SELAMAT DATANG CUAN ; BISNIS CATERING MAKAN SIANG ALA 02

Baca Juga

Ah, berbicara soal politik di Indonesia adalah seperti memasak rendang, butuh waktu lama, penuh dengan bumbu kompleks, dan kadang-kadang membuat kita gerah. Tapi, mari kita simpan dulu bumbu politiknya, angkat panci dari api, dan alihkan perhatian kita ke sesuatu yang lebih menggugah selera: dunia catering.

Entah siapa yang diberi bisikan ilahi (atau mungkin sekadar terinspirasi ketika lapar), yang jelas program makan siang gratis dan minum susu gratis bagi anak sekolah yang digulirkan oleh Paslon 02 telah mengejutkan seluruh pelosok negeri dan membuka peluang usaha serasa baru menemukan Benua Amerika.

Sekarang, bayangkan Anda sebagai juragan catering, duduk manis di trotoar kesempatan emas, sambil menyusun strategi bagaimana mengecap nikmatnya orderan dari jutaan perut kelaparan murid sekolah. Sebuah pemandangan yang membuat hati kita bergembira layaknya anak kecil yang diberikan gratis es krim rasa coklat stroberi.

Ilustrasi Paket Makan Siang Anak Sekolah (Gambar : Catering ibu Titien/Istimewa)

Mari kita bikin satu simulasi sederhana: andaikan satu sekolah punya 1000 murid, dan setahun ada 200 hari efektif sekolah. Kalau satu anak dikenai biaya Rp 10.000 per makan siang - itulah 'standard' yang kita kenakan biar hitungannya mudah - kita sudah bicara mengenai omzet Rp 10.000.000 per sekolah per hari. Kalikan dengan 200 hari, kita menyentuh angka Rp 2.000.000.000. Itu baru satu sekolah. Bagaimana kalau ada sepuluh? Kalau ada seratus?

Loyo? Silahkan duduk dan ambil segelas air putih, karena angka itu bisa bikin pusing tujuh keliling.

Namun, jangan terlalu cepat berangan-angan memiliki kendaraan bermerk atau berlibur ke Bora-Bora dengan hasil orderan saja, karena dalam bisnis, laba bersih itu ibarat hantu Casper; susah dilihat, namun kita tahu ada. Ada bumbu-bumbu lain yang harus kita racik: biaya bahan makanan, tenaga kerja, distribusi, logistik, pajak, hingga senyum manis kepada aparat yang datang melakukan inspeksi mendadak. Jangan lupakan juga, bahwa dengan volume yang besar, kita berbicara mengenai skala ekonomi; artinya, bisa jadi biaya per anak turun ketika jumlah yang dilayani naik. 

Tapi, tentu saja, dalam skenario paling sejahtera - di mana semuanya berjalan mulus layaknya mentega di atas roti hangat - bisnis catering ini merupakan tiket emas ke pesta pora kenaikan ekonomi. Bagaimana tidak? Kalau tiap bulan bisa membawa pulang keuntungan bersih, katakanlah 10% dari omzet, kita bisa peluk dompet kita dan menangis terharu sambil bisik-bisik 'Terima kasih 02, kau telah memberi makan anak-anakku dan juga anak-anak negeri ini.'

Namun, perjalanan catering menuju tahta kejayaan seringkali lebih berliku dari jalan-jalan di Dago Atas. Ada cerita tentang bumbu yang tumpah, ayam yang kurang matang, insiden susu tumpah yang membuat ruang kelas seperti setting untuk iklan deterjen; semua harus ada dalam perencanaan.

Dan tentu saja, dalam memenangkan hati pelanggan cilik kita ini, kita tidak bisa asal-asalan. Anak-anak itu jujur, mereka akan melontarkan kritik gourmet sekelas chef bintang lima ketika menemukan kulit lumpia yang tidak renyah. Karena di sini, kita berbicara tentang 'food critics' yang mungkin akan menyebarkan rumor tentang katering kita dengan kecepatan yang sama dengan mereka menyebarkan virus saat musim flu tiba.

Di akhir hari, dongeng catering dalam republik ini layaknya sinetron petang; penuh drama, kadang bikin ketar-ketir, tapi pasti ditunggu-tunggu. Para juragan catering harus bersiap menghadapi bumbu-bumbu tak terduga, dari kompetisi yang memanas, hingga menangani keluhan orang tua yang mungkin saja mendadak vegan dan ingin menu khusus untuk buah hati mereka.

Oh, betapa bisnis catering ini bukan cuma mengenai hitung-hitungan angka, tapi juga permainan hati dan dedikasi untuk mengisi perut-perut kecil yang sedang bertumbuh. Dan siapa tahu, di antara semangkuk sayur lodeh dan segelas susu segar, akan bertunas bibit pemimpin masa depan negeri.

Nah, sebelum kita terlalu larut dalam imajinasi, ingatlah bahwa dalam setiap bisnis ada risiko. Karena itu, pastikan Anda tidak hanya pandai mengolah angka, tapi juga mengolah resep; tidak hanya jago berhitung, tapi juga piawai berdiplomasi dengan supplier sampai tukang nyetir yang menentukan tepat tidaknya makanan tiba di tangan pelanggan kecil.

Maka berangkatlah, oh para petualang kuliner! Sambutlah era baru 02 dengan sendok dan garpu di tangan, dan mungkin saja, di antara aroma sedap nasi putih dan tempe goreng, Anda akan mendapat potongan rezeki yang tak hanya enak di lidah, tapi juga manis di dompet.

Share:

0 komentar