RANGKING DAN AKREDITASI : NAPAS TERAKHIR KAMPUS SWASTA

Baca Juga

Beberapa waktu yang lalu, entah mengapa, saya terpaku pada sebuah unggahan di media sosial. Isinya adalah potongan tulisan dari seorang rektor kampus swasta besar, kampus yang umurnya hampir setua republik. Rektor ini bercerita soal pendiriannya yang sudah ia simpan dan suarakan sejak belasan tahun lalu: ia tidak setuju dengan model pemeringkatan kampus yang digagas lembaga-lembaga asing. Bukan sekali dua kali ia mengucapkan itu. Bahkan ia mengumpulkan opini-opininya di berbagai media massa, menjadikannya semacam jejak perjuangan panjang. Rasanya seperti membaca arsip seorang pejuang yang sejak lama berdiri di garis depan melawan arus besar.

Saya membacanya sambil bertanya-tanya, dari mana sebenarnya perdebatan ini bermula? Kampus swasta, dalam sejarahnya, lahir bukan dari ambisi untuk bersaing soal ranking, melainkan sebagai respon atas kebutuhan yang tidak seluruhnya mampu dipenuhi negara. Di masa awal republik, pendidikan tinggi adalah barang mewah. Pemerintah punya beban berat, membangun negara, membentuk birokrasi, memperbaiki infrastruktur, dan pada saat yang sama, mendidik rakyat. Dalam situasi seperti itu, kampus swasta menjadi penolong yang menambal kekurangan kapasitas negara.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Bagi mereka yang hidup di era itu, suasananya mungkin terasa heroik. Ada idealisme yang tebal. Pendiri kampus swasta membuka pintu bagi anak-anak bangsa yang tak terjangkau kampus negeri. Tak peduli gedungnya sederhana, fasilitasnya seadanya, dan dosennya bekerja ganda, tujuan mereka jelas yaitu mengangkat derajat bangsa lewat pendidikan tinggi. Saya suka membayangkan semangat masa itu seperti menyalakan lilin di tengah gelap. Nyala kecil, tapi berarti.

Namun zaman bergeser. Sekitar dua dekade terakhir, lanskap pendidikan tinggi berubah drastis. Negara yang dulu membutuhkan bantuan kampus swasta, kini memiliki kapasitas lebih besar. Kampus negeri menjamur, bahkan di kota-kota kecil yang dulu tak terbayangkan punya universitas. Bagi sebagian orang, ini kabar baik, akses pendidikan semakin merata. Tapi bagi kampus swasta, ini berarti medan persaingan berubah total. Mereka yang dulunya mitra, kini harus berhadap-hadapan sebagai pesaing.

Kondisi ini mirip dua saudara yang dulu saling menopang, lalu tiba-tiba dipaksa berebut sumber daya yang sama. Mahasiswa adalah sumber daya itu. Kalau dulu kampus swasta relatif santai menerima pendaftar, kini mereka harus berstrategi habis-habisan. Tidak ada lagi "kursi selalu penuh" seperti era 90-an. Jumlah lulusan SMA mungkin stabil, tapi pilihan mereka semakin banyak, dan tentu saja, mereka ingin yang terbaik.

Perubahan ini memunculkan satu kesadaran baru, branding kampus menjadi urusan hidup mati. Branding ini tidak hanya soal baliho besar di perempatan atau iklan digital yang muncul di layar ponsel. Branding kampus, di mata generasi sekarang, sangat dipengaruhi oleh dua indikator yang dianggap “objektif”, akreditasi dan peringkat. Dua hal yang di mata publik tampak sebagai bukti kualitas, meski kita semua tahu, realitasnya bisa jauh lebih rumit.

Akreditasi memang awalnya dimaksudkan sebagai jaminan mutu. Ia seperti sertifikat kesehatan yang memastikan rumah makan Anda bersih dan aman. Tapi dalam dunia kampus swasta, sertifikat ini punya peran tambahan yaitu sebagai senjata pemasaran. Calon mahasiswa (dan terutama orang tuanya) seringkali menjadikan nilai akreditasi sebagai penentu akhir pilihan. Tidak peduli betapa ramahnya staf administrasi atau betapa hijau pepohonan di kampus itu, jika akreditasi rendah, rasanya seperti membeli mobil tanpa rem.

Lalu ada perangkingan. Ini lebih baru, dan lebih membingungkan. Pemeringkatan kampus yang digagas lembaga-lembaga asing sering menggunakan metrik-metrik yang, kalau kita jujur, tidak selalu relevan dengan realitas kampus di daerah. Tapi angka ranking itu punya daya magis di brosur dan laman resmi kampus. “Top 500 Asia” atau “Peringkat 10 Nasional” terdengar lebih seksi daripada kalimat “Gedungnya adem, dosennya ramah”.

Maka wajar jika banyak kampus swasta memandang akreditasi dan ranking sebagai prioritas. Mereka bukan sekadar mengejar gengsi. Ini soal memastikan arus mahasiswa baru tidak terhenti. Tanpa mahasiswa, kampus swasta akan layu, bukan dalam hitungan dekade, tapi dalam hitungan tahun.

Saya teringat satu cerita dari awal 2010-an. Ada satu sistem perangkingan yang berbasis website. Salah satu indikatornya adalah jumlah backlink dan dokumen yang bisa dirayapi mesin pencari. Hasilnya? Banyak kampus swasta lalu “beternak” subdomain. Mahasiswa diberi blog pribadi di bawah domain kampus. Setiap jurusan membuat portal dokumen, dari skripsi sampai tugas kuliah, semuanya diunggah. Bagi sebagian orang, ini terlihat seperti trik murahan. Tapi bagi kampus, ini strategi bertahan hidup.

Kita bisa mencibir, tentu saja. Kita bisa bilang itu menurunkan martabat akademik. Tapi kita juga harus jujur, di pasar pendidikan tinggi yang kompetitif, bertahan kadang membutuhkan keluwesan yang tidak selalu elegan. Bagi kampus swasta, ini bukan lomba estetik. Ini maraton untuk bertahan hidup, dengan sepatu yang mungkin sudah bolong di ujungnya.

Yang menarik, di balik semua ini, ada semacam paradoks. Publik ingin pendidikan tinggi berkualitas, tapi juga menuntut biaya yang terjangkau. Kampus swasta yang berinvestasi besar untuk menaikkan akreditasi dan ranking harus mencari cara menutup biaya itu, biasanya lewat uang kuliah. Tapi jika biaya naik, mahasiswa bisa kabur ke kampus negeri yang disubsidi. Lingkaran setan ini membuat banyak kampus swasta berada di posisi sulit.

Sementara itu, lembaga pemeringkat terus mengubah indikatornya. Kadang, perubahan ini membuat kampus yang tadinya di posisi menengah tiba-tiba jatuh, bukan karena kualitasnya menurun, tapi karena rumusnya berubah. Di sisi lain, kampus yang lihai membaca tren indikator bisa naik peringkat tanpa benar-benar mengubah kualitas pembelajaran. Dunia pemeringkatan ini, kalau boleh saya bilang, separuh ilmu, separuh seni, separuh trik. Ya, saya tahu itu tiga separuh.

Kenyataan pahitnya, mahasiswa baru tidak akan membaca catatan kaki metodologi perangkingan. Mereka akan melihat angka besar di brosur. Angka itu akan masuk ke kepala orang tua mereka, mempengaruhi keputusan, dan akhirnya mempengaruhi keberlangsungan kampus. Sederhana, tapi menentukan.

Di sinilah akreditasi dan perangkingan berubah dari instrumen penjaminan mutu menjadi instrumen marketing. Di tengah persaingan yang kian ketat, dua hal ini menjadi wajah depan kampus swasta. Mungkin tidak selalu mencerminkan isi rumahnya, tapi cukup untuk membuat tamu masuk ke pintu.

Bagi kampus besar yang sudah mapan, mungkin ada kemewahan untuk mengabaikan permainan ini. Mereka punya reputasi yang dibangun puluhan tahun, jaringan alumni kuat, dan sumber daya finansial yang stabil. Tapi bagi kampus swasta menengah dan kecil, mengabaikan ranking berarti membuka pintu ke penurunan jumlah mahasiswa yang bisa berujung pada penutupan program studi, bahkan kampus.

Dan begitulah, setiap awal tahun ajaran, rapat pimpinan kampus swasta sering berubah menjadi ajang diskusi strategi menaikkan akreditasi dan ranking. Kadang terasa seperti tim sepak bola yang membicarakan strategi promosi liga, bukan pembahasan murni akademik. Tapi begitulah tuntutan zaman.

Masalahnya, publik jarang melihat sisi ini. Mereka mengira ranking hanyalah soal gengsi. Padahal di balik angka itu ada gaji dosen, beasiswa mahasiswa, listrik laboratorium, dan biaya perawatan gedung. Semua bergantung pada satu hal, apakah cukup banyak mahasiswa baru mendaftar.

Saya pikir, di sinilah letak tragisnya. Kampus swasta yang dulu lahir untuk membantu negara kini harus bersaing mati-matian dengannya. Tidak ada ruang nostalgia di pasar yang kian keras ini. Anda hanya sebaik ranking dan akreditasi terakhir Anda.

Maka saya tidak heran jika ada kampus yang rela melakukan hal-hal kreatif, kadang nekat, untuk menaikkan posisi. Ada yang membangun tim khusus SEO, ada yang mengundang dosen tamu internasional demi publikasi, ada yang menggelar lomba-lomba agar namanya sering disebut media. Semuanya diarahkan untuk menambah poin di mata lembaga pemeringkat.

Kita mungkin bertanya: apa ini tidak menggeser tujuan mulia pendidikan tinggi? Mungkin iya. Tapi itu pertanyaan yang sama seperti “apakah rumah makan yang memajang foto artis di dindingnya sedang menggeser tujuan memberi makan?” Jawabannya adalah mungkin. Tapi jika itu membuat pelanggan datang, rumah makan itu tetap bisa hidup.

Di titik ini, saya melihat akreditasi dan perangkingan sebagai semacam bahasa pasar. Ia tidak selalu adil, tidak selalu akurat, tapi selama pembeli (mahasiswa) memakainya untuk memilih, penjual (kampus) harus menguasainya. Tidak mengerti bahasa pasar sama saja dengan menutup toko di jam ramai.

Kadang, saya membayangkan: bagaimana jika sistem ini dirombak total? Jika akreditasi benar-benar hanya mengukur mutu akademik dan tidak dipublikasikan sebagai alat marketing? Jawabannya mungkin indah secara teori, tapi sulit secara praktik. Dunia nyata punya logika sendiri.

Yang pasti, kampus swasta tidak punya kemewahan untuk mengabaikannya. Mereka tidak bisa hidup hanya dari idealisme. Idealismenya harus diberi bensin, dan bensinnya datang dari mahasiswa yang mendaftar.

Dan begitu kita menyadari ini, kita akan mengerti mengapa sebuah ranking di laman resmi kampus bisa membuat rapat pimpinan bersorak atau murung. Ranking itu bukan sekadar angka. Ia adalah detak jantung kampus swasta.

Kalau kampus negeri punya infus dari negara, kampus swasta punya pompa air yang mereka putar sendiri. Setiap tetes air, setiap mahasiswa, harus mereka dapatkan dengan keringat sendiri. Dalam kondisi seperti itu, akreditasi dan perangkingan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan pokok.

Saya rasa, inilah yang membuat unggahan sang rektor itu terasa getir. Ia melihat bagaimana sesuatu yang dulu ia tolak, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari permainan. Seperti veteran yang menolak perang, tapi tahu anak-anaknya harus ikut jika ingin bertahan.

Mungkin di masa depan, akan ada cara lain untuk mengukur kualitas kampus yang lebih adil dan relevan. Tapi untuk saat ini, realitasnya jelas, di dunia kampus swasta, ranking dan akreditasi adalah tiket untuk bertahan hidup. Dan tiket itu mahal.

Share:

0 comments