MEMOAR DARI SEBERANG
Baca Juga
“Ndi, pergilah kamu
sekolah lagi. Jangan paksakan idealismemu untuk diwujudkan saat ini. Ada
saatnya nanti kamu akan mendapat giliran untuk mewujudkan ide-idemu tersebut”
“Tapi pak, apa
saya masih bisa melakukannya dimasa mendatang?”
“Saya percaya
bahwa tiap yang muda dan dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, mampu membawa
sesuatu hal yang berbeda. Jadi saya sangat percaya kamu dan teman-temanmu kelak
yang akan mengubah semua ini”
“Dulu saya pernah
menjadi seperti kamu saat ini. Dan dibenturkan dengan kondisi yang hampir sama.
Saya memilih untuk lari dari semua
itu. Namun jangan tiru saya. Kamu lawan dan rubah semua ini agar terwujud apa
yang selama ini dicita-citakan”
***
Sabtu itu, cuaca
di Kota Chiayi agak sedikit mendung walau suhunya terasa lebih panas dari
biasanya. Maklumlah, ini adalah masa transisi dari musim dingin ke musim semi.
Terkadang masih ada suhu dingin yang mampir
ke pulau dengan jumlah penduduk 23 juta jiwa ini. Ting…… Bunyi HP membuyarkan lamunan siang itu. Ada notifikasi bahwa
aplikasi perpesanan berwarna hijau itu memiliki pesan chat baru.
“Innalillah
wainnailaihi rojiun….. sahabat kita telah mendahului kita semua”, tulis pesan
yang ada dalam aplikasi tersebut. Tak lupa, si pengirim pesan tadipun
melampirkan photo terakhirnya dengan orang yang dikabarkan tersebut.
Deg….. rasanya jantung ini sejenak menjadi sesak. Saya
sangat hafal dengan muka orang yang ada di foto tersebut.
***
Saya memanggilnya
Pak Afri. Nama lengkapnya Afri Erisman, S.E, M.Si, Ph.D. Orang-orang biasa
menyingkat namanya menjadi Afrisman. Saat pertama kali masuk ke kampus matahari,
dialah orang pertama yang mau saya tegur. Mengapa? Karena saat itu, ia merokok
di kantor rektorat. Dia memang perokok berat. Sehingga, kebiasaanya merokok,
sama sekali tidak bisa ia hentikan, walau sedang di lingkungan kampus
sekalipun.
Bagi saya yang
alumni kampus matahari di kota lain, melihat orang merokok di lingkungan kampus
matahari agak gimana gitu. Maklumlah, kampus saya yang dulu
sangat strict untuk urusan merokok di
dalam kampus. Ini adalah implementasi fatwa haram rokok yang dirumuskan oleh
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Dan setahu saya semua kampus Muhammadiyah wajib
menerapkan kawasan dilarang merokok untuk seluruh area PTM di Indonesia tanpa
terkecuali. Sehingga, saat saya melihat Pak Afri merokok di rektorat, saya
ingin menegurnya. Tapi itu urung saya lakukan, karena di nasehati oleh salah
satu rekan seruangan saya sembari memberitahu bahwa beliau adalah Wakil Rektor
disana.
Kala itu saya
belum kenal beliau. Maklumlah, saya masih baru beberapa hari menjadi karyawan
disana. Beberapa hari kemudian, saya kebetulan berjumpa dengan dia di kantor secretariat
rektorat. Saya sedang membawa berkas untuk ditandatangani oleh pimpinan. Dia
pun memanggil saya untuk diajaknya mengobrol di ruangan tamu rektorat.
“Kamu ini karyawan
baru ya disini?”
“Iya pak, saya
baru beberapa hari ini”
“Kamu itu
darimana, pendidikanmu apa, dan siapa yang membawa kamu?”
“Nama saya Andi
pak. Saya dari Lampung. Saya lulusan S2 dari Taiwan. Saya datang sendiri
melamar kesini pak”
“Statusmu disini
sebagai apa sekarang?”
“Tidak tahu pak.
Saya kemarin melamar sebagai dosen. Cuma ini malah jadi karyawan di ruangan
situ pak. Bantu-bantu tugas administrasi”
“Loh, kamu
mendaftar jadi dosen kok malah ngurusin administrasi? Bidangmu apa?”
“Iya pak, saya
tidak tahu kenapa malah jadi nyasar
begini. Saya bidang manajemen pak”
“Ya sudah, besok
senin kamu datang temui dekan ekonomi ya. Bilang bahwa kamu mendaftar jadi
dosen manajemen”
“Baik pak”
Esoknya saya
menemui orang yang dimaksud beliau. Namun tidak ada respon tentang maksud saya
yang melamar menjadi dosen manajemen. Dan beberapa hari setelahnya, saya
bertemu lagi dengan beliau.
“Gimana, sudah
ketemu dengan dekan?”
“Sudah pak”
“Lalu bagaimana?”
“Tidak ada jawaban
pak”
“Loh kok begitu.
Seharusnya bisa segera ditindaklanjuti. Kamu ngomong bahwa kamu lulusan Taiwan?”
“Tidak pak, saya
tidak bilang begitu. Saya hanya bilang bahwa saya ingin jadi dosen manajemen. Dan
beliau hanya mengangguk-angguk saja tanpa memberikan respon verbal secara jelas”
“Ya sudah kalau
begitu. Begini saja kamu mau jadi asisten mengajar saya tidak? Menggantikan
saya untuk mengajar mata kuliah statistik kepada 4 kelas di jurusan manajemen”
“InshaAllah saya
bersedia pak. Tapi saya tidak pandai dalam statistic pak. Saya khawatir tidak
sesuai ekspektasi bapak jika menggantikan bapak mengajar”
“Saya percaya kamu
bisa. Intinya kamu hanya perlu membaca materi yang mau kamu ajarkan. Gunakan Bahasa
yang sederhana dan mudah dipahami, jangan terlalu teoritis bahasanya. Ingat,
ini bukan Jogja atau Taiwan”
“InshAllah pak”
Begitulah
minggu-minggu pertama saya di Bengkulu. Saat saya babat alas disana dan tidak ada saudara sama sekali, Pak Afri
adalah orang pertama yang memberikan kepercayaan untuk mengajar. Di saat dia
tahu, bahwa saya pernah menolak tawaran salah satu rector PTM di Jakarta untuk
menjadi dosen disana dan memilih untuk melamar di Bengkulu, dia geleng-geleng
kepala tidak habis pikir. Kenapa justru saya memilih di Bengkulu. Namun setelah
saya jelaskan panjang lebar alasan saya, iapun mulai mengerti dan manggut-manggut walau terkadang masih
suka mengejek keputusan saya tersebut
sembari bercanda.
Di saat awal
pertama di Bengkulu, saya menerima gaji sepertiga dari UMR yang ada. Alhasil,
Pak Afri memberikan seluruh gaji mengajarnya dari mata kuliah yang diampu
kepada saya. Beliau hanya pesan bahwa manfaatkan uang itu untuk ditabung
sebagai persiapan menikah.
***
Saat itu awal
Oktober. Beliau memanggil saya untuk mengajak ngobrol sembari makan siang. Dan
saya tidak sengaja terlontar ucapan bahwa saya sebenarnya sudah diterima dalam
suatu konferensi internasional di Malaysia. Tapi tidak bisa berangkat lantaran
tidak ada biaya. Saat itu juga beliau langsung memerintahkan saya untuk
mengonfirmasi bahwa saya akan berangkat dengan dana dari kampus. Walaupun status
saya bukan dosen kala itu, ia tetap memberikan dukungan untuk berangkat kesana.
Baginya kesempatan seperti ini jarang ada dan punya nilai tambah bagi lembaga.
Setelah selesai
acara di Malaysia, saya tidak langsung ke Bengkulu. Namun mampir ke Lampung
beberapa hari. Di Lampung saya mengurus beberapa hal untuk didiskusikan dengan
keluarga terkait rencana saya menikah di tahun depannya. Dan saat itu pula,
saya dikabari bahwa Pak Afri sedang terkena musibah.
Ia dikabarkan
dituduh main perempuan. Sampai-sampai si perempuan tadi datang dan berteriak-teriak
di depan rumahnya Pak Afri. Sebuah surat kabar local pun memberitakannya
besar-besar tanpa membuat inisial nama, melainkan nama asli. Seolah-olah sudah
pasti benar kabar tersebut. Alhasil, seisi kampus menjadi heboh dengan kejadian
ini. Bagi saya, rasanya tidak bisa percaya begitu saja dengan informasi ini.
Walaupun baru 4 bulanan kenal beliau, rasanya beliau tidak ada gesture menjadi tukang main perempuan.
Dan benar saja, isu ini ia hadapi semua, hingga akhirnya semua pelakunya ngaku bahwa ini dilakukan semata-mata
untuk menjatuhkan namanya serta jabatannya.
Sebenarnya bisa
saja ia melakukan tuntutan balik kepada semua pelaku yang sudah diketahui
tersebut. Namun ia berbesar hati untuk tidak melakukannya, semata-mata karena
ingin menjaga marwah institusi dan tidak ingin menjatuhkan nama orang tersebut.
Ia pun memafkan semuanya,
***
Pasca kejadian
tersebut, ia mundur dari jabatan Wakil Rektor. Ia memutuskan untuk tidak lagi
terlibat dalam perebutan jabatan structural di kampus. Ia pernah bercerita
bahwa keputusannya maju menjadi calon rector dan akhirnya malah menjadi wakil rector,
semata-mata bukan karena uang. Ia hanya ingin merubah lembaga ini menjadi lebih
baik. Kalaupun soal uang, ia bisa mendapatkan berpuluh kali lipat dari gaji
seorang wakil rector. Maklumlah, ia memiliki perusahaan konsultan yang sering
menjadi rekanan pemerintah dalam membuat riset-riset pembangunan di Bengkulu. Dari
situ saja, ia bisa mengumpulkan ratusan juta untuk sekali proyek. Jadi, menjadi
seorang wakil rector bukanlah bermotif materi, namun semata-mata karena ingin
membuat suatu perubahan berarti.
Di bulan Februari
setelahnya, ia mengajak saya berkolaborasi untuk menulis buku. Dan ini berhasil
diwujudkan. Ini adalah kali pertama buku monograf ditulis dari dosen disini dan
diterbitkan dalam buku ber-ISBN. Setelah itu, Pak Afri menerbitkan lagi 3 buku
lainnya yang rata-rata sangat applicable
dengan kondisi yang ada di Bengkulu. Ini yang membuat buku-buku karangan Pak
Afri selalu Nampak beda karena diselipi oleh studi kasus yang real dan ia tangani sendiri.
***
Saat Muhammadiyah
menggelar hajatan Muktamarnya di Makassar, saya yang waktu itu menjadi bagian dari
utusan PCIM Taiwan, hampir saja tidak jadi berangkat karena tidak cukup biaya
untuk membeli tiket Bengkulu – Makassar PP. Melihat keinginan besar saya untuk
bermuhammadiyah, ia lantas menawari saya tiket ke Makassar. Awalnya saya
menolak, karena saya bukan bagian dari PWM / PDM di Bengkulu. Namun beliau
meyakinkan bahwa apapun latar belakang tingkatan Muhammadiyah yang saya wakili,
tidak lantas menjadikan saya kader yang berbeda. Saya tetaplah seorang kader
Muhammadiyah yang masih muda yang kelak punya tanggungjawab melanjutkan estafet
Kemuhammadiyahan di Bengkulu. Dan bermuktamar adalah salah satu media untuk
membangun serta menambahkan semangat kemuhammadiyahan para kader agar bisa
semakin militan berdakwah. Bagi Pak Afri, menghidupkan Muhammadiyah adalah
seperti menyalakan api di tengah kegelapan. Ia akan mampu menerangi jalan bagi
orang lain saat minyak dalam api tersebut terus diisi dan tidak dibiarkan
habis. Pun demikian dengan Muhammadiyah. Sudah selayaknya kader muda
Muhammadiyah diberikan kesempatan untuk ikut terus menghidupkan Muhammadiyah
agar mampu menyinari umat.
Pasca saya
menikah, beberapa kali Pak Afri menawari saya proyek untuk digarap dengan nilai
rupiah 7 digit. Saya selalu menolaknya, karena bukan bidang saya. Namun
beberapa kali pula Pak Afri selalu mendesak saya untuk menerima dan mengerjakan
proyek tersebut. Pak Afri sebenarnya bisa saja mempekerjakan dosen lain yang
sesuai bidangnya, namun ia hanya ingin membantu saya mendapatkan seseran karena dia tahu waktu itu gaji
saya masih dibawah UMR dan saya sudah berkeluarga. Tapi saya tetap bergeming
dengan keputusan saya, khawatir saya tidak bisa menuntaskan proyek tersebut
sesuai dengan harapan karena keterbatasan bidang ilmu saya.
Sebelum saya
berangkat studi ke Taiwan, saya sempatkan pamitan dengannya. Ia banyak berpesan
untuk bagaimana bisa survive di negeri
orang serta menyampaikan harapannya kedepan agar saya dan teman-teman yang
berangkat sekolah ini mampu membawa perubahan bagi institusi ini. Jangan sampai
sudah jauh-jauh sekolah, tapi cara berpikirnya masih sama atau malah ikut cara
berpikir yang lainnya. Ini akan menjadi suatu hal yang sia-sia. Sehingga ia
sangat berharap bahwa kelak yang muda dan mendapat kesempatan studi di tempat
lain bisa menjadi penggantinya serta bapak-bapak lainnya untuk meneruskan
perjuangannya dalam bermuhammadiyah. Dan seolah ini menjadi pertanda bahwa itu adalah
pertemuan langsung kami yang terakhir.
***
Bagi saya pribadi,
Pak Afri adalah orangtua, teman, partner,
guru, serta sahabat. Walau umur kami terpaut jauh, namun beliau selalu berhasil
mendudukkannya bukan sebagai orang yang lebih tua. Ia selalu berhasil membuat
percakapan kami Nampak seperti dengan teman sebaya. Ide-idenya yang brilian selalu membuat decak kagum bagi
yang memahaminya, walau lebih sering ditolak saat ia menyampaikannya dulu,
namun justru idenya baru diakui dan dipakai beberapa waktu kemudian.
Pak Afri juga
merupakan seorang pekerja keras yang sangat bertanggungjawab dan sayang kepada
keluarganya. Ia merupakan pejuang tangguh dan kader Muhammadiyah militan. Baginya
Muhammadiyah bukanlah sekedar organisasi semata, melainkan sudah menjadi
setengah dari hidupnya.
Selamat jalan Pak
Afri. Semoga Allah mengampunimu dan menempatkanmu dalam barisan orang-orang
beriman. Allahumma firlahu warhamhu wa’afihi
wa’fuanhu
Tags:
Obituari
4 comments
Aaamin. Semoga harapan Almarhum, bisa Mas Andi teruskan Membawa perubahan di kampus matahari.
BalasHapusSaya juga memiliki kenangan tersendiri bersama beliau. Semoga Allah mengampuninya, merahmatinya, dan memaafkan semua dosa dan kesalahannya.
Terima kasih sudah berbagi kisah indah ini Mas.
Suatu hari, semoga Mas Andi bisa membayar balik dengan mensupport SDM yang berbakat di kampus matahari.
Aamiin ya Rabb
HapusInshaAllah mas.
Pun begitu dengan mas Rio. InshaAllah, sama-sama memajukan Bengkulu mas
Lumayan ada stok baca sebelum tidur nih
BalasHapusSaya bookmark pagenya mas ^_^
Siap mas. Terimakasih banyak mas.
Hapus