi dan
harus bisa mencari celah untuk mereka masuki sebagai sebuah solusi. Isi otak
yang satu ini bisa dimaknai bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa
diselesaikan. Bisa jadi, ini yang pada akhirnya membuat para aktifis banyak
yang menjadi problem solver. Terkadang,
hal ini yang tidak dimiliki oleh seseorang yang tidak pernah berkecimpung sebagai
aktifis. Mereka memandang bahwa semua aturan / hal yang baku adalah baku dan
tidak bisa diotak-atik sehingga membuat mereka harus mengikuti semua alurnya
agar tau darimana dia harus mulai berpikir untuk mencari solusinya.
Selama Manusia Bisa Berbicara dan Berpikir, Maka Lobbying Adalah Satu Cara Yang Efektif
Kemampuan lobi
tidak hanya dimiliki oleh anak-anak lulusan jurusan hubungan internasional yang
memang terkenal akan kemampuan lobinya karena itu adalah ilmu formal yang
diajarkan disana. Namun kemampuan lobi ternyata banyak dimiliki oleh mereka
yang dikenal aktif sebagai seorang aktifis. Kemampuan ini didapatkan secara
alami diluar kelas-kelas formal akibat tempaan di organisasi maupun paguyuban
yang diikutinya. Lobi atau negosiasi selalu menjadi cara prioritas saat cara
formal gagal untuk ditempuh. Di dalam otak aktifis, mereka percaya bahwa selama
manusia itu bisa berpikir dan berbicara, maka lobi adalah salah satu cara yang
efektif untuk menyelesaikan masalah. Jadi jangan heran jika, seorang aktifis lihai dan licin seperti belut untuk
urusan lobi-lobi.
Organisasi Adalah Sebuah Keharusan Saat Ada Lebih Dari
2 Orang Berkumpul
Bagi sebagian
orang, organisasi mungkin dipahami sebagai bentuk baku sebagai sebuah badan /
lembaga yang mengharuskan anggotanya untuk membuat kegiatan-kegiatan /
acara-acara formal. Padahal diluar itu semua, ada banyak fungsi yang bisa
dijalankan dengan adanya organisasi. Ini bisa menjadi semacam wadah agar posisi
tawarnya semakin kuat terhadap berbagai hal. Ibaratnya saat satu buah lidi digunakan untuk nyapu halaman, tentu akan lama dan susah. Apalagi kalau orang
menjual satu buah lidi saja. Tentu tidak akan ada yang mau membelinya. Namun saat
100 lidi berkumpul dan diikat menjadi satu, pekerjaan menyapu akan lebih mudah
dan laku apabila dijual. Ini yang menjadi isi kepala seorang aktifis tatkala ia
melihat ada sekelompok orang yang lebih dari 2 berkumpul. Ia akan bernafsu untuk membuat sebuah organisasi
dengan harapan akan mampu menaungi dan menyalurkan ide-idenya secara tepat.
Membaca Berita Adalah Kegiatan “Posyandu” Bagi Otaknya
Tak bisa
dipungkiri bahwa seorang aktifis gemar membaca berita-berita serta opini dari
berbagai massa. Tak jarang juga seorang aktifis rela mengeluarkan kocek nya lebih dalam demi berlangganan
koran harian, demi sebuah update
informasi di pagi hari. Kegiatan ini menjadi semacam Posyandu bagi otak mereka. Otak itu layaknya perut yang perlu diberi
makanan tiap hari karena rasa laparnya. Makanan tersebut berupa
informasi-informasi dari berbagai sudut pandang yang ada. Ini yang menjadikan
akfitis kaya akan informasi-informasi non akademis dan aktual. Biasanya mereka
lebih sensitif terhadap isu-isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
***
Beberapa poin
diatas bisa jadi benar bisa juga salah. Namun satu hal yang pasti adalah
menjadi seorang aktifis bukanlah sesuatu yang hina yang melekatkan titel mahasiswa abadi pada dirinya. Menjadi
seorang aktifis adalah sebuah kehormatan untuk mengasah kemampuan diri secara
mendalam diluar bidang keilmuan formalnya dengan konsekuensi bahwa kelak ia
diharapkan mampu berkontribusi lebih pada masyarakatnya. Semoga tidak ada
reduksi nilai aktifis untuk hari-hari ini. Semoga !
Tags:
Sospol
0 comments