Beberapa hari yang
lalu, linimasa twitter dihebohkan dengan berita di salah satu media online tentang
qunut yang ternyata penyebab mengapa Indonesia terbebas dari virus corona. Banyak
respon yang di berikan dari para penghuni twitter. Ada yang memang benar
meyakininya, ada pula yang membantah dan meragukannya. Tak jarang juga, para
warganet twitter ini meresponnya dengan kalimat-kalimat satir. Beberapa orang
yang mendaku sebagai warga Muhammadiyah pun meresponnya dengan kalimat-kalimat satir
seperti “Wah, gimana dengan kami yang Muhammadiyah? Kami kan tidak pakai
qunut”. Cuitan ini disambar lagi oleh akun anonim dengan kalimat “Yang
Muhammadiyah saja bilang begitu, bagaimana kami yang bukan muslim [disertai
emot]”. Kalimat-kalimat satir khas penghuni twitter ini memang cukup
mengundang gelak senyum bagi para pembacanya. Namun ada juga teman saya yang merupakan
kader cleleng salah satu kelompok Islam ini, serius menanggapinya dengan
bertanya ke saya.
“Mas, Muhammadiyah
kan gak pakai qunut. Lalu ada amalan khusus gak yang diamalkan
warga Muhammadiyah untuk menghadapi virus corona ini?”
“Ada”, jawab saya
“Apa itu mas?
Boleh dong dibagi ijasahnya ke saya” (Ijasah adalah sebutan semacam
amalan/doa khusus yang dibuat oleh pemuka agama seperti kyai, ustadz, dsb yang
biasanya ditulis di secarik kertas)
“Boleh. Ini amalannya
rabbana attina fiddunnya khasanah wafil akhirati khasanah waqina adzabannar.
Ini Namanya Ijasah sapu jagad”
Teman saya sedikit
misuh di percakapan WA. Saya meresponnya dengan stiker ketawa geli. Lalu
saya jelaskan bahwa di Muhammadiyah, tidak mengenal amalan-amalan khusus
semacam ijasah ini. Ibadah dan doa yang dilakukan oleh para warga
Muhammadiyah disesuaikan dengan apa yang sudah diputuskan oleh Majelis Tarjih yang
semuanya berdasarkan riwayat dan dalil yang sahih. Bukan buatan ulama-ulamanya
atau pimpinan Muhammadiyah. Saya juga menjelaskan bahwa Muhammadiyah punya
caranya sendiri dalam menghadapi wabah penyakit seperti corona ini.
***
Doa qunut memang
tidak familiar dikalangan warga Muhammadiyah. Selain tidak dipraktekkan seperti
saat salat subuh seperti kebanyakan di Indonesia, dalil yang mengharuskan
melakukan qunut pun lemah. Bahkan untuk qunut nazilah pun, Muhammadiyah
menyandarkannya pada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah sendiri tidak lagi
mempraktikkannya setelah turun surat Ali-Imran ayat 127. Pembahasan tentang
qunut, telah tuntas dikupas oleh ulama-ulama Muhammadiyah dalam kitab Himpunan
Putusan Tarjih (HPT) yang menjadi rujukan bacaan untuk memahami pembahasan
permasalahan-permasalahan agama di kalangan warga Muhammadiyah.
Nah, kembali ke
persoalan utama tadi. Jika ada pimpinan ormas Islam lain yang meyakini bahwa
qunut merupakan alasan mengapa Indonesia masih terbebas dari corona, maka hal ini
sah-sah saja. Itu adalah keyakinan mereka yang kita patut hargai. Tapi soal keharusan
mengikutinya, ini persoalan lain.
Di Muhammadiyah,
kader dan warganya terbiasa diajarkan untuk beragama yang rasional. Tidak fanatik.
Muhammadiyah mengajarkan untuk menempatkan akal setelah iman. Sehingga dalam
beragama, ada celah-celah untuk memasukkan ilmu pengetahuan / sains dalam upaya
mendukung implementasi keimanan yang telah diyakini. Dalam hal menghadapi virus
corona ini, Muhammadiyah tidak hanya merapalkan doa-doa saja. Doa itu penting,
karena menyangkut keimanan bahwa Allah lah sebaik-baiknya pengatur kehidupan.
Namun tindak lanjut/usaha dan langkah nyata setelah doa juga tak kalah
pentingnya.
Dengan keyakinan
itu, maka sebagai upaya mencegah dan menangkal penyebaran virus corona yang
sedang mewabah di banyak negara, Muhammadiyah mewujudkannya dengan
penyiapan-penyiapan rumah sakit dan poliklinik milik Muhammadiyah untuk menjadi
rujukan jika ditemukan pasien terkena virus corona. Ini merupakan langgam
Muhammadiyah yang telah dipraktekkan sejak seabad yang lalu, dimana ketika
banyak kelompok-kelompok muslim di nusantara masih berdebat soal bagaimana cara
agar bisa berdaya ditengah kolonialisasi Belanda, Muhammadiyah sudah bergerak
untuk mencerdaskan masyarakat melalui sekolah-sekolah modern, menolong
masyarakat dalam hal kesehatan dengan mendirikan rumah sakit PKU, menolong
anak-anak yatim dengan membuka panti asuhan, dan masih banyak lagi.
Jadi wajar saja jika
dalam kondisi yang cukup genting soal penyebaran virus corona yang sudah
dijadikan sebagai kegentingan global oleh WHO, Muhammadiyah tidak lantas hanya membuat
pernyataan-pernyataan maupun ajakan untuk berdoa saja, melainkan meresponnya dengan
aksi-aksi nyata. Selain menyiapkan Rumah Sakit dan Polikliniknya, melalui
cabang-cabang Istimewanya di berbagai negara seperti Taiwan dan Hong Kong,
Muhammadiyah mengirimkan dan membagikan puluhan ribu masker untuk para WNI sebagai
upaya pencegahan penularan virus corona ini. Selain itu, Muhammadiyah juga
menerjunkan para civitas akademikanya di negara-negara terdampak virus corona
yang terdapat banyak WNI untuk memberikan edukasi terkait bagaimana melakukan
proteksi agar terhindar dari virus corona seperti penggunaan hand sanitizer
secara rutin, menjaga kebersihan diri, serta menjaga jarak dengan kerumunan
orang di tempat umum.
Langkah-langkah nyata
Muhammadiyah ini merupakan cerminan bagaimana sains dan ilmu pengetahuan merupakan
alat untuk mewujudkan keyakinan iman dalam beragama di internal Muhammadiyah. Salah
satu keyakinan beragama yang kemudian diwujudkan melalui kerja-kerja nyata ini
adalah ayat dalam surat Ar Rad ayat 11. Membuat sebuah perubahan itu tak cukup
dengan berdoa saja, namun harus diwujudkannya melalui aksi-aksi nyata untuk
mendukung dikabulkannya rapalan doa.
***
Kiai Dahlan membangun
Muhammadiyah bukan hanya sekedar sebagai organisasi pembuat fatwa keagamaan.
Muhammadiyah didirikan sebagai kendaraan untuk mempraktekkan keimanan melalui ilmu
pengetahuan dan kerja-kerja kemanusiaan. Kader Muhammadiyah tidak pernah
diajarkan hanya menyandarkan hajatnya pada doa saja tanpa usaha. Setiap kader
Muhammadiyah selalu diajarkan bahwa ada usaha setelah doa. Karena Muhammadiyah adalah
organisasi pergerakan, bukan organisasi ucapan, yang senantiasa bergerak
dan berusaha mewujudkan setiap kebaikan menjadi sesuatu yang nyata, bukan hanya
tersemat dalam doa.
“Susu murni itu warnanya putih
dan tak ada rasanya. Tergantung pengolahnya mau diberi warna apa dan rasa
seperti apa. Seperti itulah semangat dakwah di Muhammadiyah yang telah
digelorakan oleh para pengurusnya. Tugas kita sebagai kader muda untuk
mewarnainya dan memberikan rasa agar susu tersebut menarik dan diminati banyak
orang” (Abi Naya)
Hari-hari ini dunia
pendidikan di Indonesia tersentak dengan viralnya video perundungan seorang
siswi SMP yang dilakukan oleh tiga orang siswa yang merupakan kakak kelasnya. Viralnya
video ini di amplifikasi oleh pemberitaan yang masif melalui media daring dan
media sosial. Apalagi kasus ini mendapat atensi khusus dari gubernurnya. Yang
lebih menyentakkan lagi adalah sekolah tempat terjadinya kasus ini adalah sekolah
Muhammadiyah yang ternyata mengalami krisis jumlah siswa. Diketahui bahwa dari
kelas 7 hingga kelas 9, jumlah siswanya hanya 21 orang yang terbagi dalam tiga
rombongan belajar. Di pemberitaan yang lain, sebenarnya sekolah ini dulunya
memiliki banyak siswa, hingga kemudian pemerintah membuat berbagai kebijakan
untuk sekolah negeri, sehingga membuat jumlah siswa di sekolah ini terus turun
tiap tahunnya. Apakah ini salah pemerintah? Atau salah Muhammadiyah sebagai organisasi
induknya? Atau salah pengelolanya yang tak becus mendidik mereka?
Di era kolaborasi
seperti saat ini, sudah bukan zamannya mencari-cari siapa yang salah dan harus
mempertanggungjawabkannya. Ini semua adalah tanggungjawab kita bersama,
lebih-lebih kita sebagai kader Muhammadiyah, karena kerja-kerja pendidikan
adalah kerja kolosal yang membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mencapai
tujuan dari pendidikan itu sendiri. Maka melalui tulisan singkat ini, saya
ingin berbagi pandangan tentang ide yang beberapa hari ini terus bergejolak di
kepala saya. Ide ini terinspirasi dari Gerakan Indonesian Mengajar yang sedikit
saya tahu karena pernah terlibat di dalamnya walau sebentar. Juga terinspirasi
dari program Beasiswa Pendidikan Indonesia yang lebih populer dengan sebutan
LPDP. Jadi kalau boleh menyimpulkan, maka ide ini adalah bentuk percampuran dua
konsep besar lembaga tersebut dengan memodifikasinya sesuai kebutuhan yang ada
di internal persyarikatan Muhammadiyah, yang [kalau boleh] saya namakan Muhammadiyah Berdaya.
Apa itu Muhammadiyah Berdaya?
Ini adalah sebuah
konsep gerakan untuk memberdayakan para angkatan muda Muhammadiyah potensial
untuk ikut terlibat dalam proses menyelesaikan permasalahan dan tantangan yang
ada di Amal-Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bidang pendidikan. Pemberdayaan ini
melalui pemanggilan semua kader muda Muhammadiyah beprestasi yang ada di
berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri untuk ditempatkan di AUM-AUM
di seluruh Indonesia dengan masa kontrak selama minimal 3 tahun. Mereka yang
ditempatkan di AUM Pendidikan ini diharapkan mampu memberikan inovasi dan
solusi melalui gagasan-gagasan serta aksi nyata. Gerakan ini bersifat
berkesinambungan dengan evaluasi ketat setiap 2 tahun oleh para pakar
pendidikan di Muhammadiyah. Luaran yang diharapkan adalah mereka menjadi
akselarator sekaligus katalisator kemajuan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang
mereka tempati. Ini adalah bentuk kaderisasi praksis (Muhammadiyah practical regeneration) sebagai kelanjutan dari kaderisasi
ideologis yang dilaksanakan melalui baitul arqam.
Siapa Angkatan Muda Muhammadiyah Berprestasi itu?
Ialah para sarjana
muda dari kalangan kader Muhammadiyah yang telah lolos seleksi yang diadakan
secara berjenjang dan disaring secara ketat oleh tim khusus yang dibentuk untuk
itu. Mereka bisa berasal dari kalangan lulusan perguruan tinggi Muhammadiyah,
universitas negeri, universitas swasta yang punya reputasi yang baik, dan mereka
yang lulusan luar negeri dengan catatan bahwa yang bersangkutan merupakan kader
Muhammadiyah yang tercatat pernah mengikuti perkaderan dan aktif di organisasi
otonom Muhammadiyah, maupun ranting dan cabang Muhammadiyah di seluruh dunia.
Selain dari para
lulusan sarjana muda berprestasi ini, gerakan ini juga diisi oleh para sarjana
muda lulusan luar negeri yang telah diberikan beasiswa dari Muhammadiyah selama
masa studinya. Mereka yang akan berangkat studi, memberikan pernyataan tertulis
bahwa sekembalinya mereka dari studi di luar negeri, mereka siap ditempatkan
dan mengabdi melalui program ini di seluruh sekolah-sekolah Muhammadiyah di
berbagai daerah di Indonesia selama 3 tahun.
Muhammadiyah Memberikan Beasiswa ke Luar Negeri?
Ya, Muhammadiyah
memberikan beasiswa kepada para kadernya yang memenuhi syarat berupa bantuan
biaya hidup selama studi di luar negeri. Di berbagai negara di dunia, banyak
kampus yang menawarkan beasiswanya namun hanya berupa beasiswa partial atau sebagian, dimana komponen
yang ditanggung oleh kampus adalah berupa SPP / tuition fee saja. Untuk biaya hidup atau living cost / stipend, Muhammadiyah yang membantunya selama masa
studinya. Dengan cara ini, Muhammadiyah bisa mengirimkan kader-kadernya untuk
mencari pendidikan terbaik di berbagai negara di dunia, dengan budget yang tidak terlalu besar karena
hanya cukup membiayai biaya hidupnya saja. Harapannya, para kader ini bisa
digembleng dan dididik oleh sistem-sistem pendidikan terbaik di berbagai negara
dan menyerap intisarinya yang pada akhirnya dipraktikkan di sekolah-sekolah
Muhammadiyah untuk meningkatkan mutu dan kualitasnya.
Apa Bentuk Penempatan Gerakan Ini?
Mereka yang telah
dinyatakan lolos dan layak, akan mengikuti semacam Pre Departure Training (PDT) secara intensif sebelum disebar ke
berbagai sekolah-sekolah Muhammadiyah se-Indonesia. Program PDT ini diisi
dengan materi-materi khusus tentang team
work, manajerial, pengajaran inovatif dan menyenangkan, social analysis, berpikir kreatif, serta
materi-materi lain yang terkait dengan gugus tugas mereka.
Sekolah Muhammadiyah dalam Film Laskar Pelangi (Foto : Miles Film / Istimewa)
Mereka akan
ditempatkan sebagai guru maupun kepala sekolah di sekolah-sekolah yang
sebelumnya telah ditetapkan melalui assessment
lapangan oleh Majelis Dikdasmen di wilayah tersebut. Semua data hasil assessment tersebut diolah, dianalisis,
serta dikelola oleh tim khusus dari Majelis Dikdasmen untuk kemudian di
cocokkan dengan plotting para kader
Muhammadiyah Berdaya ini. Selain fokus membenahi sekolah-sekokah Muhammadiyah,
para kader Muhammadiyah Berdaya ini nantinya juga diharuskan aktif dan
menghidupkan kegiatan-kegiatan cabang dan ranting Muhammadiyah yang ada di
daerah penempatan.
Siapa yang Menggaji Mereka?
Mereka akan digaji
oleh Muhammadiyah secara layak selama 3 tahun penempatan. Muhammadiyah bisa
mendapatkan biaya penggajian ini melalui crowd
funding anggota Muhammadiyah yang dikelola oleh LazisMu, dana alokasi
khusus dari PTM se-Indonesia, maupun dana CSR dari sponsor pihak ketiga yang
tidak mengikat. Selama ini Muhammadiyah sudah berhasil menggalang dana publik
anggotanya melalui LazisMu untuk pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah. Kebutuhan dana
Muktamar Muhammadiyah yang jumlahnya puluhan Milyar saja bisa tertutupi melalui
metode ini, apalagi untuk membiaya program dan gerakan ini yang jumlahnya bisa
jadi hanya sepersepuluh atau seperduapuluh dari biaya Muktamar.
Para kader
Muhammadiyah Berdaya ini selain diberikan gaji yang layak, juga diberikan
fasilitas lain berupa jaminan asuransi serta jejaring Muhammadiyah. Kedua fasilitas
ini nampak sepele, namun saat penempatan akan sangat dibutuhkan guna
menyukseskan program-program yang telah diinisiasi.
Apa Luaran yang Diharapkan dari Gerakan ini?
Kita semua paham
bahwa banyak sekolah-sekolah Muhammadiyah di daerah didirikan bukan hanya
sekedar kebutuhan, juga karena tingginya semangat dakwah yang dimiliki para
pengurus di cabang dan ranting-ranting Muhammadiyah se-Indonesia.
“Orang Muhammadiyah jika
kumpul-kumpul maka jadilah sebuah sekolah” (Seorang Cendikiawan / saya lupa namanya)
Terkadang sebuah
sekolah Muhammadiyah berdiri itu bukan saja karena dibutuhkan, melainkan karena
ingin mensyiarkan dakwah Muhammadiyah melalui pendidikan. Mungkin bisa dikatakan
bahwa di Muhammadiyah, karya nyata / program kerja paling mudah untuk dilakukan
adalah membuat sebuah sekolah. Selama ini hampir di setiap cabang-cabang
Muhammadiyah yang jumlahnya ribuan se-Indonesia, semuanya memiliki sekolah
Muhammadiyah. Semangat dakwah mereka melalui sekolah Muhammadiyah perlu terus
dipupuk dan didukung agar tidak layu sebelum berkembang. Kita semua paham bahwa
terkadang semangat dakwah para pengurus ini tidak dibarengi dengan penyediaan
SDM yang mumpuni, sehingga kesannya asal jalan saja.
Kehadiran para
kader Muhammadiyah Berdaya ini diharapkan mampu menularkan inovasi-inovasi,
kreatifitas, serta kebaikan-kebaikan kepada para kepala sekolah, guru,
karyawan, maupun pengurus ranting dan cabang-cabang Muhammadiyah. Kebaikan itu
selalu menular, sehingga perlu diinisiasi untuk terus berregenerasi dan
berduplikasi.
Setiap kader yang
ditempatkan akan membawa ilmunya untuk kemudian dihadapkan pada sebuah problem
riil di lapangan. Idealisme mereka akan disandingkan dengan tantangan,
hambatan, dan berbagai persoalan yang ada. Dalam 3 tahun masa penempatan,
mereka harus bisa mengelola problem-problem tersebut menjadi sebuah inovasi dan
keunggulan yang pada akhirnya diharapkan mampu memperbaiki kualitas dan mutu
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Mereka datang dengan idealisme ilmu manajerial kekinian,
cara pengajaran yang efektif, hingga manajemen konflik untuk kemudian bisa
membantu memberdayakan para guru, kepala sekolah, dan pengurus Muhammadiyah
yang ada di tempat mereka. Mereka datang bukan untuk menjadi superhero kesiangan, melainkan mendorong
untuk terjadinya perbaikan dan peningkatan mutu sekolah Muhammadiyah. Yang menjadi
fokus pemberdayaannya adalah ketiga aktor tersebut. Merekalah yang didorong
untuk berdaya, karena pada akhirnya para kader Muhammadiyah Berdaya ini tidak
selamanya akan tinggal disana. Sehingga perlu semacam transfer of knowledge secara alamiah. Dan program Muhammadiyah
Berdaya ini diharapkan menjadi sebuah media untuk melakukan transfer ilmu
pengetahuan tersebut.
***
Kehadiran
sekolah-sekolah Muhammadiyah selama ini banyak yang menjadi berkah. Masyarakat memiliki
opsi untuk menyekolahkan anaknya di sebuah institusi pendidikan Islami dengan
biaya yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Namun kehadiran sekolah
Muhammadiyah ini juga kadang tak lepas dari anggapan sebagian masyarakat umum bahwa
sekolah Muhammadiyah adalah sekolah kelas dua, tempat dimana menjadi pelarian
bagi mereka yang “dibuang” oleh sekolah negeri maupun swasta favorit.
Kejadian
perundungan yang sedang heboh saat ini kiranya bisa menjadi momentum untuk
bersama-sama memberikan perhatian lebih guna peningkatan kualitas dan mutu
sekolah-sekolah Muhammadiyah agar selamanya tidak menjadi sekolah kelas dua. Memang
ada sekolah Muhammadiyah yang bagus dan menjadi favorit, namun sayangnya jika
kita persentasekan dengan jumlah keseluruhan sekolah Muhammadiyah yang ada,
jumlahnya tak cukup signifikan. Oleh karena itu, melalui ide gerakan
Muhammadiyah Berdaya ini, saya membayangkan 5 tahun kedepan, jumlah sekolah
Muhammadiyah yang menjadi favorit bisa naik mencapai 30-40 % dari jumlah keseluruhan
dan bertahap untuk kemudian bisa menjadi seluruhnya. Mengakhiri catatan singkat ini, saya ingin menutupnya dengan sebuah kutipan : sebuah kebaikan akan mencari jalannya
sendiri untuk mewujudkan kebaikan itu sendiri. Semoga sekolah-sekolah
Muhammadiyah kembali berjaya dan berdaya !
Tempo hari, saya
diajak menghadiri sebuah tabligh akbar yang mendatangkan seorang habib asal
Indonesia. Jamaah yang hadir cukup banyak, satu gedung penuh. Teman yang
mengajak saya tersebut tiba-tiba berceletuk kepada saya.
“Mas, kenapa toh di Muhammadiyah tidak ada habib
kayak di NU?”
“Kata siapa di
Muhammadiyah tidak ada habib?”
“Saya lihat di
tiap-tiap tabligh akbar yang diadakan oleh Muhammadiyah, tidak ada satupun
pembicaranya yang habib. Kalau tidak professor doctor, ya minimal ustadz lah. Itupun pasti ada gelar akademiknya
di belakang atau di depan”
Saya pun
berseloroh menjawab pertanyaannya tersebut.
“Di Muhammadiyah
ada kok habib. Beliau tinggal di
Magelang. Bahkan saya pernah memoderatori beliau saat pengajian di Bengkulu. Namanya [Ustadz] Habib Chirzin. Mantan Ketua
Umum PP Pemuda Muhammadiyah”
“Wah ternyata ada ya mas?” jawabnya
dengan polos
“Iya ada, nama
beliau memang Habib Chirzin. Sesuai dengan nama pemberian orangtua beliau”
Teman sayapun agak menggerutu sambil menampakkan muka
sebal mendengar selorohan dari saya. Tak tega melihatnya begitu, saya pun
menjelaskan mengapa di Muhammadiyah tidak ada ulama-nya yang bergelar habib.
***
Sejak dulu sudah menjadi
langgamnya bahwa di Muhammadiyah tidak mengkultuskan orang. Baik yang sudah
meninggal maupun yang masih hidup. Bahkan sekaliber pendirinya, KH. Ahmad
Dahlan, pun tidak dikultuskan dengan memberi gelar-gelar berlebihan, mengkeramatkan
makamnya, atau menjadikannya sebagai wasilah
doa. Ini semata-mata dilakukan sebagai bentuk ketaatan warga Muhammadiyah pada
ajaran Rasulullah SAW yang memang selama hidupnya pun tidak melakukan hal-hal
tersebut. Sehingga Muhammadiyah berusaha meneladani perilaku yang dicontohkan
oleh nabi.
Di Muhammadiyah
sendiri tidak mengenal istilah “darah biru”, golongan masyarakat yang masih
memiliki tautan darah dengan orang yang dianggap penting di Muhammadiyah, yang
biasanya menempati posisi terhormat. Bagi beberapa organisasi lainnya,
keberadaan darah biru menjadi penting, bahkan bisa menjadi legitimasi
kepemimpinan seseorang. Namun Muhammadiyah berbeda.
Ilustrasi (Sumber : Istimewa/Republika)
Sejak dulu, sudah
menjadi tradisi bahwa untuk menjadi seorang pendakwah / ulama Muhammadiyah,
seseorang “harus” memiliki kapabilitas keilmuan formal. Ini dimaksudkan agar
keilmuan ulama di Muhammadiyah menjadi terstandar. Tradisi ini berimbas pada
jumlah ulama di Muhammadiyah itu sendiri. Tidak semua yang memiliki tautan
darah dengan pendiri Muhammadiyah secara otomatis menjadi ulama, atau setiap
mereka yang lulus dari pondok pesantren langsung menjadi seorang ulama. Biasanya
seseorang akan menempuh minimal jenjang studi S1 pada bidang agama Islam untuk
bisa menjadi seorang ulama di Muhammadiyah. Ini bisa kita lihat di berbagai
pengajian di Muhammadiyah, dimana hampir semua ulama dan pendakwah Muhammadiyah
pasti memiliki gelar akademik. Bahkan, Muhammadiyah sampai khusus mendirikan “perguruan
tinggi khusus” untuk pendidikan ulama tarjih yang merupakan satu-satunya di
Indonesia.
Ketika Ilmu Lebih Utama dari Nasab
Untuk menjadi
ulama di Muhammadiyah, dibutuhkan ilmu, bukan saja nasab. Ini sudah menjadi
pakem sejak awal berdirinya Muhammadiyah. Nasab mungkin bisa menjadi pertimbangan,
tapi bukanlah yang utama. Jika ada 10 syarat menjadi seorang ulama di
Muhammadiyah, bisa jadi nasab adalah syarat nomor 9 atau 10.
Di Muhammadiyah
tidak ada pengistimewaan seseorang berdasarkan nasabnya. Cucu dan cicit seorang
pendiri Muhammadiyah sekalipun diperlakukan yang sama. Namun, jika ia berilmu,
maka istimewalah posisinya di Muhammadiyah, seperti menjadi pengurus ataupun
lainnya.
Saya sendiri
berteman dengan salah seorang cucu dari ulama besar Muhammadiyah, Buya Hamka. Keulamaan
beliau tak diragukan lagi. Tafsir Al-Azhar adalah salah satu bukti keunggulan
ilmu beliau dan menjadi hujjah
keulamaan beliau. Namun sang cucu tidak memilih bidang yang sama dengan
kakeknya tersebut. Ia memilih jalan sebagai seorang akademisi. Ketika di
Taiwan, ia diperlakukan sama dengan kader dan warga Muhammadiyah lainnya. Tidak
ada bedanya. Saat pemilihan Ketua Muhammadiyah Taiwan tahun 2018, tim formatur
tidak menjadikan latarbelakangnya sebagai “keluarga ningrat Muhammadiyah”
sebagai dasar memilihnya sebagai Ketua PCIM Taiwan. Namun karena kesungguhan
dan kepeduliannya mau mengurus Muhammadiyah di ranting dan AUM serta ilmu
organisasinya yang luas, maka ia secara aklamasi dipilih menjadi Ketua PCIM
Taiwan.
Apakah Ada Habib yang Menjadi Kader Muhammadiyah?
Jika yang dimaksud
adalah kader bergelar habib, maka jawabannya tidak ada. Karena seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, di Muhammadiyah tidak lazim menggelari seseorang
karena nasabnya. Tapi jika berbicara apakah ada kader Muhammadiyah yang
merupakan keturunan arab / nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) maka jawabannya ada. Di kantong-kantong pemukiman
warga keturunan arab seperti di Ampel Surabaya, Pantura Jawa Tengah, dan daerah
lainnya, ada juga warga Muhammadiyah berlatarbelakang keturunan arab. Bisa jadi
salah satu diantara mereka masih memiliki garis keturunan dari Nabi yang lazim
digelari Habib. Namun mereka memilih tidak memakai gelar tersebut. Bahkan, KH Ahmad Dahlan sendiri sebenarnya adalah seorang habib, karena nasab beliau sampai pada Rasulullah SAW. Tapi beliau tidak memakainya dan hingga kini para kader dan anggotanya pun tidak menggelari beliau dengan sebutan habib.
Jadi, bagi yang masih mencari-cari seorang habib
di Muhammadiyah, maka cukupkanlah pencarian itu. Pahami lebih dalam tentang
langgam gerakan ini. Tidak perlu silau dengan gelar-gelar seseorang. Karena
yang membedakan manusia itu bukan gelarnya, namun iman, amal dan taqwanya. Tak perlu
risau bahwa kita bukan dari kalangan “ningrat ulama”. Karena di Muhammadiyah,
seorang [mantan] warga NU sekalipun bisa menjadi ulama Muhammadiyah.
Beberapa waktu
yang lalu, saya diundang ke sebuah group WhatsApp yang berisi admin-admin
portal berita yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Jika dibanding dengan
pendataan daring yang dilakukan 2 tahun yang lalu, jumlahnya lebih sedikit. Namun
tetap saja sudah mencapai lebih dari 50 website. Ada berbagai macam jenis
websitenya, ada yang fokus di berita-berita Muhammadiyah saja, ada juga yang
merupakan portal berita umum, namun pemiliknya adalah kader Muhammadiyah,
sehingga porsi pemberitaan tentang Muhammadiyah mendapatkan tempat tersendiri.
Saya perhatikan,
di tiap-tiap website yang ada dalam daftar, beberapa diantaranya memiliki
konten catutan dari portal berita sebuah media online. Walaupun mereka
menuliskan sumbernya, namun tetap saja keseluruhan isinya sama dengan portal
aslinya, tidak di spin atau dirubah
gaya penulisannya. Style semacam ini saya
temukan cukup marak terjadi 2 tahun terakhir. Ada juga portal berita yang
[entah terafiliasi atau tidak] tempo hari pernah saya baca, gaya penulisannya
agak mbingungi. Satu kalimat dengan
kalimat yang lain seperti tidak saling terkait. Sebagai pembaca, saya agak bingung. Sayangnya, berita yang
ditulis adalah kebanyakan tentang Muhammadiyah. Sehingga portal ini diasosiasikan sebagai salah satu portal berita Muhammadiyah, walau unofficial. Di lain waktu, saya malah
pernah menemukan sebuah blog yang mendaku sebagai portal terafiliasi Muhammadiyah, namun
kontennya bukan tentang Muhammadiyah, melainkan ormas lain. Malahan seolah
menyudutkan bahwa Muhammadiyah mendukung ormas tersebut. Lalu apa kaitannya
dengan judul tulisan ini?
Ilustrasi (sumber : Istimewa/centralbatam)
Seiring makin
mudahnya membuat sebuah portal berita daring dengan hanya memanfaatkan CMS
milik blogger, wordpress, maupun yang berbayar, setiap orang bisa membuat lebih
dari satu website dalam hitungan jam. Tujuannya bisa bermacam-macam. Jika yang
membuat adalah kader Muhammadiyah, mungkin tujuannya untuk menggembirakan
dakwah Muhammadiyah di internet. Tapi kalau si pembuat tidak diketahui
motifnya, maka bisa jadi untuk hal sebaliknya. Oleh karena itu saya mengusulkan
perlu dibuat semacam “dewan persnya Muhammadiyah” sebagai lembaga yang
mengakreditasi portal-portal berita afiliasi Muhammadiyah.
Lalu apa saja kerjaannya?
Dewan / Komite ini
bertugas untuk menjadi lembaga akreditasi sekaligus sebagai watchdog portal-portal berita yang sudah
terdaftar. Selain itu, lembaga ini juga sebagai “wasit internal” jika ada
sengketa terkait pemberitaan. Keberadaan komite ini sebagai ikhtiar untuk menjaga kualitas pemberitaan tentang Muhammadiyah di portal-portal berita afiliasi Muhammadiyah.
Bukannya sudah ada dewan pers? Lalu untuk apalagi
dibentuk komite semacam ini?
Dewan Pers itu
mengatur portal-portal berita secara umum yang terdaftar secara resmi. Artinya perusahaan
media/pers tersebut harus terdaftar sebagai perusahaan resmi. Sedangkan kita
tahu, kebanyakan portal berita online [apalagi yang terafiliasi dengan
Muhammadiyah] banyak yang bergerak secara mandiri maupun kelompok. Fungsi lain
Komite Pers Muhammadiyah ini adalah sebagai penyatu portal-portal berita
Muhammadiyah yang masih terdiaspora.
Harapannya dengan
adanya komite ini, portal-portal berita Muhammadiyah yang ada, walau bergerak
mandiri dan non profit, tetap mengedepankan asas profesionalitas jurnalistik,
baik dari penulisan berita maupun penyajiannya di website. Sehingga berita yang
disajikan terstandar dan layak baca serta memenuhi unsur-unsur minimal sebuah
artikel bisa disebut berita, serta menaikkan kepercayaan publik terhadap pemberitaan-pemberitaan tentang Muhammadiyah.
Kan ada MPI, kenapa harus ada lembaga ini lagi?
MPI itu tugasnya
banyak dan cakupannya luas. Jika boleh diandaikan, maka sebenarnya MPI ini
adalah Departemen Komunikasi dan Informasi di suatu negara. Nah, komite persnya
adalah dewan pers nya. Perlu ada semacam penspisifikan tugas. Sehingga harapannya
kualitas pemberitaan di portal-portal berita Muhammadiyah bisa meningkat dan
tidak kalah dengan portal pemberitaan umum.
***
Kita tidak memungkiri bahwa perubahan di segala
bidang berlangsung sangat cepat, seperti soal pemberitaan dan portal
pemberitaan. Dulu mungkin satu dua media saja sudah cukup. Namun di era
internet seperti saat ini, maka selain kuantitas dari portal pemberitaan yang
dinaikkan, juga perlu peningkatan kualitas sebagai keunggulan untuk memenangkan
kompetisi dakwah maya. Dan salah satu usaha mewujudkan peningkatan kualitas
tersebut adalah melalui pembentukan komite pers Muhammadiyah. Semoga saja ide
ini didengar. Semoga !
Semalam saya tidak
sengaja membaca tulisan (baca disini) mas Niki Alma, Ketua Pusat Tarjih Muhammadiyah UAD di
salah satu group Facebook Muhammadiyah. Walaupun agak telat membacanya (artikel ditulis di bulan September 2019),
rasanya isunya masih relevan hingga saat ini. Sayapun tertarik untuk menanggapi
artikel tersebut walau mungkin bobotnya kalah berisi dengan tulisan beliau. Tapi
saya berusaha agar tulisan ini bisa relevan dengan tema yang beliau ambil.
Di tulisan mas
Niki disebut bahwa salah satu alasan mengapa banyak warga Muhammadiyah yang ‘berpaling’
ke paham salafi adalah karena mudahnya mencari informasi soal fatwa suatu hukum
melalui laman Google. Misal saja,
fatwa tentang mengazankan bayi yang baru lahir (tanpa menambahkan embel-embel kata 'tarjih' di belakangnya). Maka di laman pertama (para
pegiat internet biasanya menyebutnya Page
One Google) hasil pencarian, yang muncul mayoritas dari portal-portal
informasi milik kelompok salafi. Ada satu juga dari NU, itupun bukan yang
teratas. Lalu dimanakah portal tentang pandangan Muhammadiyah soal azan bayi
baru lahir ini? Letaknya ada di laman ketiga (Page Three) baris ketiga dari bawah. Padahal fatwa ini jauh lebih
dulu dikeluarkan dibanding fatwa-fatwa salafi, yaitu sejak sebelum tahun 1999
dan dimuat pertama kali di majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 12 tahun
1999. Tapi nyatanya di era internet, fatwa Muhammadiyah kalah populer dibanding
fatwa-fatwa salafi.
Ilustrasi (Sumber : Istimewa / Cirebonplus)
Selain itu, ada
persoalan lain yang ternyata juga menyebabkan pandangan-pandangan Muhammadiyah
dalam urusan fatwa kalah populer dengan salafi, yaitu jumlah portal onlinenya /
web. Dari yang saya sebutkan sebelumnya, laman satu hasil pencarian dipenuhi
tidak hanya oleh satu portal salafi saja, melainkan beberapa. Bahkan di laman
kedua dan ketiga, berbagai portal salafi masih ‘mengepung’ portal fatwa
Muhammadiyah. Situasi ini membuat kita terperengah dimana sebenarnya
Muhammadiyah memiliki ratusan portal informasi online, baik itu yang di structural
maupun portal-portal lepas yang dikelola secara mandiri oleh para kader. Dalam suasana
kompetisi dakwah melalui internet ini, Muhammadiyah perlu instrospeksi dan
mengkonsolidasikan potensi-potensi internal untuk memenangkan wacana terkait
fatwa di internet ini.
Muhammadiyah dan Kompetisi Dakwah Maya
Kita semua mafhum
bahwa Muhammadiyah untuk urusan marketing internet jauh tertinggal dari
kelompok lain. Kita terlalu percaya bahwa era media cetak masih akan bertahan
beberapa waktu kedepan, tapi nyatanya tidak. Selama ini diseminasi fatwa tarjih
hanya mengandalkan majalah suara Muhammadiyah, seperti yang disebut dalam
tulisan mas Niki, dan baru beberapa tahun terakhir portal online SM mulai gencar
memuatnya juga. Walaupun sekarang Majelis Tarjih sudah memiliki portal online,
namun nyatanya itu belum mampu menggapai awareness
warganet. Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, ternyata ada beberapa hal
lain yang menyebabkan Muhammadiyah belum berhasil (jika tidak mau dikatakan
gagal) memenangi kompetisi cyber ini.
Pertama disebabkan karena ‘kurang menariknya’ pengemasan artikel
dalam fatwa. Jika dibaca-baca, hampir semua fatwa tarjih format penulisannya
sama. Ada pertanyaan, lalu dijawab secara runtut dengan dasar ayat Alquran dan
hadis maupun pendapat ulama-ulama. Gaya penulisan ini terkesan kaku dan tidak
interaktif dengan pembaca (Reader
friendly). Mungkin gaya seperti cocok untuk masa lalu. Di era internet
seperti saat ini, gaya penulisan semacam ini harus dirubah. Perlu ada semacam
narasi dengan fenomena saat ini. Ada keterkaitan antara topik yang dibahas,
dasar hukum fatwanya, hingga pengaplikasiannya serta contohnya di masa
sekarang. Misalnya fatwa tentang aqiqah. Dulu mungkin saja aqiqah bisa
dilaksanakan di rumah, namun saat ini perlu juga disinggung bagaimana dengan
fenomena aqiqah yang dilaksanakan oleh semacam agensi atau jasa aqiqah yang marak di kota-kota besar. Contoh-contoh
seperti ini sangat relevan dan menarik pembaca.
Kedua, kita sama-sama tahu bahwa minat baca (populer dengan
istilah tingkat literasi) masyarakat kita sangat rendah. Bahkan dalam suatu
pemeringkatan, masyarakat kita jauh tertinggal dan berada di baris bawah. Kita tidak
terbiasa membaca artikel yang panjang-panjang. Warganet lebih senang mencari
sebuah informasi melalui potongan-potongan artikel, meme, ilustrasi, maupun video-video pendek. Di Muhammadiyah,
tradisi ini ternyata belum banyak yang menggeluti. Padahal, media-media seperti
meme ini mudah dipahami dan mudah
viral. Coba bandingkan dengan artikel-artikel di web kalau di bagikan melalui
media sosial atau aplikasi perpesanan, jarang yang membaca. Dulu, pernah ada
cabang yang rajin membuat dakwah melalui meme
ini sebagai ikhtiar untuk mendesiminasikan fatwa tarjih. Ini cukup sukses
selama beberapa bulan. Meme nya viral
kemana-mana. Namun entah karena alasan apa, dakwah meme ini berhenti. Padahal meme
adalah salah satu media yang bisa dijadikan alat untuk mendiseminasikan
fatwa-fatwa tarjih Muhammadiyah.
Ketiga. Muhammadiyah belum serius memberdayakan para pegiat internet marketing dari kalangan kader. Mereka
masih bergerak secara diaspora dan tidak terkoordinasi dengan baik. Padahal
dalam usaha memenangkan kompetisi narasi di internet ini, para internet marketer ini adalah garda
terdepan. Selain itu nyatanya kita kadang masih salah kaprah membedakan internet marketer dengan ahli IT. Ilmu mereka
ini sebenarnya satu rumpun, tapi memiliki kecabangan khusus. Ibaratnya begini,
ahli-ahli IT itu jago membuat desain website yang bagus, memiliki database
besar dan memiliki loading speed yang
tinggi. Nah ahli internet marketing itu adalah membuat setiap artikel yang ada
di web tersebut bisa terindex page one
dalam pencarian google. Mereka ini ahli meriset kata kunci populer, SEO (Search Engine Optimization), dan membuat
backlink agar peringkat web nya bisa
tinggi. Di Muhammadiyah ada banyak kader dan simpatisan yang ahli di bidang
internet marketing. Tapi sayangnya potensi ini belum dilirik dan dimaksimalkan.
Padahal jika saja kemampuan internet marketing mereka dimaksimalkan untuk
mendesiminasikan fatwa-fatwa tarjih, maka kita tidak akan kalah dalam kompetisi
ini.
Keempat, tidak maksimalnya digitalisasi fatwa dan kajian-kajian
di Muhammadiyah. Bulan lalu saya sempat chating dengan salah satu awak tim cyber dakwah Muhammadiyah. Waktu itu
secara tidak sengaja disebutlah fiqih tenaga kerja yang diputuskan saat munas
Tarjih tahun 1995. Hal ini secara tidak sengaja kesebut gara-gara saya
menyebutkan bahwa kami di Muhammadiyah Taiwan ingin merumuskan fikih
ketenagakerjaan yang erat kaitannya dengan berbagai persoalan yang terjadi
disini. Dan ternyata Muhammadiyah sudah memilikinya sejak 25 tahun yang lalu. Sayangnya
hingga saat ini, putusan tersebut tidak terdiseminasi dengan baik hingga ke tingkat akar rumput, apalagi
terdigitalisasi. Selain itu, kita masih kurang massif berdakwah melalui konten
video. Selama ini yang banyak muncul di Youtube jika mencari dengan kata kunci
Pengajian Muhammadiyah, adalah rekaman pengajian umum yang berjam-jam
durasinya. Padahal, para peselancar youtube tidak akan menonton video hingga
selama itu. Jika kita perhatikan, banyak sekali potongan-potongan video ceramah
dari paham salafi yang membombardir youtube. Bahkan tak ayal selalu memenuhi
halaman pertama pencarian. Hal ini yang mesti menjadi perhatian juga bahwa
diseminasi fatwa tarjih harus juga bisa memasuki ruang-ruang audio visual maya
dengan berbagai kreatifitas. Misal saja dunia kartun. Dakwah melalui video
animasi seperti Nusa dan Rara contohnya. Dalam waktu singkat mampu menyedot
perhatian orang banyak yang walaupun berkarakter anak-anak, namun banyak juga
orang dewasa yang menontonnya. Andai saja Muhammadiyah mampu menerjemahkan
semangat diseminasi fatwa tarjih dalam kreatifitas semacam ini, maka saya yakin
kita tidak saja mampu menjaga ideologi warga kita, malahan bisa jadi
menyebarkannya kepada non kader.
***
Kemajuan teknologi
internet adalah sebuah keniscayaan yang kita hadapi saat ini. Muhammadiyah
sebagai sebuah organisasi Islam sudah mampu melewati 100 tahun pertamanya
dengan apik. Namun memasuki abad
kedua ini, Muhammadiyah tentu tak boleh jumawa
dengan ‘kesenioran’ ini. Muhammadiyah harus mampu segera beradaptasi dengan
perubahan-perubahan gaya dakwahnya. Kita tidak boleh melihat internet ini hanya
sebagai ancaman, tapi harus melihatnya sebagai sebuah potensi besar. Di era
awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan melihat pendidikan modern adalah
sebuah peluang untuk mendakwahkan islam, ketika kelompok lain hanya melihat
bahwa pendidikan modern sebagai sebuah “kekafiran” karena meniru bangsa barat.
Kini, setelah 100 tahun dari era tersebut, saatnya kita juga meniru semangat
Kiai Dahlan tersebut dengan memandang internet sebagai sebuah wahana dakwah
menjanjikan.
Menutup tulisan ini, saya ingin menyarankan
beberapa hal (teknis) dari apa yang sudah saya sampaikan di atas. Yang pertama
adalah rangkul para internet marketer Muhammadiyah dan beri mereka ruang
seluas-luasnya serta dukungan yang nyata. Tak perlu melembagakan mereka, karena
itu hanya akan membuatnya terlalu birokratik. Yang kedua adalah kurangi
pelatihan-pelatihan dan perbanyak magang. Kader-kader potensial di bidang
dakwah maya ini hendaknya jangan kebanyakan diberi pelatihan namun minim
magang. Beri mereka kesempatan untuk magang ke para influencer kondang dan content
creator. Ketiga, tingkatkan kualitas portal dan konten tentang fatwa-fatwa
Muhammadiyah, bukan hanya kuantitasnya saja. Lebih baik hanya punya 10 website
tapi masuk ranking top 100 Alexa Indonesia, daripada punya 400 tapi tidak ada
yang muncul di mesin pencari. Terakhir, perlu ada kerjasama yang baik antara
pembuat fatwa dengan pemasar fatwa agar tujuan kompetisi dakwah maya ini bisa
tercapai.
Dalam 3 bulan ini,
2 orang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah wafat. Keduanya merupakan tokoh-tokoh
Muhammadiyah yang ahli di bidangnya. Prof Bahtiar Effendi merupakan begawan politik UIN Jakarta, sedangkan
Prof Yunahar Ilyas adalah Begawan ilmu
tafsir quran dan hadits dari UM Yogyakarta. Keduanya adalah orang-orang terbaik
dibidangnya. Pergaulannya yang luas dan lintas bidang, membuatnya banyak disegani,
dikagumi, dan diidolakan, bahkan oleh yang bukan kader Muhammadiyah sekalipun. Salah
satu buktinya bisa kita ketemukan dalam berbagai tulisan dan artikel yang
bersliweran pasca wafatnya kedua tokoh tersebut.
Saat kedua tokoh
tersebut wafat, berbagai tulisan dan artikel sliweran di berbagai group WhatsApp. Ada yang sudah dipublikasikan
melalui portal-portal online, maupun publikasi mandiri mengandalkan fitur broadcast WhatsApp. Dari semua tulisan
tersebut, saya menarik benang merah kuat, yaitu kesan mendalam akan kebaikan
yang telah dilakukan oleh kedua tokoh tersebut. Ada penulis yang memang
berinteraksi langsung dengan beliau, ada juga yang hanya mengenalnya melalui
karya-karyanya. Semua itu tidak menjadikan halangan para kader terus menulis
dan mengabadikan kebaikan-kebaikan mereka. Bahkan, saat tanah kuburan belumlah
kering, banyak kader dan tokoh Muhammadiyah lain yang sudah sepakat bertakziyah
dengan membuatkan buku bagi kedua tokoh tersebut. Inilah salah satu hal baik
yang jarang ditemukan dalam gerakan lain.
Gambar : Salah satu bentuk "Takziyah Literasi" Muhammadiyah (Sumber : Bukalapak)
Di Muhammadiyah,
tradisi berliterasi sudah tertanam dan menjadi salah satu langgam gerakan sejak awal berdirinya. Di saat organisasi/gerakan
lain di zamannya belum begitu populer dengan majalah/bulletin, Muhammadiyah
sudah menerbitkan Suara Muhammadiyah sebagai “portal informasi” di tahun 1915
(beberapa sumber mengatakan bahkan SM terbit tahun 1914, namun belum ditemukan
bukti fisiknya. Yang ada adalah SM edisi tahun 1915) dan masih eksis hingga
hari ini. Kemudian ada juga buku biografi Kiai Dahlan yang ditulis oleh Kiai
Sudjak yang menjadi salah satu rujukan / sumber primer tentang informasi
seputar sepak terjang Kiai Dahlan di masa-masa awal gerakan ini serta bagaimana
pemikiran-pemikirannya yang sudah nampak sangat “avant garde / melampaui zamannya”. Sejak di masa-masa awal,
Muhammadiyah bahkan sudah menseriusi soal literasi ini dengan mendirikan
Bahagian Poestaka dalam struktur Hofd Bestuur Moehammadijah di tahun 1919. Fungsi
struktur ini salah satunya adalah menerbitkan buku-buku karya pengurus
Muhammadiyah. Tradisi inilah yang ternyata masih berkembang hingga saat ini dan
menjadi tradisi baik yang harus ditularkan.
Takziyah Literasi
Bagi saya,
takziyah di Muhammadiyah itu tidak sekedar hadir di rumah duka. Lebih dari itu,
takziyah dimaknai sebagai bentuk penghormatan sekaligus mendoakan kepada orang
yang telah wafat. Selain itu, takziyah dipahami juga sebagai momen untuk mengenang
hal-hal baik dari orang yang ditakziyahi, bisa dari kebiasaannya,
kesehariannya, hingga karya dan pemikirannya. Tapi di Muhammadiyah ini tidak
berhenti hanya dikenang saja, melainkan juga diabadikan dan dibagikan melalui
buku. Tradisi takziyah melalui gerakan literasi atau takziyah literasi ini tidak
berhenti hanya untuk kadernya saja, tapi juga bagi tokoh-tokoh dari ormas lain.
Satu diantaranya adalah KH. Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU.
Bagi Muhammadiyah,
tradisi ini menjadi penting karena bisa menjadi catatan sejarah abadi bagi
generasi mendatang. Setiap tokoh memiliki kelebihan pemikiran dan karyanya
sendiri yang bisa jadi tidak semua orang tau. Sehingga melalui takziyah
literasi ini harapannya bisa menjadi pelajaran dan bahan ajar yang penting tentang
hal-hal baik dan pemikiran tokoh yang diziarahi tersebut bagi generasi yang
akan datang.
Di saat Indonesia
menghadapi ancaman budaya literasi yang semakin anjlok, Muhammadiyah berusaha konsisten dalam dakwah melalui jalur
literasi, yang salah satunya adalah gerakan takziyah literasi. Ketika gerakan
lain beramai-ramai terseret oleh ombak politik dan melupakan tradisi
kecendikiawannya, tradisi literasi terus berusaha dipupuk dan dikembangkan di
Muhammadiyah walaupun tidak mudah. Namun, sekecil apapun nyala gerakan ini,
sebagai kader kita wajib menjaga nyala apinya, bahkan membesarkannya jika
mampu.
***
Kita beruntung
hidup di era dimana portal-portal online banyak berteberan di internet. Bahkan,
kita sendiripun bisa membuat portal online kita sendiri. Ini seharusnya
menjadikan tradisi literasi kita jauh lebih berkembang. Apalagi dalam urusan
mencari informasi, kita sangat dimanjakan dengan adanya ponsel pintar yang
mampu menyelami internet mencari informasi yang kita mau dalam hitungan detik. Sudah
seyogyanya kita mencontoh dan mengembangkan tradisi literasi yang sudah menjadi
langgam gerakan kita ini. Para begawan
kita sudah mencontohkannya dengan tradisi takziyah literasi. Kedepan kita yang
muda seharusnya lebih inovatif dalam urusan ini. Semoga saja !
“Tahukah kamu orang-orang
yang mendustakan Agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan fakir miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat
ria, dan enggan mengulurkan pertolongan/bantuan secara berhasil guna dan
berdaya guna” (Q.S. Al Ma’un ayat 1-7)
Muhammadiyah, sebagai organisasi muslim termodern dan
terbesar dalam hal asset dana amal usahanya, tahun ini memuncaki usianya yang ke
108 tahun. Sebuah usia yang tak lazim bagi sebuah organisasi modern yang mampu
bertahan dalam pusaran zaman. Muhammadiyah telah melampaui masa sebelum
Indonesia lahir, kemerdekaan, hingga era reformasi. Bahkan di usinya yang
beranjak ke abad keduanya, Muhammadiyah dihadapkan pada suatu masa yang disebut
sebagai era disruptif dengan teknologi sebagai topik pembicaraan utama di semua
lini kehidupan. Saat berbicara tentang Muhammadiyah, maka kita juga akan
membicarakan tentang Surat Al-Maun, salah satu surat dalam Al Quran, yang
menjadi spirit pendirian organisasi Muhammadiyah. Dalam sejarahnya, KH. Ahmad
Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, mengajarkan berulang-ulang surat Al Maun ini
kepada murid-muridnya yang jika belum diamalkan, maka belum boleh berpindah ke
surat lainnya. Seiring berjalannya waktu, semangat ini lantas mengkristal
menjadi sebuah istilah baru yang bernama Teologi Al Maun yang dipopulerkan oleh
Muslim Abdurrahman, salah seorang intelektual Muhammadiyah.
Sayyid Quth (dalam Tafsir
fi Zhilalil Qur’an Vol. 24) menjelaskan bahwa surat pendek ini mampu
memecahkan hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur secara
total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini sangat berbeda bila
dibandingkan definisi tradisional. Karena kufur (mendustakan agama) di sini
diartikan sebagai menghardik anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin).
Logika kufur muncul karena seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati,
niscaya anak-anak yatim dan orang miskin tentu tidak akan diterlantarkan.
Pada dasarnya, Allah tidak hanya menghendaki
pernyataan-pernyataan dari manusia. Tetapi menghendaki pernyataan itu disertai
dengan amalan-amalan sebagai pembuktiannya. Kalau tidak, pernyataan tersebut
tidak lebih hanya debu yang tidak ada bobotnya di sisi Allah. Karena memang,
islam bukanlah agama simbol dan lambang semata. Iman akan tidak berwujud bila
tidak direfleksikan ke dalam gerakan amal shaleh.
Surat Al Maun ini mengajarkan bahwa
ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Pemaknaan
social ini lantas diejawantahkan oleh KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya dengan
mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat, kemudian
memandikannya dan menyuapinya. Ini adalah implementasi paling awal dari
pemahaman semangat Al Maun yang diyakini oleh generasi awal Muhammadiyah.
Lantas dengan digandengnya Budi Utomo dan Kraton Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan
mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan.
Seiring perkembangan zaman, semangat dalam teologi Al
Maun ini lantas menjadi trilogi-trilogi baru yang menjadi arah gerak
Muhammadiyah untuk mengambil perannya sebagai organisasi dakwah Islam. Di babak
awal Muhammadiyah, trilogi tersebut didefinisikan sebagai healing (pelayanan kesehatan), schooling
(pendidikan), dan feeding (pelayanan
sosial). Dalam hal pelayanan kesehatan, Muhammadiyah meyakini bahwa umat Islam
harus sehat dan selalu kuat. Nabi Muhammad SAW sendiri telah bersabda bahwa
orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Muslim
yang lemah. Karena itu, disamping kuat dari segi ilmu pengetahuan, umat juga
harua kuat secara fisik.
Dalam hal pendidikan, Muhammadiyah meyakini bahwa pendidikan
sangat penting karena akan melahirkan kesadaran, sehingga umat bisa bangkit dan
berjuang untuk mengaktualisasikan dirinya. Sedangkan dalam hal pelayanan
social, Muhammadiyah yakin bahwa salah satu poin penting dalam narasi Al Maun
adalah melakukan pelayanan social kepada kaum papa yang kala itu tidak terperhatikan. Memperhatikan kaum papa merupakan salah satu ibadah
utama yang pemaknaannya berasal dari surat Al-Maun.
Metomonia Semangat
Al-Maun di Taiwan
Muhammadiyah mulai bergeliat di Taiwan sejak masa-masa
awal mahasiswa Indonesia membanjiri Taiwan untuk studi. Di periode 2007-2010,
Muhammadiyah di Taiwan baru sebatas wacana yang menjadi topik hangat diskusi antar
kader melalui milis email. Muhammadiyah mulai benar-benar menjadi sebuah
gerakan di medio tahun 2013 saat 6 kader Muhammadiyah memulai dakwahnya melalui
jejaring dunia maya. Lalu tahun 2014 mewujud menjadi organisasi resmi sebagai
cabang istimewa ke-14 dari Persyarikatan Muhammadiyah.
Sejak awal berdirinya Pimpinan Cabang Istimewa
Muhammadiyah Taiwan (selanjutnya disebut sebagai Muhammadiyah Taiwan), para assabiqunal awwalun nya telah merumuskan
trilogi dan trisula Muhammadiyah Taiwan sebagai ciri khas gerakan Muhammadiyah
di bumi Formosa berdasarkan teologi Al-Maun yang terbagi dalam dua gerakan mendasar,
yaitu gerakan liberasi dan emansipasi. Gerakan liberasi ini dimaknai sebagai gerakan
untuk membebaskan umat dari keterbelakangan, dari kebodohan, dan dari
ketidakberdayaan. Karena itu Muhammadiyah Taiwan sedari awal berdiri berusaha
focus pada upaya melakukan pembangunan dalam bidang pendidikan (non-formal)
bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan, kesehatan, dan menjadikan
umat (dalam hal ini adalah para PMI) agar lebih berdaya sekembalinya ke
Indonesia. Sedangkan gerakan emansipasi dimaknai dengan upaya mengangkat harkat
dan martabat umat sebagai manusia. Jadi umat bukan hanya menjadi taat secara
ritual tapi juga menjadikan umat itu terangkat harkat dan martabatnya.
Dari pemahaman akan teologi Al Maun tersebut,
Muhammadiyah Taiwan lantas menjabarkannya menjadi sebuah trilogi yang menjadi
ciri khas gerakan bagi Muhammadiyah di Taiwan. Trilogi tersebut adalah gerakan
filantropi, gerakan pemberdayaan TKI, dan gerakan dakwah maya.
Gerakan Filantropi (Al-Khairat)
Di Taiwan, terdapat kurang lebih 261.782 warga negara
Indonesia yang kuliah, kerja, dan tinggal di Taiwan. Dari jumlah tersebut,
6.000 orang adalah berstatus mahasiswa, 50.000 orang bekerja di pekerja kerah biru, 70.000 orang menikah dengan
orang Taiwan, dan selebihnya bekerja sebagai PMI di berbagai sector (formal dan
informal). Jumlah tenaga kerja yang fantastis ini cukup dimaklumi seiring
adanya kenaikan gaji yang juga fantastis bagi para PMI. Semakin baiknya jumlah
gaji bagi para pekerja asing di Taiwan ini ternyata juga diimbangi dengan
tingginya semangat berbagi dari para pekerja untuk berbagai hal, seperti
sedekah, bantuan bencana, dan lain sebagainya. Sehingga Muhammadiyah Taiwan
mencoba memfasilitasi niat baik dari para migran Indonesia di Taiwan ini untuk
menyalurkannya melalui program pemanfaatan yang tepat guna. Muhammadiyah Taiwan
melalui lembaga zakatnya menawarkan berbagai program filantropis yang bisa
diikuti oleh para WNI yang menetap di Taiwan dengan berbagai program nyata,
seperti sedekah dakwah, sedekah bencana alam di Indonesia dan dunia, sedekah
untuk Palestina, Kurban untuk Palestina, Zakat dan Infaq untuk mereka yang
berhak, serta sedekah pembangunan masjid di Indonesia maupun di Taiwan. Sejak hadir
pertama kalinya di tahun 2014 hingga kini, gerakan filantropis Muhammadiyah
Taiwan mampu mengumpulkan dan menyalurkan dana mencapai 1 Miliar rupiah yang
kesemuanya disalurkan melalui program tepat guna bekerjasama dengan berbagai
pihak / lembaga.
Bahkan di tahun 2016, melalui gerakan ini pula,
Muhammadiyah Taiwan berhasil mengumpulkan dana puluhan juta rupiah untuk
membantu pembangunan salah satu masjid di Taiwan yang dikelola oleh rekan-rekan
dari Nahdhatul Ulama (NU) Taiwan. Muhammadiyah Taiwan berusaha selalu hadir
untuk membantu siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan organisasi,
suku, agama, ras, bahkan kewarganegaraan. Semangat dari Al-Maun senantiasa dipupuk
untuk terus tumbuh diantara semua kader Muhammadiyah Taiwan agar terus bergerak
memberikan manfaat bagi sesama melalui gerakan filantropi.
Gerakan Pemberdayaan PMI (At-Tanmiyah)
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, di Taiwan
terdapat ratusan ribu WNI yang bekerja sebagai PMI di sector formal dan
informal. Banyaknya jumlah dari WNI ini juga berimbas pada berbagai masalah
yang timbul dan dihadapi. Salah satunya adalah kemandirian pasca selesai
kontrak kerja di Taiwan. Tidak sedikit para PMI yang pada akhirnya harus
kembali ke Taiwan untuk bekerja sekembalinya ke Indonesia. Ada banyak factor yang
melatarbelakanginya, salah satunya adalah ketidakmampuan mereka dalam mengelola
gaji yang telah mereka dapat agar menjadi kegiatan ekonomi yang lebih produktif.
Banyak juga yang pada akhirnya menghabiskan gaji mereka untuk hal-hal konsumtif
yang itu justru tidak menghasilkan dan tidak bisa digunakan untuk menopang
ekonomi keluarga. Ketiadaan softskill untuk
mengelola asset semacam ini adalah problem yang jamak ditemui diantara para PMI
Purna. Alhasil, pasca habis, mereka banyak yang kembali ke Taiwan. Namun ada
juga factor lain yang mendasari mengapa mereka kembali lagi ke Taiwan sebagai
PMI.
Sudah banyak wacana yang dikembangkan tentang
pemberdayaan PMI purna yang telah kembali ke Indonesia. Namun nyatanya,
hasilnya masih sangat minim. Dan Muhammadiyah Taiwan melihat ini sebagai
peluang untuk bisa hadir mengambil peran yang lebih riil untuk bersama-sama
menyelesaikan masalah yang ada.
Melalui Majelis yang khusus membidangi pemberdayaan
ini, Muhammadiyah Taiwan berusaha untuk memfasilitas berbagai pelatihan life skill, economic skill, management skill
dan banyak hal lainnya bagi para PMI. Dakwah-dakwah Muhammadiyah Taiwan
berusaha menyasar problem-problem yang riil dihadapi oleh para PMI ini. Bagi Muhammadiyah
Taiwan, semangat Al Maun berusaha diejawantahkan dengan semangat untuk terus
menjadikan para PMI berdaya dan mandiri sepulangnya ke Indonesia. Muhammadiyah
Taiwan berkeyakinan bahwa gerakan liberasi dan emansipasi daeri Al Maun salah
satunya mewujud saat para PMI ini mampu melanjutkan hidupnya di Indonesia
dengan lebih baik tanpa harus kembali ke Taiwan untuk bekerja sebagai PMI. Dengan
mereka mampu berdaya dan mandiri di Indonesia, ini akan memberikan efek
karambol bagi orang sekelilingnya. Sebagai contoh, saat seorang ibu tidak perlu
lagi bekerja sebagai PMI dan bisa berdaya serta mandiri di daerah asalnya, maka
aka nada anak-anak, suami, dan keluarga yang merasakan kasih sayang secara
langsung dari seorang ibu dan istri. Ini akan berbeda saat seorang ibu harus
pergi jauh bekerja di Taiwan dan tidak bisa mendampingi proses tumbuh kembang
anak dan menjadi tempat yang paling nyaman bagi suami dan keluarganya.
Oleh karena itu, Muhammadiyah Taiwan berkeyakinan,
menjadikan PMI Purna sebagai masyarakat yang berdaya dan mandiri adalah sebuah jalan baik dari sebuah gerakan dakwah
yang terinspirasi dari semangat Al Maun.
Gerakan Dakwah Maya (Ad-Da’wah)
Secara geografis, Taiwan bukanlah negara yang berpulau-pulau
dan terpisah-pisah seperti di Indonesia. Mayoritas masyarakatnya tinggal di
kota-kota dan desa yang masih bisa diakses melalui transportasi darat yang sangat
nyaman. Namun, sayangnya kemudahan ini tidak bisa dinikmati secara bebas [dalam
artian lain] bagi para WNI yang menetap di Taiwan. Kultur kerja di Taiwan
mensyaratkan profesionalitas bekerja, yang artinya jam kerja di Taiwan sangat strik dan ketat. Banyak para PMI dan
mahasiswa yang baru bisa selo diatas
jam 8 malam setiap harinya. Tentu ini menjadi tantang tersendiri bagi sebuah
organisasi dakwah.
Sedari awal Muhammadiyah Taiwan hadir, selalu berusaha
mensiasati kondisi ini dengan menghadirkan program-program dakwah melalui
internet. Di masa-masa awal, dikenal KOMAT (Kajian Online Muhammadiyah Taiwan)
yang senantiasa hadir tiap minggunya dengan berbagai narasumber yang kompeten. Kajian
ini tidak mempertemukan antar personal. Tak jarang narasumber berasal dari
Mesir, Russia, Turki, dan Indonesia sendiri. Sedangkan moderator/pembawa acara
berada di Taiwan. Dan jamaah cukup mendengarkannya via radio streaming yang
bisa diakses melalui handphone mereka
masing-masing. Tanpa harus bersusah payah keluar dari rumah atau cuti kerja,
para jamaah bisa tetap ngaji dari
tempat mereka berada dengan cukup bermodalkan gadget dan koneksi internet. Inilah yang kemudian di patenkan oleh Muhammadiyah Taiwan sebagai
ciri khas dakwahnya guna mensiasati kondisi yang ada disini.
Tak hanya itu, Muhammadiyah Taiwan pun selalu berusaha
memberikan inovasi-inovasi dakwahnya melalui jaringan internet, seperti membuka
Pesantren Virtual, Tadarus Online, hingga bimbingan membaca Al Quran secara
online bagi para pemula. Keterbatasan kondisi yang ada tak lantas membatasi
arah gerak dakwah Muhammadiyah Taiwan. Muhammadiyah Taiwan meyakini bahwa
perkembangan zaman harus selalu dilihat dari segi positifnya dan berusaha
menariknya dalam konteks gerakan dakwah, sehingga Muhammadiyah Taiwan mampu
mengikuti perkembangan zaman dan memanfaatkannya sebagai senjata untuk mencapai misi dakwah Islam yang diemban oleh
Muhammadiyah Taiwan.
Ilustrasi grafis metomonia gerakan Muhammadiyah di Taiwan
Trisula Muhammadiyah Taiwan
Dari
trilogi Muhammadiyah Taiwan, kemudian diturunkan lagi menjadi sebuah trisula bagi
gerakan dakwah Muhammadiyah Taiwan. Seperti namanya, trisula yang berarti
sebuah senjata yang sakti, maka trisula ini merupakan senjata-senjata yang
dimiliki oleh Muhammadiyah Taiwan guna mencapai tujuan akhir untuk mewujudkan
misi dakwah Islam yang didasari semangat Al Maun. Masing-masing trisula
dikelompokkan berdasarkan sifat gerakannya seperti yang sudah dijelaskan di
poin sebelumnya. Trisula ini berwujud majelis dan lembaga dibawah naungan
Muhammadiyah Taiwan.
Trisula ini masing-masing adalah
Gerakan Filantropi --> Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sodaqoh Muhammadiyah (LazisMu Taiwan), Lembaga
Pengembangan Ranting, Ortom, dan AUM (LPROA)
Gerakan Pemberdayaan PMI --> Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Majelis Pelayanan Sosial (MPS), Majelis
Pembina Kesehatan Umum (MPKU), Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO)
Gerakan Dakwah Maya --> Lembaga Informasi Komunikasi dan Kerjasama Internasional (LIKKI), Majelis Tabligh
dan Dakwah Khusus (MTDK), Lembaga Hikmah Kebijakan Publik dan Advokasi (LHKPA),
Majelis Pendidikan Kader (MPK).
Selain dari yang sudah disebutkan sebelumnya,
trisula-trisula Muhammadiyah Taiwan juga mewujud dalam berbagai Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM) dan organisasi otonom (Ortom) yang dikembangkan di Taiwan
yang jumlahnya tak kurang dari 7 AUM dan 2 Ortom. Keberadaan mereka ini semata-mata
untuk menyokong dakwah Muhammadiyah Taiwan di berbagai bidang, baik ekonomi, social,
budaya, dan lainnya. Adanya AUM, secara lebih spesifik, memberikan sokongan
dalam hal ekonomi untuk berjalannya program-program dakwah yang dilakukan. Bagi
Muhammadiyah Taiwan, ada dua hal yang menjadi kunci agar kegiatan dakwah
Muhammadiyah Taiwan senantiasa hidup dan berjalan. Dua hal tersebut adalah
amanah dan kemandirian. Dalam upaya menerapkan kemandirian ini, maka
Muhammadiyah Taiwan berusaha membangun AUM nya sendiri untuk terus menyokong
kegiatan dakwah tanpa membebani pihak lain. Sedangkan dalam hal amanah,
Muhammadiyah Taiwan senantiasa berusaha memberikan keterbukaan, laporan, dan
informasi terhadap amanah dari masyarakat yang dititipkan melalui Muhammadiyah
Taiwan agar terbangun rasa saling percaya, aman, dan memberikan rasa nyaman
bagi para pemberi amanah.
***
Waktu terus berlalu dan zamanpun senantiasa berganti. Akan
selalu ada kader dan simpatisan yang datang dan pulang [ke Taiwan] silih
berganti. Namun satu hal yang pasti dan tetap akan selalu ada, bahwa Muhammadiyah Taiwan akan terus
berusaha menyesuaikan gerakannya dengan zaman dan eranya tanpa harus menggeser
semangat dasar yang dimilikinya. Muhammadiyah Taiwan lahir bukan karena sebuah
paksaan, melainkan dari sebuah harapan agar mampu menjadi katalis bagi umat untuk mencapai ma’rifat sebagai muslim yang sebenar-benarnya.