PEMILIHAN UMUM: VITALITAS SAKSI DAN PARADOKS EFISIENSI DEMOKRASI

Baca Juga

Ketika pancaroba politik mengepung hari demi hari menuju puncak pemilihan umum serentak di Nusantara, tak sekadar gaung kampanye yang gencar mengudara tetapi serapah kegelisahan atas integritas pesta demokrasi pun mengemuka. Saksi, sekerdil namanya, serupa benteng penjaga yang senantiasa waspada di garis terdepan, memainkan peran sentral dalam menjaga suara rakyat supaya terhitung adil dan sah. Neraca ini, bukan tanpa guratan paradoks, berayun antara urgensi dan kenyataan yang berlaku di tempat pemungutan suara (TPS).

Hamparan Indonesia dengan seribu suara dan ratusan etnik, diiringi desain politik multipartai yang merefleksikan pluralitas, telah melahirkan 19 partai politik yang turut serta dalam kontestasi pemilu, ditambah lautan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memperjuangkan kursi kepemimpinan. Secara logika matematis, setiap TPS idealnya diawasi oleh tidak kurang dari 29 saksi yang berasal dari setiap entitas politik yang bersaing. Namun, realitas lapangan sering kali menyajikan narasi berbeda—bahwa banyak TPS yang hanya diisi 1 hingga 2 saksi.

Ilustrasi Saksi (Gambar : Istimewa/Nandai Bengkulu)

Biaya yang mesti dikeluarkan untuk merekrut, melatih, mendistribusikan, dan membiayai saksi dari setiap partai dan calon DPD adalah astronomis—sering kali mencapai miliaran rupiah. Sebelum step ini, biaya kampanye yang menguras kocek telah lebih dahulu merampok keuangan partai dan kandidat, menjadikan aliran dana untuk saksi layaknya sungai di musim kemarau—kering kerontang. Pemilu yang didesain sebagai perayaan demokrasi terhambat oleh realita ekonomi yang mencengkeram para pemain politik, membuat pengawasan di TPS tak jarang menjadi korban dari hierarki kebutuhan.

Namun, pemilu tanpa pengawasan saksi serupa masakan tanpa garam—tawar dan berpotensi kehilangan esensinya. Saksi menyediakan mata dan telinga di lapangan, verifikasi faktual, dan menantang setiap kejanggalan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Tanpa keberadaannya, pintu untuk manipulasi dan pelanggaran terbuka lebar, yang dapat mencoreng kancah demokrasi dengan noda penipuan dan kecurangan.

Adalah benar jika para pemangku kepentingan mengadu argumentasi terkait pembengkakan biaya saksi yang kelihatannya berlebihan. Akan tetapi, kita tidak bisa mengukur efisiensi dalam demokrasi dengan uang yang keluar dari kas saja. Apa yang dianggap "merugikan secara finansial" dalam jangka pendek, bisa jadi investasi jangka panjang untuk kestabilan dan kredibilitas sistem demokrasi. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah yang terhampar luas di depan kita adalah mengkaji ulang struktur anggaran penyiapan saksi yang berkeadilan, mekanisme sederhana yang tidak mengikis tugas asasi mereka, serta memetakan kembali prioritas pengeluaran partai dan kandidat dalam kancah pemilu.

Dibutuhkan pula inovasi dan adaptasi teknologi untuk mengatasi limitasi fisik dan finansial dalam penempatan saksi. Mari kita merenungkan, apakah mungkin untuk menyederhanakan proses pengawasan dengan adanya sistem digital yang dapat diakses oleh saksi dari lokasi terpusat? Apakah kita dapat menyelaraskan kembali semangat luhur pemilu dengan melakukan pengawasan kolektif, di mana warga negara menjadi bagian dari proses pengawasan itu sendiri, menerapkan "crowd sourcing" sepasang mata di setiap sudut TPS.

Keakuratan dan kejujuran pencatatan suara di TPS adalah esensi dari pemilu yang merdeka dan bertanggung jawab. Tanpa ini, kita hanya akan memutar roda demokrasi tanpa benar-benar bergerak maju. Kesadaran kolektif ini harus difokuskan kembali pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, yang mana setiap suara itu bernilai dan harus dihitung dengan benar.

Kita tidak bisa mengabaikan paradoks efisiensi ini. Mengurus tatanan demokrasi ibarat merajut kemajuan dengan ribuan benang warna-warni. Saksi di TPS bukan sekadar formalitas atau simbolik; mereka adalah representasi dari pengawasan rakyat, dari kebulatan suara yang harus tercatat dengan integritas tinggi. Untuk itu, mari kita berupaya keras mencari benteng pertahanan dalam men-reformasi sistem saksi yang ada, membalik dilema menjadi momentum reformasi dan memastikan bahwa kekuatan demokrasi berakar pada keadilan prosedural yang tak terbantahkan. 

Keadaan ini harus segera dicarikan solusi yang tidak hanya pragmatis, tetapi juga filosofis, yang berangkat dari pertanyaan mendasar: Apakah tujuan pemilu semata-mata menjadi ritual demokrasi tanpa substansi, ataulah kita mencari kemurnian proses yang reflektif atas suara hati rakyat yang dinamis dan autentik? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi kunci dalam membuka lembaran baru praktik demokrasi di Indonesia yang lebih beradab, berintegritas, dan dihormati oleh seluruh warganya.

Share:

0 komentar