PROFESSOR ; GELAR KEABADIAN ATAU JABATAN FANA?

Baca Juga

Dalam lentera keilmuan, berbicara mengenai 'professor' adalah merunut benang merah antara tradisi akademis dan gelar penghormatan. Seiring dendang waktu, debat tentang status 'professor' sebagai jabatan atau gelar terus bergema—sebuah polemik yang merayap dalam bilik-bilik pendidikan tinggi hingga ke ruang publik yang luas.

Pada episentrum diskursus ini, terdapat pertanyaan fundamental yang seringkali terabaikan: "Apa sejatinya esensi dari seorang professor?" Di sinilah pemikiran filosofis berperan, menjamah hakikat yang tersembunyi di balik tabir terminologi.

Gelar professor, bila ditelisik sejarahnya, adalah amanat yang berurat akar pada tradisi akademik. Di zaman Yunani kuno, titel seperti 'Sophist' atau 'Filsuf' dikenakan kepada para pemikir ulung. Tidak sekedar penganugerahan, gelar tersebut adalah pengesahan atas pencapaian intelektual dan sumbangsih nyata bagi kebenaran ilmiah. Di zaman modern, jabatan professor memberi reverb sama: pengakuan institusi atas kejeniusan dan dedikasi untuk pembelajaran serta penelitian. 

Tapi, apakah gelar ini menanda "kejuangan" aktif belaka? Jabatan professorial dianggap sebagai puncak dari sebuah karir akademik, manifestasi dari ekspertise, komitmen, dan sumbangsih signifikan terhadap bidang tertentu. Status ini, secara eksplisit maupun implisit, mengimplikasikan tanggung jawab untuk mengajar, membimbing, dan meneruskan obor keilmuan.

Ilustrasi (Gambar : Medium / Istimewa)

Secara yuridis, dalam koridor pendidikan, professor adalah jabatan yang dijunjung oleh struktur akademik universitas. Menurut lurusnya hukum yang berlaku, jabatan professor diinstitusikan melalui proses penilaian ketat dan kriteria objektif yang mengukuhkan otoritas akademis seseorang. Ini adalah sebuah mandat profesional yang terkandung dalam kontrak kerja dan aturan organisasional—satunya yang dalam argumentasi hukum, terlepas dari seremonial penamaan, akan berakhir ketika seseorang pensiun atau keluar dari dunia akademis. Laksana daun yang gugur ketika masanya tiba, demikianlah jabatan professor menurut baku hukum.

Namun, filosofi pendidikan mengajukan perdebatan lain. Ilmu tidak dapat dipenjara dalam definisi yang rigid. Bila sains dan seni mengalir seperti air, menghanyutkan segala batas yang dicipta manusia, dapatkah kita mengkotak-kotakkan 'professor' sebagai pemegang jabatan sementara saja? Dalam kontemplasi filosofis, gelar professor tidak sekadar pekerjaan; itu adalah panggilan, sebuah identitas yang melekat dalam eksistensi intelektual seseorang.

Sesungguhnya, ilmu pengetahuan adalah perjalanan yang tidak mengenal finish. Maka, professor bukan cuma papan nama di pintu kantor atau sebuah jabatan yang dilepas di hari pensiun. Gelar professor adalah diorama kekekalan, pengakuan abadi terhadap kontribusi seseorang pada kanvas pengetahuan manusia. Seperti karya besar Plato atau Newton yang terus mengajar kita melampaui kematian merek, pengaruh seorang professor sejati berlipat ganda jauh melebihi masa jabatannya.

Di sisi yang berseberangan, menganjurkan pembersihan gelar di masa pensiun terkesan pragmatis, mencerminkan dunia yang begitu terpaku pada struktur dan aturan yang dibuat-buat. Bertutur dalam bahasa hukum, jabatan memang beralih, namun argumen ini tidak mempertimbangkan esensi sebenarnya dari pengetahuan yang tak berkesudahan—karena alam pikiran tidak mengenal batas administratif.

Professor Kehormatan: Apresiasi atau Apropriasi?

Lantas, bagaimanakah dengan gelar 'professor kehormatan' yang sering dihadiahkan kepada politisi atau kepala daerah? Di sini, pemberian gelar professor terasa dilematis; sebuah dilema antara ikonifikasikan pujian atas prestasi eksternal dan pengurangan makna akademisi sesungguhnya. Pemberian ini sering kali dipandang sebagai gestur simbolis atau politis, bukan refleksi sejati dari dedikasi akademik atau pencapaian intelektual yang mendalam.

Dunia pendidikan tinggi harus berani menegur penggunaan gelar ini ketika dilakukan dengan ringan tanpa pertimbangan yang sesuai. Gelar akademik—professor termasuk—harus selalu respek terhadap pengetahuan dan dedikasi ilmiah yang ia wakili. Penanaman gelar ini pada mereka yang tak berkontribusi langsung kepada ranah akademis berisiko mendangkal maknanya, serta mereduksi rasa hormat terhadap dunia pengajaran dan penelitian.

***

Menyebut professor sebagai 'gelar' atau 'jabatan' menjadi perdebatan yang lebih dari sekadar semantik. Di tingkat yang paling dasar, adalah netra kepada realitas pendidikan bahwa "professor" adalah cap yang sekaligus tanggung jawab dan penghormatan.

Menggantungkan status professor pada jabatan belaka adalah tindakan yang mengabaikan substansi ilmiah yang sesungguhnya. Di sisi lain, memberikan gelar professor secara sembarangan kepada mereka yang tidak merintis di kebun akademis adalah penodaan terhadap kehormatan intelektual. Kontroversi ini, di akhirnya, harus membuahkan refleksi bagi sistem pendidikan—untuk mempertegas haluan kita dalam melauti dunia ilmu, memastikan agar keduanya—gelar dan jabatan—tetap terjaga dalam spirit pengetahuan yang asli dan abadi.

Sehingga, ketika kita berbicara 'professor', kita tidak sekadar mengucapkan rangkaian huruf, melainkan kita menumbuhkan kembali penghargaan kepada mereka yang telah menanam pohon keilmuan di plot tanah yang kita tempuh secara bersama—baik sebagai profesi maupun pencapaian hidup. Saat dunia mendeburkan ombak perubahan, ayo kita jaga esa esensi professor sebagai kedua-duanya: jenjang jabatan yang bisa lenyap, dan gelar yang ia simpan dalam keabadian sumbangsih intelektual.

Share:

0 komentar