LEBARAN TEMPO DOELOE ; KENANGAN YANG TERUS BERSEMI DI HATI

Baca Juga

Lebaran, bagi banyak orang, bukan sekadar perubahan waktu dalam kalender atau sekumpulan ritual keagamaan yang terpola. Lebaran adalah tapiseri kaya akan nuansa emosi, kehangatan sosial, dan nostalgia yang kental. Di era digital ini, banyak yang merasa ada yang "hilang" dari semarak hari raya Idul Fitri. Kok bisa?

Masuklah kita ke sudut ruang waktu, dimana nostalgia bersemi: lebaran zaman dulu. Bila kita ibaratkan dengan lukisan, lebaran masa lalu adalah lukisan dengan palet warna yang lebih hidup, lengkap dengan kesederhanaan yang justru menjadi kekuatannya. Lebaran adalah saat dimana ketulusan tercipta dari kesederhanaan, dimana ponsel dan media sosial belum membanjiri setiap detik kita.

Dahulu, kampung-kampung dipenuhi dengan suara gemuruh takbir menggema dari masjid ke masjid, bersahutan secara alami, tidak bersaing dengan suara notifikasi dari gadget yang tak henti-hentinya berdering. Anak-anak berlarian ke sana ke mari tanpa khawatir dengan batasan jaringan internet, hanya memikirkan kapan mereka bisa saling berbagi kembang api. Kumpul keluarga tak hanya diisi dengan foto-foto untuk dipamerkan di media sosial, tetapi lebih pada tukar cerita dan tawa yang riang, dimana setiap anggota keluarga benar-benar 'ada' secara fisik dan mental.

Makanan lebaran pun merupakan metafora dari kebersamaan—opor ayam yang ditunggu-tunggu sebagai hasil gotong royong memasak bersama, ketupat yang siap disantap sebagai simbol tolong menolong untuk mengisi dan membungkusnya. Manisan buatan nenek yang tak pernah lupa menjadi sorotan, menyimbolkan bahwa kebahagiaan itu sederhana dan bukan tentang kemewahan atau keberlimpahan.

Kartu Ucapan Lebaran dari Gubernur Anies Baswedan (Foto : Facebook dr. Guntur Surya / Istimewa)

Sebelum ada media sosial Kartu lebaran dulu memegang peran penting tatkala jelang lebaran sebagai media komunikasi, meski terbilang primitif oleh zaman sekarang, adalah lambang perhatian yang personal dan intim. Kartu-kartu itu harus dipilih, ditulisi pesan tangan, dan dikirimkan lewat pos berhari-hari sebelumnya. Prosesnya lambat, namun penuh makna. Berbeda dengan kini, ucapan lebaran seringkali hanyalah pesan instan seragam yang dikirimkan secara massal dengan sekali klik.

Di sudut lain, silaturahmi tidak hanya sebatas “absensi” tahunan untuk mengumpulkan amplop, melainkan tradisi yang mendalam untuk memperbaiki hubungan, menguatkan tali persaudaraan, dan saling memaafkan dengan tulus. Bayangkan, bermaafan dengan meraih tangan dan memandang mata tanpa sekat layar sentuh menghadirkan kedekatan yang tak tergantikan.

Adakah kerinduan untuk kembali ke sana?Pastilah ada. Namun, apa yang sebenarnya kita rindukan bukan masanya, melainkan esensinya—keaslian konektivitas antarmanusia yang kita dambakan kembali.

Terang saja, tidak semua yang baru itu kurang baik. Hari ini, kita memiliki kelebihan dalam efisiensi dan kemudahan. Namun dalam efisiensi itu, mari kita tidak lupa untuk menanamkannya dengan kehangatan dan kedalaman yang sama seperti lebaran masa lalu.

Maka, di lebaran yang akan datang, bisakah kita menciptakan syahdu itu lagi? Bisakah kita memadukan hangatnya teknologi dengan keakraban lebaran masa lalu? Ini menjadi tantangan untuk kita bersama. Mari kita mulai dengan hal kecil: memandang satu sama lain saat berbicara, memeluk erat saat bersua, dan menikmati kebersamaan tanpa gangguan dari perangkat elektronik kita. Dengan itu, semoga kita bisa menemukan kembali syahdu dan ramainya lebaran yang selalu kita kangeni.

Share:

0 komentar