FAKTA TENTANG VIDEO TSAMARA TERKAIT PUTIN
Baca Juga
![]() |
Photo Tsamara dan Presiden Putin (Sumber : Istimewa) |
Beberapa waktu
yang lalu, heboh soal video milik salah satu politisi muda asal Partai
Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany, yang membahas beberapa hal terkait
Presiden Putin. Walaupun video ini sebenarnya ditujukan untuk menjawab cuitan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon,
namun isi dalam video ini justru yang menjadi viral di media social. Alhasil, tak perlu menunggu lama, selang
beberapa waktu setelah video ini viral, tanggapan dari netizen pun bermunculan. Yang menjadi semakin menarik adalah saat
salah satu media Russia yang berbahasa Indonesia, RBTH Indonesia, juga ikut
menanggapi video milik Tsamara ini. Dalam post
nya, RBTH Indonesia menilai apa yang disampaikan oleh Tsamara di video tersebut
dangkal. Bahkan Kedubes Russia di Jakarta juga ikut bereaksi atas materi yang
disampaikan dalam video ini.
Dalam videonya,
Tsamara menyampaikan beberapa hal yang kesemuanya menyanggah cuitan Fadli Zon yang menginginkan pemimpin
seperti Putin di Indonesia. Dibalik pro kontra materi yang disampaikan, ada
beberapa fakta menyangkut poin-poin yang disampaikan oleh Tsamara dalam video
tersebut. Berikut pembahasannya.
1. Putin Bukan Presiden Yang Baik. Ia Membungkam Pers dan
Oposisi di Russia
Klaim yang
disampaikan oleh Tsamara adalah Presiden Putin ini bukanlah pemimpin yang baik
karena ia membungkam kebebasan pers serta membungkam oposisi di Russia. Seperti
kita ketahui bahwa Russia adalah bekas Uni Soviet yang telah runtuh tahun 1990
an. Dahulu saat masih ada Uni Soviet, idiologi yang dianut adalah komunis,
dimana semua hal dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Contoh yang masih
menerapkan pengontrolan ini adalah Korea Utara yang masih menjunjung tinggi ideology
komunis. Lalu bagaimana sebenarnya fakta tentang kebebasan pers di Russia?
Lama Polygraph menyatakan bahwa di Russia
tidak mengizinkan adanya sensor media, seperti tayangan TV serta media cetak,
seperti saat masih dibawah rezim Soviet, namun faktanya Russia memiliki banyak
cara untuk mengkooptasi serta mengontrol media yang ada disana. Selain itu,
Russia memiliki banyak Undang-Undang yang mewajibkan adanya control editor yang
ketat untuk setiap berita serta tayangan yang akan dimunculkan ke public.
Seperti Hukum Yarovaya dan intervensi Roskomnazdor, yang kemudian melahirkan Komisi
Nasional Pemantau Media.
Fakta lainnya
tentang pro kontra kebebasan pers di Russia, dapat kita lihat pada tahun 2014, saat
sebuah stasiun televisi Russia, TV Rain, yang meliput aksi demonstrasi dan memprotes
pembunuhan tentara Russia dalam perang di Ukraina (yang oleh Kremlin secara
resmi tidak diakui) tiba-tiba diambilalih oleh 3 perusahaan penyedia TV Kabel
karena mereka mempublikasikan jajak pendapat kontroversial tentang situs web
berkaitan dengan Pengepungan Leningrad.
Organisasi
pemantau kebebasan pers internasional, Reporters without Borders dan Committee
to Project Journalists, telah melaporkan berkurangnya kebebasan pers di Rusia
di bawah pemerintahan Putin karena kombinasi sensor negara, self-censorship,
pengkhianatan yang sembrono, intimidasi terhadap pengiklan, tekanan pada
jurnalis, serta pemenjaraan wartawan.
2. Di Russia Tidak Ada Kebebasan Berpendapat
Dalam publikasi
rutinnya, Freedom House, sebuah organisasi nirlaba Internasional yang membuat
pemeringkatan kebebasan sipil dan politik di lebih dari 180 negara, memberikan
status Not Free kepada Russia dengan
rincian : freedom rating mendapat
skor 6,5 dari skala 7, political right mendapat
skor 7 dari skala 7, dan civil liberties mendapat
skor 6 dari skala 7, dimana nilai 1 adalah most
free dan nilai 7 adalah least free.
Total nilai agregat yang didapat oleh Russia oleh lembaga ini adalah 20 dari
skala 100 (0 = least free dan 100 = most free).
Lembaga ini juga
menyebutkan bahwa kekuasaan dalam sistem politik otoriter Rusia terkonsentrasi
di tangan Presiden Vladimir Putin. Dengan pasukan keamanan yang setia, hakim
yang tunduk, lingkungan media yang terkendali, dan legislatif yang terdiri dari
partai yang berkuasa dan kelompok oposisi yang lentur, Kremlin mampu
memanipulasi pemilihan umum dan menghambat oposisi sejati.
Kebebasan sipil di
Rusia sangat dibatasi. Dua wartawan investigasi independen terbunuh pada tahun
2017. Nikolay Andrushchenko, salah seorang pendiri surat kabar mingguan Novy
Peterburg yang dikenal karena melaporkan korupsi dan kebrutalan polisi,
meninggal pada April 2017 di sebuah rumah sakit di Kota St. Petersburg,
beberapa minggu setelah dia dipukuli oleh penyerang tak dikenal. Kematiannya merupakan
pembunuhan pertama seorang jurnalis yang direkam oleh CPJ sejak 2013. Dmitriy
Popkov, editor outlet berita investigasi online Ton-M, juga ditembak mati di
kota Siberia, Minusinsk timur pada bulan Mei 2017; dia juga dikenal karena
penyelidikannya terhadap pejabat pemerintah dan kritik dari partai yang
berkuasa, Rusia Bersatu. Jurnalis investigasi Yuliya Latynina, yang menulis
untuk Novaya Gazeta dan mengasuh program radio di Ekho Moskvy, melarikan diri
dari negara itu pada September 2017 setelah serangkaian ancaman dan serangan berupa
pembakaran terjadi di rumahnya. Sementara itu, RBC, sebuah layanan berita yang
disegani yang menerbitkan artikel-artikel kritis tentang pemilik bisnis yang
dekat dengan Putin, dijual ke sekutu Putin pada bulan Juni 2017. Ini merupakan sebuah
kebijakan yang akhirnya mendorong sejumlah wartawannya mengundurkandiri.
3. Praktik Korupsi Dibiarkan Begitu Saja
Bukan rahasia umum
lagi bahwa Russia menduduki peringkat tertinggi di antara negara-negara paling
korup di dunia. Menurut Freedom House, seperti sudah dijelaskan juga sebelumnya,
memberi Rusia skor 6,75 dari 7 untuk indeks korupsi tahun 2017. Dalam
laporannya, Freedom House menyebutkan bahwa Presiden Vladimir Putin dan
lingkaran dekat para loyalis politiknya sebagai akar penyebab korupsi yang
merajalela. Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang
berfokus pada korupsi, juga memiliki temuan serupa dan melaporkan Rusia adalah
salah satu negara paling korup di dunia. Russia berada di urutan ke 135 dari
180 negara yang ada di dunia dimana semakin besar urutan angkanya, maka indeks
korupsinya semakin buruk.
Ini bukan hal baru
bagi masyarakat Rusia. Sejak abad ke-16, mereka yang berkuasa telah sering
melakukan suap untuk menutupi kekurangan anggaran negara. Sejak itu, korupsi menyebar
ke seluruh sistem keuangan dan birokrasi negara, dari bank hingga ke lembaga
yang menerbitkan surat izin mengemudi. Dalam rilis lainnya, Amanda Taub
menyebutkan juga bahwa korupsi terjadi secara sistemik di hampir semua sector yang
ada. Ini membuat Russia menjadi salah satu negara terkorup di dunia.
***
Selain fakta-fakta
yang sudah dijelaskan diatas, ada juga fakta-fakta lain yang perlu diketahui
oleh masyarakat Indonesia tentang Presiden Putin. Ini agar kita seimbang melihat
bagaimana kepemimpinan Presiden Putin yang sebenarnya.
1. Masyarakat Dunia Lebih Percaya Putin Dibanding Donald
Trump
Penelitian yang diterbitkan oleh Pew Research Center, yang
bertujuan untuk mengukur persepsi global terhadap Rusia dan pemimpinnya,
Vladimir Putin, menemukan bahwa hanya satu dari empat orang di 37 negara yang
disurvei memiliki kepercayaan pada presiden Rusia untuk melakukan hal yang
benar dalam urusan internasional. Responden di Eropa adalah yang paling kritis,
dengan sekitar 78 persen mengungkapkan kurangnya kepercayaan pada kepemimpinan
Rusia.
Responden di negara-negara sekutu AS seperti Jepang,
Korea Selatan dan tujuh anggota NATO Eropa -Yunani, Jerman, Turki, Hongaria,
Prancis, Italia dan Spanyol- semuanya mengungkapkan kepercayaan yang lebih
besar pada Putin ketimbang Trump. Salah satu alasannya adalah komentar yang
tidak menentu yang dilakukan oleh Trump mengenai isu-isu global sejak dia
menjabat presiden USA. Misalnya mempertanyakan validitas dan efektivitas NATO,
menunda penegasan pakta pertahanan timbal balik dan menuduh anggota NATO di Eropa
tidak serius menanggung kontribusi wajib mereka.
Perbedaan dukungan terhadap Putin atas Trump paling
mencolok terjadi di Yunani dan Jerman, dimana Putin mengalahkan presiden AS
masing-masing sebanyak 31 dan 14 poin. Di Jerman, sekitar 25 persen responden
mengatakan bahwa mereka masih memiliki kepercayaan pada Putin, sementara hanya
11 persen yang mengatakan hal yang sama pada Trump. Tapi tidak semua warga
anggota NATO mengaggap Putin sebagai pemimpin yang lebih bisa dipercaya. Trump
mendapat nilai lebih tinggi di Inggris, Kanada, Belanda dan Polandia, menurut
survei PEW. Dia juga merupakan pilihan yang lebih baik bagi sekutu AS non-NATO
Australia dan Filipina, serta Israel, di mana dia mengalahkan Putin dengan 29
poin.
2. Keberhasilan Dalam Pengurangan Kemiskinan
Pada periode pertama kepemimpinannya, Putin berhasil
membawa Rusia keluar dari keterpurukan ekonomi dengan catatan prestasi ekonomi
yang sangat gemilang. Ekonomi Rusia tumbuh 8%. Pertumbuhan itu ditopang booming
perdagangan komoditas, harga minyak, dan pengelolaan ekonomi serta keuangan
yang hati-hati Kemiskinan berhasil dikurangi karena keberhasilannya dalam
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Proyek pengurangan kemiskinan ini diikuti
dengan baik oleh proyek nasional bidang kesehatan, perumahan, dan perlindungan
sosial. Jumlah pengangguran di Rusia turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta pada
2006. Dengan kekayaan minyaknya, cadangan devisa Rusia melonjak dari 12 miliar
dollar AS pada tahun 1999 menjadi 447,9 miliar dollar AS pada Oktober 2007.
Total utang luar negeri Rusia pun hanya mencapai 47,8 miliar dollar AS atau
tinggal sepertiga dari total utang Rusia tahun 1999.
3. Rasio Hutang Terhadap PDB Sangat Rendah
Rusia memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat
rendah, rasio ini termasuk yang paling rendah di dunia. Sebagian besar utang
luarnya bersifat pribadi. Rasio utang terhadap PDB pada tahun 2016 mencapai
12%. Sebagai negara pengganti utama bagi Uni Soviet, Rusia mengambil tanggung
jawab untuk membayar hutang eksternal Uni Soviet.
***
Sebagai etika warga negara yang bersahabat baik dengan
Russia, sudah seyogyanya kita tidak lantas menjadikan hal-hal yang menyangkut
Russia atau negara manapun, sebagai bahan olok-olok
atau materi kampanye. Memuji silahkan, namun tidak kemudian menjustifikasi
serta menyimpulkan secara sepihak apa yang terjadi di negara lain tanpa adanya
riset dan data yang mendalam. Bahkan walaupun ada sekalipun (data dan riset),
ada etika yang berlaku bagi kita sebagai warga negara yang bersahabat dengan
semua bangsa, untuk tidak mencemooh
serta menuding negative pemerintahan negara lain. Tentu selain pemerintah,
melalui Perwakilan resmi Pemerintah Indonesia di negara lain, kita juga wajib
menjaga persahabatan yang telah lama dibangun. Tidak etis dan tidak elok
rasanya jika isu politik dalam negeri kita diolah dan digoreng memakai bahan /
materi dari isu yang terjadi di negara lain, yang notabenenya memiliki hubungan
diplomatic resmi dengan kita. Semoga kita semua bisa memakluminya.
*Data-data dalam tulisan diperoleh dan diolah dari
berbagai sumber
Tags:
Sospol
0 comments