PETA [ELEKTRONIK] YANG MEMBINGUNGKAN

Baca Juga

Saya baru saja pesan makanan. Dari warung yang jaraknya tidak sampai 3 kilometer. Mestinya, perjalanan semacam itu tidak lebih dari 15 menit. Tapi pagi ini, pesanan saya baru sampai hampir 40 menit kemudian. Saya lihat di aplikasi, titik merah driver itu seperti menari-nari. Kadang maju, kadang mundur, kadang melipir masuk gang kecil. Saya tahu, bapak driver ini bingung membaca peta di aplikasi. Saya akhirnya chat beliau. Saya arahkan jalannya. “Jangan ikuti map. Lewat jalan besar saja, pak. Nanti gampang.” Dan benar, setelah diarahkan manual, beliau sampai. Agak terlambat, tapi akhirnya datang juga.

Usianya mungkin sekitar 55 tahun. Dari caranya menjelaskan, nampak beliau bukan tinggal di sekitar sini. Saya bisa bayangkan betapa repotnya bagi bapak-bapak seusia itu menghadapi peta elektronik. Dulu, generasi beliau terbiasa dengan peta lipat. Paling banter, mengandalkan petunjuk orang sekitar. Tidak seperti anak-anak sekarang yang dengan gampangnya membaca panah biru dan garis hijau. Saya jadi maklum. Tapi ini bukan kejadian pertama. Saya sudah sering mengalaminya.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Pernah juga, driver ojol yang mengantar saya ke sebuah acara, minta saya arahkan jalan lain. “Pak, saya gak familiar jalan yang ditunjukkan aplikasi. Bisa lewat jalan besar saja?” katanya. Saya akhirnya jadi navigator. Padahal harusnya beliau yang mengantar saya. Saya jadi merasa seperti penumpang yang kebagian dua tugas: duduk dan mengarahkan.

Ini sering membuat saya berpikir: kenapa perusahaan aplikasi itu tidak membuat program edukasi untuk para driver? Mereka bisa bikin pelatihan sederhana. Misalnya, bagaimana membaca peta dengan benar. Bagaimana memilih jalur alternatif. Bagaimana memahami simbol-simbol di layar. Tidak semua orang lahir di era digital. Ada banyak driver yang memang sepuh. Tapi mereka tetap harus bekerja. Tetap harus cari nafkah.

Kalau ada pelatihan semacam itu, saya yakin akan membantu banyak. Bukan hanya bagi driver, tapi juga bagi pelanggan. Driver jadi lebih percaya diri. Pelanggan jadi lebih nyaman. Dan perusahaan juga untung. Karena keluhan soal keterlambatan akan berkurang. Tapi sayangnya, sampai hari ini, belum saya dengar ada program edukasi serius soal itu.

Saya tahu, perusahaan aplikasi sudah sering bikin pelatihan. Biasanya tentang etika layanan, keselamatan berkendara, atau cara menjaga rating. Itu semua bagus. Tapi bagaimana dengan literasi digital? Bukankah map itu nyawa dari layanan transportasi online? Kalau mereka tidak bisa membacanya, maka layanan bisa berantakan.

Saya teringat saat dulu pertama kali belajar bahasa inggris saat SMP. Ada kursus kilat “bahasa inggris untuk orang awam”. Itu membantu banyak orang yang tadinya tidak tahu bahasa inggris sama sekali, jadi percaya diri. Kenapa aplikasi ojol tidak membuat kursus semacam itu? Bisa berbentuk online. Bisa juga tatap muka di basecamp. Tinggal dikasih contoh kasus. Nanti mereka diajak latihan membaca peta di layar.

Kalau mau lebih modern, bisa dibuat simulasi. Misalnya, ada aplikasi dummy yang memunculkan titik-titik perjalanan. Driver diminta menemukan jalur tercepat. Dari situ, mereka bisa belajar. Bisa salah, bisa benar. Tapi akan ada pembimbing. Jadi, ketika mereka kembali ke jalan nyata, mereka lebih percaya diri.

Saya kira, biaya program seperti itu tidak besar. Bahkan perusahaan bisa melibatkan kampus-kampus IT. Biar mahasiswa yang membantu memberi pelatihan. Itu bisa jadi proyek sosial yang bermanfaat. Mahasiswa dapat pengalaman, driver dapat ilmu, perusahaan dapat reputasi baik.

Sebab, yang sering terjadi sekarang adalah: driver belajar sendiri. Mereka trial and error di jalanan. Kadang berhasil. Kadang justru membuat pelanggan dongkol. Apalagi kalau pesanannya makanan. Makanan bisa basi di jalan karena muter-muter.

Saya yakin, banyak pelanggan yang akhirnya memberi bintang rendah bukan karena drivernya tidak sopan, tapi karena drivernya salah jalan. Padahal, salah jalan itu bisa dihindari kalau ada edukasi. Itu bukan soal kemampuan bawaan. Itu soal dilatih atau tidak.

Kita sering bicara soal revolusi digital. Tapi revolusi macam apa kalau sebagian besar pekerja di sektor digital justru tidak dilatih digital? Kita lupa, transformasi digital bukan hanya soal aplikasi yang canggih. Tapi juga soal manusia yang mengoperasikannya.

Bapak driver 55 tahun itu memberi saya pelajaran. Bahwa teknologi tidak selalu ramah bagi semua orang. Ada kelompok yang tertinggal. Dan kalau tidak dibantu, mereka bisa makin tertinggal. Mereka bisa kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka butuh pekerjaan itu.

Saya juga sadar, aplikasi map tidak selalu sempurna. Kadang jalur yang ditunjukkan memang lebih pendek, tapi tidak ramah motor. Bisa jadi tanjakan curam. Bisa jadi jalan sempit. Bisa jadi jalur macet. Peta tidak selalu bisa membaca kenyataan.

Karena itu, literasi membaca peta juga harus diimbangi dengan logika. Driver harus tahu kapan harus percaya aplikasi, kapan harus percaya insting. Itu butuh latihan. Butuh jam terbang. Dan lebih cepat lagi kalau ada bimbingan.

Bayangkan kalau ada satu program sederhana: setiap driver baru wajib ikut “kursus peta” selama sehari. Saya yakin hasilnya akan signifikan. Mereka akan lebih percaya diri. Perjalanan jadi lebih efisien. Pelanggan juga lebih senang.

Saya sering mendengar cerita teman-teman yang sama: pesan makanan, tapi drivernya keliling berkali-kali. Padahal alamat sudah jelas. Kadang sampai harus telepon berkali-kali. Itu menyita waktu. Itu menyita energi. Dan akhirnya menurunkan kualitas layanan.

Kalau perusahaan berpikir jangka panjang, program ini harus masuk agenda. Jangan hanya fokus ke promo diskon. Jangan hanya fokus ke branding. Tapi juga ke hal-hal mendasar. Sebab, layanan tidak hanya ditentukan iklan. Tapi juga pengalaman nyata pelanggan.

Saya tahu, bicara soal edukasi kadang dianggap membosankan. Tapi percayalah, dampaknya sangat nyata. Apalagi di bisnis jasa. Senyum dan sopan santun memang penting. Tapi kalau pesan makanan jadi basi karena drivernya salah jalan, senyum pun tidak ada artinya.

Driver-driver muda mungkin cepat belajar. Tapi tidak semua driver muda. Banyak driver senior. Dan mereka punya semangat kerja yang tinggi. Jangan sampai semangat itu padam hanya karena mereka bingung membaca peta.

Saya membayangkan, kalau perusahaan mau serius, dalam lima tahun ke depan, kualitas layanan bisa jauh lebih baik. Driver tidak lagi bingung di jalan. Pelanggan lebih puas. Dan ekosistem ojol akan lebih sehat.

Tentu, ini semua kembali ke kemauan manajemen. Apakah mereka hanya ingin untung cepat, atau membangun sistem yang berkelanjutan. Saya berharap yang kedua. Sebab, layanan transportasi online sudah jadi bagian penting kehidupan kota.

Banyak orang bergantung pada mereka. Dari mahasiswa yang malas jalan, sampai ibu-ibu yang malas ke pasar. Dari pekerja kantoran, sampai orang yang sedang sakit. Semua mengandalkan layanan ini.

Kalau begitu pentingnya, masa iya perusahaan tidak mau investasi sedikit untuk edukasi? Bukankah itu investasi yang paling menguntungkan?

Saya tidak tahu apakah bapak driver 55 tahun itu masih mau mengambil order di daerah yang dia tidak familiar setelah kejadian itu. Tapi saya berharap beliau tidak menyerah. Beliau hanya butuh sedikit bantuan. Sedikit bimbingan.

Kita sering menganggap literasi itu hanya soal membaca buku. Padahal, literasi digital juga penting. Dan di era ini, membaca peta di layar adalah salah satu bentuk literasi digital.

Saya yakin, kalau perusahaan mau peduli, maka kasus-kasus seperti ini akan berkurang. Tidak akan ada lagi driver yang muter-muter tidak jelas. Tidak akan ada lagi pelanggan yang harus jadi navigator.

Dan yang paling penting, tidak akan ada lagi bapak-bapak 55 tahun yang kehilangan rasa percaya dirinya hanya karena peta elektronik.

Itulah sebabnya, saya menulis ini. Untuk para operator, para provider ojol: tolonglah. Buat program terencana untuk mengedukasi para mitra driver. Ajari mereka membaca peta dengan benar. Ajari mereka kapan harus percaya peta, kapan harus percaya jalan besar.

Kasihan mereka yang awam. Kasihan mereka yang sepuh. Mereka tetap butuh nafkah. Mereka tetap butuh dihargai. Jangan biarkan mereka tersisih hanya karena gaptek.

Saya percaya, perusahaan besar bisa melakukannya. Tinggal apakah mereka mau atau tidak. Kalau mereka mau, semua pihak akan diuntungkan.

Kalau tidak, ya siap-siap saja. Pelanggan akan terus mengeluh. Driver akan terus bingung. Dan reputasi layanan tidak akan pernah naik.

Semoga, tulisan kecil ini sampai ke meja manajemen. Semoga mereka sadar. Bahwa di balik aplikasi yang canggih, ada manusia yang masih butuh dibimbing.

Share:

0 comments