MIMPI BENGKULU PUNYA BANDARA INTERNASIONAL
Baca Juga
Saya sudah sering ke Malaysia. Kuala Lumpur tentu, Putra Jaya juga pernah, bahkan ke Ipoh. Tapi baru kali ini saya menjejakkan kaki ke Penang. Pulau Pinang, kata orang sana. Perjalanan kali ini berbeda. Saya tidak sedang berlibur. Saya datang untuk menghantarkan mahasiswa kami yang akan magang selama sebulan di Universiti Sains Malaysia. Sekalian, saya diminta mengisi forum internasional. Topiknya menarik: dekolonisasi ilmu pengetahuan.
Penang tidak terlalu besar. Apalagi bandara internasionalnya. Bandara Penang (PEN / Call Sign Penang) tidak seperti KLIA yang mewah. Ukurannya kecil, sederhana. Tapi sibuk. Pesawat datang dan pergi ke banyak negara. Saya heran juga. Kota ini bukan ibu kota, tapi pesawat internasional lalu-lalang seperti Jakarta.
![]() |
Gedung Terminal Penerbangan Internasional di Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu (Foto : BeritaTrans/Istimewa) |
Saya lalu membandingkan dengan Bengkulu. Situasinya hampir mirip. Sama-sama bukan ibu kota negara. Sama-sama punya potensi. Sama-sama bukan kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Bedanya, Penang sudah menjadi bandara internasional sungguhan. Bengkulu baru sekadar papan nama. Gedung terminal internasionalnya berdiri. Tapi kosong.
Dari Penang, ada penerbangan langsung ke banyak kota. Ada Aceh, Medan, Surabaya. Jakarta tentu saja. Dan saat melihat jadwal itu, saya merasa iri. Di daftar itu tidak ada nama Bengkulu. Padahal Bengkulu juga ada di Sumatra. Tapi seolah-olah, Bengkulu bukan bagian dari peta penerbangan internasional.
Kemarin, sewaktu acara seminar, saya bertemu beberapa mahasiswa dari sebuah sekolah tinggi di Sumatera Utara. Bukan universitas besar. Hanya sekolah tinggi. Biasanya, sekolah tinggi di daerah lebih sibuk membangun kampus daripada mengurus kerja sama internasional. Tapi yang ini berbeda. Mereka sudah menjalin kerja sama internasional. Mengirim mahasiswa keluar negeri. Bahkan bisa hadir di forum internasional.
Saya lalu bertanya-tanya. Apa rahasianya? Jawaban mereka sederhana: akses. Dari Medan ada banyak penerbangan internasional. Mahasiswa bisa dengan mudah pergi ke Penang, ke Kuala Lumpur, ke Singapura. Bandara mereka membuka jalan. Sementara Bengkulu? Bandara internasionalnya mangkrak. Mahasiswanya harus transit jauh dulu sebelum bisa keluar negeri.
Padahal Bengkulu sudah punya infrastrukturnya. Terminal internasional sudah berdiri. Gedungnya megah. Pintu imigrasi ada. Tapi pesawat yang masuk tidak ada. Terminal itu seperti rumah besar yang tidak pernah ditempati. Entahlah, ini kelalaian siapa. Apakah studi kelayakan yang tidak benar, atau sekadar proyek mercusuar.
Bandara internasional bukan hanya soal gedung. Ia soal jaringan penerbangan. Soal daya tarik. Soal bagaimana maskapai mau masuk. Dan untuk itu, pemerintah daerah harus serius. Harus membuat Bengkulu pantas jadi tujuan. Baik untuk wisata, bisnis, maupun kekerabatan. Tanpa itu, bandara hanya akan jadi monumen.
Penang punya daya tarik tersendiri. Banyak orang Indonesia ke sana untuk berobat. Wisata kesehatan jadi magnet. Rumah sakit modern, pelayanan ramah, biaya lebih murah daripada Singapura. Orang dari Medan, Jakarta, bahkan Surabaya datang ke Penang. Penerbangan penuh setiap hari.
Bengkulu jelas tidak bisa meniru Penang dalam hal itu. Rumah sakit di Bengkulu belum bisa jadi tujuan wisata kesehatan. Bahkan masyarakat Bengkulu sendiri, kalau sakit berat, lebih memilih ke Jakarta atau Padang. Jadi, jangan bayangkan Bengkulu bisa seperti Penang. Tapi Bengkulu bisa mencari jalannya sendiri.
Sayangnya, pemerintah daerah selama ini sibuk dengan hal lain. Sibuk dengan politik. Sibuk dengan perebutan kekuasaan. Bandara jarang masuk agenda serius. Pariwisata tidak pernah jadi prioritas. Padahal, potensi ada. Pantai Panjang. Benteng Marlborough. Dan bunga bangkai raksasa yang langka. Tapi tanpa promosi, semua itu hanya tinggal nama.
Bengkulu sering lupa untuk apa kekuasaan itu diperebutkan. Seolah jabatan hanya untuk kepentingan sendiri. Akibatnya, uang habis untuk seremonial. Untuk acara-acara yang tidak berdampak nyata. Pariwisata jalan di tempat. Infrastruktur tidak nyambung. Padahal, dunia luar menunggu pintu yang terbuka.
Kalau saja Bengkulu punya penerbangan internasional, dampaknya besar. Mahasiswa lebih mudah ke luar negeri. Wisatawan lebih gampang datang. Investasi lebih cepat masuk. Orang Bengkulu di Malaysia lebih sering pulang. Hubungan keluarga yang lama terputus bisa terhubung kembali. Sirkulasi manusia dan ide akan lebih deras.
Tentu ada dampak negatif juga. Penerbangan internasional bisa membuka pintu narkoba. Bisa memudahkan kejahatan lintas negara. Tapi itu semua bisa diantisipasi. Dengan teknologi. Dengan sistem keamanan. Dampak positifnya jauh lebih besar.
Bengkulu punya daya tawar yang unik. Di Malaysia, banyak sekali orang keturunan Bengkulu. Mereka sudah beranak-pinak di sana. Tapi hubungan kekerabatan masih ada. Mereka ingin pulang. Mereka ingin berziarah. Ingin bertemu keluarga. Kalau ada penerbangan langsung, mereka pasti lebih sering datang.
Kemarin, seorang istri bangsawan dari Penang bercerita pada saya. Nenek moyangnya dari Bengkulu. Mereka masih menyimpan cerita itu. Ada ikatan emosional. Tapi apa daya, untuk ke Bengkulu mereka harus repot. Transit dulu ke Jakarta atau Palembang. Padahal jarak ke Bengkulu lebih dekat.
Penerbangan dari Malaysia ke Aceh, Medan, Padang, dan Palembang banyak. Dan penumpangnya bukan wisatawan. Tapi orang yang pulang kampung. Orang yang menjenguk keluarga. Orang yang membangun rumah. Wisata hanyalah tambahan. Prioritas mereka adalah kekerabatan.
Kalau Bengkulu bisa membuka penerbangan internasional, itu akan jadi magnet. Orang Malaysia keturunan Bengkulu akan datang. Mereka akan membawa uang. Mereka akan membangun rumah. Mereka akan membantu keluarga. Ekonomi lokal akan bergerak.
Pariwisata juga bisa ikut tumbuh. Orang Malaysia suka pantai. Suka makanan laut. Suka wisata alam. Bengkulu punya itu semua. Tinggal dikemas. Tinggal dipromosikan. Tinggal dibuat aksesnya mudah. Dengan penerbangan langsung, semua itu mungkin.
Tapi sampai sekarang, terminal internasional di bandara Bengkulu masih kosong. Tidak ada maskapai yang masuk. Tidak ada penerbangan yang datang. Gedung itu hanya berdiri diam. Lampu menyala, tapi tidak ada penumpang.
Saya tidak tahu apakah pembangunan terminal itu benar-benar ada studi kelayakannya. Atau hanya proyek untuk menghabiskan anggaran. Kalau ada studi, mestinya mereka sudah menghitung pasar. Mestinya mereka sudah tahu maskapai mana yang mungkin masuk. Tapi kenyataannya, tidak ada yang jalan.
Kadang saya berpikir, ini soal kegagalan memasarkan Bengkulu. Bukan soal infrastruktur. Gedungnya ada. Runway-nya cukup. Imigrasi ada. Tapi siapa yang mau terbang ke kota yang tidak dipasarkan? Maskapai butuh penumpang. Tanpa penumpang, tidak ada rute.
Pemerintah daerah harus berani. Harus berani menawarkan Bengkulu. Harus berani mendatangi maskapai. Harus berani memberi insentif. Kalau perlu, subsidi dulu rutenya. Kalau berhasil, efeknya akan panjang. Banyak kota yang berhasil dengan cara itu.
Saya percaya, Bengkulu bisa. Potensi ada. Kekerabatan ada. Wisata ada. Tinggal kemauan. Tinggal keberanian. Tinggal kerja keras.
Kasihan sekali gedung terminal itu kalau terus dibiarkan kosong. Padahal dibangun dengan uang rakyat. Padahal bisa membawa manfaat besar. Jangan sampai jadi monumen kegagalan. Monumen kebijakan yang setengah hati.
Bengkulu perlu mimpi besar. Dan mimpi itu harus diwujudkan. Tidak cukup hanya punya gedung. Tidak cukup hanya punya papan nama. Yang penting adalah pesawat datang. Orang berdatangan. Ekonomi bergerak.
Mimpi itu tidak boleh berhenti. Harus dikejar. Harus diperjuangkan. Kalau tidak, Bengkulu akan terus tertinggal. Akan terus jadi kota yang dilewati, bukan disinggahi.
Saya melihat, jalan masih terbuka. Tinggal siapa yang mau menyalakan lampunya. Tinggal siapa yang mau bekerja. Tinggal siapa yang mau menjadikan Bengkulu bukan hanya punya terminal internasional, tapi juga penerbangan internasional yang nyata.
0 comments