SELFIE RAKSASA PEJABAT DI RUANG PUBLIK

Baca Juga

Di berbagai penjuru kota, mata kita sering dimanjakan, atau ada kalanya 'ditodong', oleh sederetan papan iklan atau baliho raksasa yang memajang wajah para pejabat publik. Dari persimpangan jalan hingga lorong-lorong keramaian, wajah-wajah tersenyum plastis itu hadir bagai dewa penjaga kota, seolah menegaskan sebuah kehadiran dan kekuasaan. Banyak dari kita mungkin akan tergelitik, atau tepatnya terusik, oleh fenomena yang sudah menjadi pemandangan biasa ini. Inilah ruang publik kita yang kian hari kian mirip galeri pemujaan bagi individu-individu tertentu. 

Bercermin pada pemikiran Roland Barthes dan semiotikanya, setiap tanda bukan sekadar simbol, melainkan membawa mitos dan makna tersembunyi di dalamnya. Foto pejabat yang menghiasi baliho dan poster-poster komunikasi publik dari pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk siapa yang bertanggung jawab atau identitas simplistik. Foto ini telah menjadi suatu mitos, mengkomodifikasi gambaran kekuasaan dan otoritas sebagai 'wajah pembangunan'.

Sisi humanisnya, penempatan foto ini seakan menyampaikan pemerintah itu ada, dekat dengan rakyat, dan hadir dalam wujud konkret si pejabat. Namun, apakah pendekatan ini efektif? Sudahkah gambar tersebut memperkuat pesan yang ingin disampaikan, atau justru mengalihkan fokus dari substansi ke citra?

Efektivitas dalam Komunikasi Publik

Prinsip efektivitas dalam komunikasi publik sejatinya sederhana: sampai kepada audiens dan memberikan dampak. Pesan harus jelas, mengena, dan menimbulkan aksi atau pemikiran yang dikehendaki. Namun, ketika foto pejabat mendominasi, pesan tersebut menjadi terdistorsi. Saat wajah memenuhi mayoritas ruang visual, pesan kerakyatan dan pelayanan publik seringkali tereduksi menjadi sekedar latar belakang.

Pada dasarnya, penggunaan wajah dalam baliho sekaligus menimbulkan paradoks. Di satu sisi, keberadaannya memanusiakan pemerintah, namun di sisi lain, secara tidak langsung menyeret komunikasi publik ke ranah personalisasi dan heroisme. Penelitian-penelitian dalam komunikasi menunjukkan bahwa orang cenderung lebih mudah mengingat wajah dibandingkan dengan pesan tertulis. Ini adalah mainan psikologi yang licik; wajah pejabat menjadi ingatan, sementara program atau pesan utama bisa jadi terlupakan.

Kepemimpinan, Pemujaan, dan Kompleksitas Sosial

Dalam kajian komunikasi dan politik, fenomena seperti ini sering disebut dengan istilah 'kultus kepribadian', yang mana kepemimpinan individual lebih ditonjolkan daripada lembaga atau sistem yang diwakilinya. Ini menciptakan persepsi bahwa individu tersebut adalah sumber dari semua keputusan, tindakan, dan hasil, padahal kenyataannya lebih kompleks. 

Ilustrasi Reklame (Gambar : Seputarpapua / Istimewa)

Kita juga harus mengakui ada sisi psikososial dalam maraknya praktik ini. Di banyak masyarakat, terdapat kecenderungan untuk memuja tokoh atau figur berpengaruh. Dalam ruang publik yang ideal, bagaimanapun, pemujaan semacam ini kurang sehat karena mengaburkan garis antara pelayan publik dan pemilik jabatan.

Munculnya pertanyaan penting di sini: Apakah masyarakat menjadi lebih sadar akan keberadaan dan fungsi pemerintah dengan visualisasi ini, atau justru menjadi semakin pasif dan hanya berperan sebagai penonton? Partisipasi publik yang sehat dalam sebuah demokrasi mengandalkan warga yang aktif dan kritis, bukan sekadar penerima pesan yang patuh.

Tindakan mengedepankan wajah pejabat dalam media komunikasi publik bisa mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri. Mengetahui siapa yang membuat kebijakan penting, tetapi menghentikan kecenderungan pemujaan personal bisa membantu menjaga kesehatan demokrasi kita.

Lebih jauh lagi, komunikasi yang efektif seharusnya reflektif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Poster dan baliho pemerintah yang efisien akan lebih menekankan pada informasi, edukasi, atau ajakan yang mendorong keterlibatan masyarakat, dibandingkan sekadar memperlihatkan wajah pemimpin.

Sadar atau tidak, pemilihan desain dan konten pada media komunikasi pemerintah sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang diutamakan oleh pemerintah itu sendiri. Jika pesan yang dominan adalah citra individu, bukan inisiatif atau program yang berdampak, maka muncullah pertanyaan, untuk siapakah komunikasi ini sesungguhnya?

***

Dalam pemerintahan yang demokratis, penting bagi pejabat publik untuk memahami bahwa mereka merupakan pelayan, bukan penguasa. Foto-foto yang tersebar luas di ruang publik seyogyanya menjadi pengingat akan tanggung jawab, bukan sebagai media autopromosi.

Jika kita hendak menuju masyarakat yang progresif dan partisipatif, maka pembuatan baliho dan iklan publik hendaknya lebih dari sekadar instalasi fotogenik. Haruslah ada upaya sadar untuk kembali ke inti komunikasi publik itu sendiri: menyampaikan pesan yang jelas, transparan, dan mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat. Saatnya kita memastikan bahwa ruang publik digunakan untuk tujuan yang memang seharusnya: membangun dialog dan partisipasi masyarakat, bukan sekedar pameran wajah.

Share:

0 komentar