MENYOAL KEMAMPUAN JURNALIS [TIK] DI ERA DISRUPTIF
Baca Juga
2 hari yang lalu,
ada salah seorang teman yang mengirimkan tautan berita dari sebuah website yang
mengaku sebagai portal untuk menebarkan Islam yang rahmatan lil’alamin, ke
group whatsapp yang saya ikuti.
Portal beritanya sih tidak masalah,
namun isi berita yang ditulis disana membuat yang membaca jadi tercengang. Apa soal?
Portal tersebut
menulis judul berita bahwa mantan napi teroris 99% memiliki background Muhammadiyah. Sontak saja tautan berita ini
membuat kami geger, karena sudah
terang-terangan mencatut nama Muhammadiyah dalam pemberitaannya. Beberapa rekan
kader yang juga bekerja sebagai wartawan, menyarankan untuk tidak terprovokasi
dengan tautan berita tersebut, dan menunggu tabayyun
atau klarifikasi dari si pihak pembuat berita. Satu hari ditunggu, tidak muncul
juga klarifikasi yang diminta, hingga tadi pagi, salah seorang penulis novel
terkenal yang juga kader Muhammadiyah, akhirnya angkat suara menulis tanggapan
terhadap pemberitaan tersebut melalui platform
media social yang didirikannya beberapa tahun yang lalu.
Ia mencoba
mengkritisi berita tersebut dari sudut pandang metode dan hasil penelitian yang
diungkapkan oleh narasumber, yang ditulis dalam tautan tersebut. Sebagai jebolan
S2 dari Australia yang juga sudah malang melintang dalam dunia literasi, tentu
tidak sulit mengkritisi isi berita tersebut dari sisi metode dan penyimpulan.
Membaca tulisannya yang seperti biasanya, renyah dan bergizi, maka terbantahkan
apa yang ditulis dalam berita tersebut. Semua yang diungkapkannya menggugurkan
penyimpulan yang keliru dari berita yang sudah terlanjur viral tersebut. Lantas
apakah masalah selesai sampai disini? Ternyata tidak.
Siang menjelang
sore, salah seorang rekan mengirimkan sebuah copyan post dari group whatsapp yang lain, yang isinya
mengklarifikasi tentang acara yang dilangsungkan pada 26 Mei 2018 tersebut. Tulisan
(postingan) tersebut ditulis oleh salah seorang kader Muhammadiyah yang
kebetulan mengikuti acara seminar yang diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum
milik sebuah ormas tersebut. Dalam postingannya, ia menulis bahwa apa yang
ditulis dalam berita tersebut tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
narasumber dalam acara tersebut. Ia mengikuti secara penuh acara tersebut
hingga selesai. Iapun menjabarkan poin-poin yang disampaikan yang itu sangat kontras
dengan apa yang ditulis dalam media online tersebut.
Dari sini kemudian
jelas benang merah kesalahannya, bukan pada narasumbernya yang tidak kompeten
ataupun punya tendensi memojokkan Muhammadiyah, namun kesalahan ini justru
terletak pada jurnalis / wartawan yang menulis berita tersebut. Jika ditelusuri
lebih lanjut, berita yang viral tersebut disadur dari website lain yang justru
merupakan portal berita resmi dari salah satu ormas tingkat wilayah di DIY. Disini
lantas kita perlu kembali bertanya, apakah tulisan ini termasuk kategori produk
jurnalistik? Apakah wartawan yang menulis berita tersebut pernah ikut latihan
jurnalistik atau sekedar hanya bisa nulis
lalu diamanahi jadi wartawan? Entahlah, tapi yang jelas, tulisan tersebut (saya
tidak mau menulisnya sebagai berita, karena melenceng dari apa yang bisa
disebut sebagai berita) setidaknya sudah berhasil menaikkan tensi kader Muhammadiyah untuk vis a vis dengan kader ormas lainnya
yang notabenenya tidak tahu apa-apa.
Era Digital ; Pemberitaan Yang Cepat?
Di era digital
seperti saat ini yang ditandai dengan bertukarnya informasi secara cepat, tak
pelak membuat media-media yang dulunya mengandalkan waktu 1 hari untuk
menerbitkan berita tersebut melalui koran atau majalah, kini harus berganti
dengan portal-portal online yang mengharuskan adanya update berita tiap menitnya. Keadaan ini juga membuat cara kerja
wartawan dan editor, juga redaksi, menjadi berubah lebih cepat. Kini, dalam
hitungan menit, sebuah portal berita bisa membuat 8 berita sekaligus. Alhasil,
wartawan yang bertugas di lapangan dituntut untuk bisa menulis berita dengan
cepat tanpa meninggalkan kaidah-kaidah penulisan berita yang selama ini sudah
dipedomani sebagai rule of games
dunia jurnalistik. Seandainya pun tidak bisa menulis secara sempurna karena
derasnya tuntutan untuk bisa segera diterbitkan, si wartawan at least harus menulis poin-poin utama
yang dia temukan di lapangan secara utuh, lalu mengirimkannya kepada editor
untuk disusun menjadi sebuah narasi berita yang utuh. Sehingga walaupun
semuanya serba cepat dan gesit, tidak lantas menanggalkan kredibilitas berita
yang diturunkan.
Nah, dalam tulisan
yang sangat menyudutkan Muhammadiyah tersebut, diketahui bahwa tulisan tersebut
ditulis dan dinaikkan 1 hari setelah acara berlangsung. Ini artinya seharusnya
si penulis memiliki waktu yang cukup untuk menulis secara utuh isi dari acara
yang berlangsung sehari sebelumnya. Tidak ada alasan bahwa ia dikejar /
ditenggat waktu untuk tayang di websitenya. Sehingga adanya ketidaksesuaian
antara apa yang dibicarakan oleh narasumber dengan apa yang ditulis di website,
menjadi kesalahan fatal jika website tersebut memang menyebut dirinya sebagai
portal berita resmi, apalagi sudah memiliki majalah versi cetaknya.
Transkrip Tulisan / Rekaman Audio ; Sepele Namun
Penting
Bagi seorang
jurnalis, wajib hukumnya untuk selalu menyediakan “Senjata Pamungkas” dalam
bekerja di lapangan. Senjata tersebut berupa pulpen, buku catatan, dan jika
memungkinkan (pasti memungkinkan, karena hampir setiap wartawan masa kini
memiliki gawai yang mumpuni untuk melakukan rekaman audio / visual) alat rekam
suara ataupun visual.
Alat-alat ini nampak
sepele, namun penting guna mendokumentasikan isi dari wawancara ataupun acara
yang sedang diliput. Sehingga akan memudahkan si wartawan saat menyusun naskah
berita yang akan dikirimkan ke editor. Selain itu, alat-alat ini juga berfungsi
sebagai “bukti” saat ada yang memprotes isi berita yang ditayangkan. Semacam senjata
untuk hak jawab media.
Dalam kasus
pemberitaan tentang Muhammadiyah tersebut, saya tidak tahu apakah si penulis
memiliki “senjata-senjata” tersebut atau tidak. Yang saya khawatirkan adalah
jika si penulis hanya mengandalkan ingatannya saja. Tentu ini akan berpretensi
mengaburkan fakta-fakta penting karena terbatasnya ingatan seseorang terhadap
suatu kejadian secara utuh. Sehingga tulisan yang dibuat menjadi tidak valid
dan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang ada.
Framing ; Boleh atau Tidak?
Bagi pegiat media
jurnalistik, framing adalah sesuatu hal yang wajar dan ini juga diperbolehkan
selama tidak melenceng dari fakta-fakta yang ada. Framing dipahami sebagai
sudut / angle berita yang diambil
oleh si penulis berita agar memiliki keunikan tersendiri dibandingkan berita
yang sama dari media lainnya.
Netralitas Media dan Kualifikasi Jurnalis ; Hanya
Isapan Jempol Semata?
Dulu, saat pertama
kali saya mengikuti pelatihan jurnalistik di salah satu surat kabar terbesar di
Kota Jogja, materi tentang kode etik jurnalis menjadi materi yang cukup lama
dibahas. Para pemateri menekankan bagaimana pentingnya kode etik jurnalistik
sebagai rambu-rambu dan marka jalan bagi para jurnalis dalam bekerja. Kami yang
awam pun harus mengikuti sesi berjam-jam berikutnya guna mendalami kode etik
jurnalistik ini dalam pengimplementasiannya. Bahkan tulisan-tulisan awal
tentang berita yang kami buat, tidak bisa ditayangkan karena dianggap tidak
memenuhi kualifikasi tulisan yang bisa disebut sebagai produk jurnalistik.
Tulisan pertama yang akhirnya terbit, bukan sepenuhnya tulisan saya. Namun 70 %
adalah kreasi editor berdasarkan
fakta-fakta lapangan yang saya temukan. Dari situ kemudian kami belajar bahwa
menulis berita yang layak baca tidak semudah menulis status pesbuk yang tidak ada kaidahnya. Bahkan,
hingga saya selesai menjadi contributor (kurang lebih 2 tahunan saya menjadi
wartawan magang), kartu pers pun tidak saya miliki. Saya hanya diberikan
semacam “Surat Jalan” untuk peliputan disana sini. Ini merupakan konsekuensi
bahwa menjadi seorang jurnalis kompeten memiliki tahap panjang yang tidak bisa
sembarangan orang bisa. Semua harus melalui proses pendidikan dan pelatihan,
hingga tes kompetensi, untuk memastikan bahwa seorang jurnalis memiliki
kualifikasi tertentu dengan kompetensi yang sudah diatur agar produk jurnalistik
yang dihasilkan layak untuk dikonsumsi oleh publik.
Selain itu,
netralitas sebuah media dan wartawannya terhadap kepentingan-kepentingan
tertentu juga menjadi syarat wajib agar isi dari tulisan yang dihadirkan bisa
dianggap sebagai produk jurnalistik. Kita tentu tidak bisa menghilangkan
kepentingan-kepentingan dari pemilik media yang bersangkutan secara penuh,
namun setidaknya ada etika keadaban jurnalistik yang harus dijunjung tinggi
oleh semua pemilik media. Ada batas-batas dimana kepentingan personal wartawan
dan pemilik media tidak boleh dijadikan perspektif dalam penulisan berita. Ini semua
semata-mata agar produk jurnalistik yang dihadirkan benar-benar kredibel.
Di tulisan yang
tadi, kita bisa cermati isi tulisan tersebut perparagraf. Bagi yang sering
membaca berita (baik online maupun cetak) bisa coba membandingkan bagaimana
gaya penulisan populer dari sebuah berita yang memiliki kredibilitas yang baik
maupun yang bukan. Bukan sekedar menuliskan kata-kata semata, namun ada nilai
tersirat dari kalimat-kalimat yang tersusun, sehingga bisa menghadirkan oase informasi
bagi si pembacanya tanpa harus membuat si pembacanya berpikir berulang kali
akibat tidak terstrukturnya isi tulisan.
Selain itu, dalam
tulisan tersebut juga nampak bahwa isi tulisan berpretensi untuk menyudutkan
Muhammadiyah. Padahal untuk membuat sebuah judul berita yang menyebut kelompok
massa tertentu, perlu adanya crosscheck
dan konfirmasi kepada pihak terkait. Dan celakanya lagi, dalam isi tulisan juga
tidak dilakukan prinsip cover both side, dan
parahnya justru membuat sebuah kesimpulan menjadi judul tulisan. Cara-cara
seperti ini dianggap wajar jika saja media yang menerbitkan hanya ingin mencari
sensasi dan visitor semata. Mereka lebih senang membuat click bait dalam judulnya. Tapi dalam kasus ini, bukan hanya
sekedar click bait, namun isi tulisan
juga berpretensi tidak mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik yang ada. Agak disayangkan
bahwa isi tulisan bukan lagi bacaan informatif, tapi lebih pada upaya adu domba
antara 2 ormas besar. Apalagi tulisan ini diterbitkan oleh media yang memiliki
kredo “santun dan mencerdaskan”. Sungguh sangat disayangkan karena ini menjadi
tidak relevan.
***
Dari kasus ini
kita belajar bahwa ternyata masih banyak media-media kita yang ngakunya islami
ternyata jauh dari nilai-nilai islam akibat tidak terlepasnya kepentingan si
penulis berita maupun pemilik media. Dulu di pers-pers kampus, menjadi seorang
wartawan dari Unit Kegiatan Mahasiswa bidang Jurnalistik adalah sesuatu yang
keren, karena dianggap memiliki kemampuan lebih dalam hal literasi, penulisan,
investigasi, dan kediksian. Selain itu, walaupun menjadi seorang jurnalis dianggap
sebagai strata pekerjaan yang tidak besar dalam hal nilai materilnya, namun
sejatinya menjadi jurnalis itu tinggi dalam hal nilai kebermanfaatannya karena
mereka mampu menghadirkan informasi, pengetahuan, dan pembelajaran baru bagi
masyarakat
Dan disaat
pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas hoax, tentu sebagai masyarakat kita wajib mendukung upaya tersebut,
karena hoax adalah musuh bagi
keharmonisan bermasyarakat. Ada banyak cara untuk mendukung upaya-upaya
tersebut, salah satunya adalah meninggalkan media yang tidak mengikuti
kaidah-kaidah jurnalistik, serta tidak menghadirkan informasi yang bermanfaat. Ketidakadaan
pembaca bagi sebuah media adalah sebuah kiamat kubro, dan ini bisa kita lakukan mulai saat ini juga. Semoga kita
senantiasa terlindung dari media-media sesat lagi menyesatkan.
Tags:
Sospol
0 comments