ROHINGYA ; BANGSA TANPA NEGARA [Bag. 1]
Baca Juga
Beberapa waktu
yang lalu, ada salah seorang teman yang menghubungi untuk minta pendapat dan
gambaran utuh tentang kondisi Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Saya sendiri
sebenarnya tidak qualified untuk
menggambarkan isu dan konflik ini, karena saya sudah lama tidak mendalami isu-isu
ke-HI-an. Namun saya coba memberikan gambaran utuh berdasarkan sumber-sumber yang
ada (saya tidak bisa mengatakan sumbernya 100% valid, namun saya berusaha
mengambil sumber-sumber primer yang mendapat data di lapangan). Tulisan ini
saya buat berdasarkan resume dan
kumpulan dari tulisan para actor pejuang kemanusiaan yang terjun langsung ke
Myanmar, artikel media massa, laporan penelitian NGO, literature sejarah, catatan
orang yang pernah tinggal dan melakukan riset di Myanmar, dan hasil diskusi
dengan para akademisi melalui jejaring social
(lebih lengkapnya ada di catatan kaki). Perlu disampaikan bahwa tulisan ini
tidak bertendensi apapun, hanya mencoba merekonstruksi apa yang sebenarnya
terjadi dan bagaimana sebenarnya kita sebagai bangsa Indonesia harus bersikap.
***
Dalam memahami isu
Rohingya, kita harus melihat fakta sejarah bahwa ini bukan sekedar isu yang
baru terjadi beberapa tahun yang lalu. Namun sudah puluhan tahun. Kita harus
melihatnya secara utuh karena keduanya saling berkaitan. Saya akan coba
membaginya dalam 2 era, yaitu Rohingya Kuno dan Rohingya Modern, dimana
Rohingya kuno adalah masa sebelum kemerdekaan Burma dan Rohingya Modern adalah
masa setelah Burma merdeka dari Inggris.
Sebelum Inggris menguasai Myanmar, wilayah/propinsi (state)
yang saat ini disebut “Rakhine”, terdiri atas 2 bagian. Sebagian dibawah
wilayah Bengal dan sebagian lagi dibawah kerajaan Arakan.
Penting untuk sedikit memahami apa yang terjadi sebelumnya di wilayah Rakhine,
baik di utara (dekat dengan Bangladesh) dan selatan (dekat dengan
Burma/Myanmar). Bengal sejak 1947 berada dalam wilayah Pakistan, namun
masyarakat Bengal merasa didiskriminasi oleh Pakistan, salah satunya
karena bahasa; karena meskipun mereka adalah mayoritas di wilayah tersebut,
bahasa resmi yang digunakan pemerintah adalah bahasa Urdu dan bukan Bengali.
Banyak gerakan separatis masyarakat Bengal dan akhirnya pada tahun 1971 Bengal
merdeka dari Pakistan dan menjadi negara Bangladesh. Dalam proses menuju
kemerdekaan Bangladesh, tentunya banyak rakyat sipil yang mengungsi, lari dari
perang. Sebagian lari menuju ke Selatan, masuk ke wilayah (bekas) kerajaan
Arakan, yang saat itu sudah berada di bawah Burma. Pengungsi ini kemudian
ditampung sementara, namun sebagian besar dikembalikan lagi ke Bangladesh
karena tidak diakui sebagai warga Myanmar.
Di selatan, bagian Burma, saat terjadi pembasmian
gerakan separatis Muslim di Rakhine di tahun 1950; banyak juga penduduk
yang berusaha lari dan bermigrasi ke Bengal (Pakistan). Nasib mereka sama,
sesampainya di Bengal, mereka ditampung sementara dan akhirnya dikembalikan ke
Myanmar. Tentu ada sebagian yang lolos sebagai imigran ilegal di kedua negara
dan akhirnya bisa hidup turun temurun di negara baru mereka [1]
Rohingya Kuno
Cikal-bakal kelompok Rohingya terlacak pada awal abad
ke-15. Pada 1404, pasukan dari Ava, ibukota kerajaan Burma kala itu, menyerang
kerajaan Arakan yang membuat Raja Narameikhla mengungsi ke negeri Bengali (kini
Bangladesh). Dua puluh empat tahun kemudian, bersama bala bantuan dari Sultan
Bengali, dia kembali untuk merebut Arakan. Menurut Wilhem Klein dalam Burma,
The Golden, selama di Bengali, Narameikhla belajar matematika, ilmu pengetahuan
alam, dan Islam di kota Gaur. Ketika kembali menjadi penguasa Arakan, pengaruh
Islam yang didapatkannya di pengasingan begitu terasa. Dia mengubah namanya
menjadi Solaiman Shah. Dia juga membangun masjid, mendirikan pengadilan yang
memadukan budaya Budha dan Islam, serta mendirikan sebuah kota bernama Mrauk U
yang akan menjadi kota terpenting di wilayah itu. Pengaruh Islam tetap
bersemayam dalam diri setiap penguasa Arakan, kendati Arakan tetaplah kerajaan
Budha yang merdeka [2].
Baca juga : Rohingya ; Bangsa Tanpa Negara (Bag. 2)
Pada 1784, Bodawphaya, raja Burma dari Dinasti
Konbaung, mengerahkan tentara untuk menginvasi wilayah Arakan. Ribuan orang
tewas dan ditawan. Menurut sejarawan Inggris G. E. Harvey dalam Outline of
Burmese History, setidaknya 20.000 tawanan termasuk simpatisan Muslim, seniman,
dan ilmuwan digelandang menuju pusat Burma melintasi bukit Arakan. Ratusan di
antaranya tewas selama di perjalanan. Pemerintahan Arakan jatuh. Dimulailah
perseteruan antara etnis Burma dan orang-orang Arakan, terutama penganut Islam,
yang berlarut-larut hingga kini. Kekuasaan Inggris, yang menginvasi Burma dalam
apa yang dikenal sebagai Perang Anglo-Burma I pada 1823, tak menyurutkan
perseteruan itu. Selama memerintah Arakan, Inggris mendatangkan orang-orang
Muslim yang sebelumnya terusir ke Chittagong, Bengali, karena membutuhkan
tenaga kerja di lahan-lahan pertanian serta membangun infrastruktur [2].
Kerajaan Inggris menguasai daerah Rakhine mulai tahun
1826, setelah perang Anglo-Burmese. Salah satu hal pertama yang dilakukan oleh
pemerintah bentukan Inggris yaitu melakukan sensus penduduk untuk mendata
jumlah penduduk, suku-suku dan agama yang ada di Burma. Dari beberapa sensus
yang dilakukan, tidak ada yang mengidentifikasi diri mereka sebagai suku/ etnis
Rohingya. [3] [4]. Orang etnis India (berkulit hitam) di Burma pada masa itu
dijuluki Hindus (bila mereka beragama Hindu) dan Mohamedans (kalau mereka
Muslim). Mereka yang berasal dari Bengal, disebut Chittagonians atau Bengalis
[1].
Banyak yang sering menggabungkan “Rohingya” (baca:
Ro-hin-jya) dengan “Muslim”. Muslim Rohingya, begitu sering diberitakan –
dimana Rohingya diidentikkan dengan orang beragama Islam. Ada juga
beberapa media yang menyebutnya “Etnis Rohingya”, dimana Rohingya
diidentikkan dengan sebuah suku. Lalu yang mana yang paling tepat? Kata
Rohingya berasal dari Bahasa Bangladesh (Bengali), kata “Rohang” yang merupakan
sebutan lain untuk “Arakan” (kerajaan Arakan). Istilah ini pertama kali
didokumentasikan oleh Dr. Francis Buchanan, seorang botanis, geografer, ahli
bahasa dan peneliti budaya dan sejarah Bengal. Pada tahun 1795, dia mengunjungi
kerajaan Amarapura setelah jatuhnya kerajaan Arakan. Di sana dia bertemu
penduduk setempat dan saat ditanya dari mana asalnya, mereka menjawab dari
Rohang. Rohingya (orang yang berasal dari Rohang), adalah istilah yang muncul
atas latar belakang geografis, bukan suku atau agama. Mereka adalah orang-orang
Bengal yang tinggal di wilayah kerajaan Arakan. [3]. Yang menarik, istilah
Rohingya ini hanya ada di Rakhine bagian Myanmar. Saat dilakukan
penelitian pada orang dari Rakhine bagian Bangladesh,
disana tidak dikenal istilah Rohingya [1].
Rohingya Modern
Pada 1942, Jepang menginvasi Burma. Penduduk Burma
mengambil kesempatan ini untuk memprovokasi penganut Budha di Arakan.
Terjadilah kerusuhan yang menewaskan sekitar 100.000 Muslim dan ratusan ribu
lainnya melarikan diri ke Bengali. Di bawah kekuasaaan Jepang, umat Budha
menjadi mayoritas di Arakan. Kerusuhan ini membagi wilayah Arakan menjadi dua
bagian: selatan dihuni penganut Budha, utara dihuni orang-orang Muslim
Rohingnya. Inggris, yang terdesak ke Arakan utara, menjalin hubungan dengan
orang-orang Rohingya. Ketika Inggris menyusun rencana perang gerilya dengan
sandi “V Force” pada April 1943, dengan tujuan merebut kembali wilayah-wilayah
yang dikuasai Jepang, orang-orang Rohingya ikut dilatih sebagai calon tentara.
Tentara Arakan yang tergabung dalam “V Force” berperan penting dalam upaya
Inggris merebut kembali Arakan pada 1945. Merasa andil dalam memenangkan
Inggris, orang-orang Rohingya menuntut imbalan berupa kemerdekaan di sebuah
wilayah bernama Maungdaw di Arakan. Permintaan ini dikabulkan. Para pengungsi Rohingya,
yang terusir ke Bengali dalam kerusuhan tahun 1942, akhirnya kembali ke
kampungnya. Untuk mengamankan kekuasaan, mereka tak memberikan jabatan-jabatan
strategis kepada orang-orang Budha; suatu keadaan yang memperdalam sentimen
kebencian. Sebagai hasil dari Konferensi London, kekuasaan Inggris akhirnya
diserahkan kepada Burma pada 4 Januari 1948. Tanggal ini kemudian dijadikan
hari kemerdekaan Burma [2].
Sayangnya, pasca kemerdekaan, keberadaan orang-orang
Rohingya justru tak diakui. Dalam draf konstitusi Burma yang baru disusun,
mereka tak dimasukkan dalam kategori kelompok minoritas. Konsekuensinya, mereka
tak berhak mendapatkan hak-hak minoritas seperti kuota di parlemen dan
perlindungan hukum. Perlakuan ini memicu kembali perlawanan orang-orang
Rohingya. Banyak di antara mereka bergabung dalam gerakan Mujahidin yang
dipimpin Jafar Kawal. Gerakan ini ditandingi Burma Teritorial Force (BTF) yang
dibentuk Jenderal Ne Win. Ribuan Muslim dan rumah mereka dimusnahkan pasukan
Jenderal Ne Win. Salah satu keberhasilan gerakan Mujahidin adalah memaksa
pemerintah Burma memberikan distrik otonom yang terdiri dari Maungdaw,
Rathedaung, dan Buthidaung pada 1950. Wilayah ini nantinya dikenal sebagai Mayu
Frontier [2].
Menlu RI bertemu dengan Jenderal Min Aung Hlaing yang merupakan pimpinan junta militer Myanmar (Sumber : FP Kemenkumham RI) |
Pada tahun 1978 pemerintah Burma melakukan operasi
imigran ilegal yang dikenal dengan King Dragon Operation. Tujuannya untuk
“membasmi” anggota dan simpatisan gerakan Mujaheedin atau gerakan pemberontakan
lainnya. Banyak rakyat muslim yang dipenjara dan dibunuh dalam operasi ini.
Banyak juga yang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh untuk mencari
perlindungan. Sebagian dari mereka ditampung sebagai pengungsi, namun sebagian
lagi bergabung dengan berbagai gerakan pemberontakan lainnya. Dengan larinya
penduduk muslim ke perbatasan, ini menjadi ladang yang subur untuk melakukan
rekrutmen. Ada yang bergabung dengan motivasi balas dendam, untuk mencari
perlindungan dan juga untuk berjihad [1].
Rohingya mengalami keadaan lebih baik semasa U
Ba Swe menjabat Menteri Pertahanan pada 1959. U Ba Swe mengakui orang-orang
Rohingya sama seperti ras-ras lainnya di Burma sehingga memiliki hak setara.
Orang-orang Rohingya pun bisa ikut pemilihan umum pada 1960. Pemerintah bahkan
membentuk Mayu Frontier Administration (MFA). Burma Broadcasting Service (BBS),
stasiun radio milik pemerintah, juga mulai menyiarkan berita-berita berbahasa
Rohingya dalam acara bertajuk Rohingya Language Program. Namun, nasib baik
orang-orang Rohingya tak berlangsung lama. Pada 1962, Jenderal Ne Win
mengkudeta pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Seketika Burma pun berubah
menjadi pemerintahan junta militer. Program-program yang berpihak kepada
orang-orang Rohingya seperti MFA dihapus. Setelah nasionalisasi ekonomi
besar-besaran oleh pemerintahan Dewan Revolusioner Ne Win pada 1963,
orang-orang Rohingya melintas ke Bengali. Pemberontak Mujahidin membubarkan
diri, namun segera muncul gerakan baru bernama Rohingya Independence Force
(RIF) pada 26 Maret 1963. Setelah itu muncul Rohingya Independence Army,
Rohingya Patriotic Front (RPF), dan Rohingya National Alliance (RNA) yang
bertujuan menuntut pembentukan daerah otonom bagi Muslim Rohingya di wilayah
pemerintahan Burma. Gerakan-gerakan tersebut memunculkan kesadaran baru bagi
orang-orang Rohingya untuk memperjuangkan wilayah dengan pemerintahan sendiri.
Namun, di sisi lain, ia meningkatkan tindakan represif dari junta militer. Identitas
Rohingya pelan-pelan dihapus. Arakan, nama wilayah yang selalu identik dengan
orang-orang Rohingya, secara resmi diubah menjadi Rakhine pada 1974. Empat
tahun kemudian, pemerintah menggelar operasi militer bernama Naga Min. Operasi
ini dilakukan dengan memeriksa kartu identitas penduduk. Semua yang tercatat
sebagai Rohingya diusir. Terjadi pula pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan
pelanggaran lainnya, yang mendorong 200.000 orang Rohingya mengungsi ke
Bangladesh. Tak lama setelah operasi Naga Min, junta militer menerbitkan Burma
Citizenship Law pada 1982. Dalam undang-undang tersebut termaktub bahwa
pemerintah hanya mengakui 135 kelompok warga negara yang disebut “national race”.
Celakanya, Rohingya tak termasuk di dalamnya. “Rohingya adalah rakyat tanpa
negara,” maklumat Jenderal Ne Win. Sejak itulah orang-orang Rohingya tak
memiliki status kewarganegaraan. Akses sekolah dan rumah sakit ditutup.
Orang-orang Rohingya juga kembali mengalami pengusiran. Simpul penting dalam
kisah pengusiran orang-orang Rohingya adalah dibentuknya Nay-Sat Kut-Kwey Ye
atau NaSaKa di Rakhine utara. NaSaKa terdiri dari polisi, badan imigrasi, badan
intelijen, dan lembaga anti huru-hara. Lembaga ini menjadi alat junta militer
untuk mengusir orang-orang Rohingya [2].
bersambung ke bagian 2............
Tags:
Sospol
0 komentar