GELAR DOKTOR DI BELAKANG MEJA GURU

Baca Juga

Mendayu-dayu di tengah gempita revolusi informasi, kita berdiri di tepi zamrud khatulistiwa, Indonesia, tempat jantung pendidikan berdebar kencang. Ada gambaran yang tidak bisa kita lewatkan begitu saja—deretan sarjana berjubah kebesaran dengan tali toga melambai, gelar doktor masing-masing berkibar bagai panji-panji. Tapi, adakah makna mendalam dalam genggaman gilirannya, atau sekadar emblem kosong yang dipertontonkan untuk pawai intelektual?

Sektor pendidikan, yang harusnya menjadi laboratorium inovasi dan pemikiran kritis, tampaknya kini turut terseret arus pergulatan elitisme akademis. Fenomena peningkatan jumlah dosen dan kepala sekolah dengan gelar doktor di Indonesia menjadi suatu yang layak ditelaah. "Apakah sebuah gelar doktor telah menjadi semacam totem prestise, bukan lagi alat pemacu perubahan nyata dalam kualitas pendidikan?" tanya yang mengusik kita

Ilustrasi (Gambar : Freepik/iStockphoto)

Memasuki keriuhan era yang ditandai dengan perubahan pesat, era yang menabrak batas-batas konvensional, disrupsi menjadi kata kunci. Tidak cukup hanya melontarkan opini; kita harus berbekal senjata data empiris dan analisis cerdas supaya dapat mengurai benang kusut isu ini. Bagaimana realita harapan kita terhadap para pemegang gelar tertinggi di dunia pendidikan Indonesia? 

Ketika kita melangkah lebih dalam, angka-angka dari jurnal ilmiah berbicara tidak main-main. Lonjakan yang mengesankan dari guru dan kepala sekolah yang berpredikat doktor patut diamati. UNESCO, dengan otoritasnya, mencatat kenaikan yang nyaris mencapai sepuluh persen dalam setahun terakhir bagi pendidik Indonesia berkaliber doktoral. Peningkatan ini memang difasilitasi oleh insentif yang diberikan pemerintah, seraya mendukung institusi pendidikan yang serius menangani pendidikan tinggi. Harus diakui, inilah sebuah usaha yang ambisius untuk memimpin pendidikan menuju puncak kebesaran holistik.

Namun, di balik gemerlap statistik, ada ironi yang tidak bisa dipisahkan: sebuah dilema klasik antara kuantitas dan kualitas. Ini bukan sekadar menyoal jumlah guru berdoktor yang membeludak, tapi apakah gelar-gelar itu telah berhasil mencerahkan ruang-ruang kelas dengan pembelajaran yang berkualitas? Inilah pertanyaan krusial yang menganga, memerlukan introspeksi mendalam dan tanggung jawab moral dari kita semua yang terlibat dalam dinamika pendidikan. 

Tidak bisa kita pungkiri, gelar doktor idealnya adalah lambang dari kemahiran riset dan kemampuan analisis yang tajam. Seorang pendidik dengan gelar doktor seyogianya membawa nuansa cendekia ke dalam tindak mengajar, menyalakan api inquisisi dan inovasi. Realitas nyata yang kita hadapi adalah bahwa reputasi tidak serta-merta mewakili kompetensi. Kredibilitas akademis harus ditunjukkan melalui praktik pendidikan yang menerapkan teori-teori pembelajaran terdepan dan menenggelamkan diri dalam penelitian yang transformatif.

Patut kita tegaskan kembali, sejauh mana pengaruh gelar doktor terhadap peningkatan mutu pembelajaran di kelas? Kita tidak boleh terlena oleh beratnya sebuah gelar tanpa menguji dampak riilnya. Bukankah sejati pendidikan adalah perubahan yang dirasakan oleh murid-murid, bukan hanya sekedar menambah deretan huruf di belakang nama? Kita perlu meneropong lebih jauh lagi, menyibak tirai simbolisme dan menuju kepada esensi edukasi.

Di ujung penelitian, yang kita harapkan adalah terbitnya pengetahuan yang berujud nyata dalam tumbuh kembang para pelajar. Guru dan kepala sekolah dengan gelar doktor harus menjadi inspirasi, menjadi motor penggerak yang mengubah landskap pendidikan di Indonesia dengan substansi, bukan sekadar gengsi. Dengan demikian, baru kita dapat mengatakan bahwa investasi akademis ini tidak sia-sia, adalah sebuah anugerah yang berbuah manis untuk generasi penerus bangsa.

Secara peran akademis, gelar doktor adalah prasasti intelektual yang menandakan keahlian tertinggi dalam bidang tertentu. Ketika seorang guru atau kepala sekolah memperoleh gelar doktor, ini idealnya mencerminkan peningkatan pengetahuan, kemampuan riset, dan kapasitas kritis yang semestinya mendukung tugas mulia mereka: mendidik generasi penerus bangsa.

Akan tetapi, kenyataan seringkali tidak sesederhana itu. Faktanya, banyak yang mempertanyakan relevansi penelitian doktoral yang dijalankan dengan konteks pendidikan di kelas. Kritikus menegaskan bahwa tidak jarang riset dan disertasi yang dihasilkan bersifat teoritis dan akademis, terputus dari realitas pendagogis sehari-hari yang dihadapi oleh para pendidik di lapangan. Tidak dapat dipungkiri, kloof antara teori dan praktik kerap menganga lebar, menciptakan disonansi antara harapan tinggi dan implementasi yang kerap kali mengecewakan.

Sementara itu, terdapat perspektif lain yang mengasumsikan bahwa gelar doktor dapat menjadi sebuah leverage, atau pengungkit, yang memungkinkan guru dan kepala sekolah untuk memiliki suara yang lebih kuat dalam mempengaruhi kebijakan pendidikan yang berlaku. Dengan kata lain, gelar tersebut bukan hanya simbol prestasi akademik, melainkan juga senjata ampuh untuk negosiasi kebijakan dan praktik pendidikan yang lebih baik.

Namun, pertanyaannya, apakah gelar doktor ini telah diolah menjadi kebijakan yang mengakar dan berbuah manis untuk pendidikan di Indonesia? Ulasan terhadap beberapa kebijakan pendidikan terkini seringkali revolusioner di atas kertas, tetapi terhambat di jalur implementasinya. Hal ini menandai bahwa diskrepansi antara teori yang canggih dengan praktek yang pragmatis masih terasa berat.

Saat kita mendiskusikan tentang fenomena ini secara lebih dalam, kita harus membutuhkan perspektif yang menyeluruh dan sistemik. Artinya, harus ada pemahaman bahwa doktor dalam pendidikan bukan hanya soal gelar, tapi juga tentang kepiawaian mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk menggerakkan pendidikan yang berkesinambungan.

Peningkatan kapasitas dari doktor pendidikan hendaknya menjadi katalisator bagi inovasi pembelajaran di kelas. Misalnya, ketika kepala sekolah dengan gelar doktor berhasil mengimplementasikan metode pembelajaran yang mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa, inilah saat teori dan praktek berpadu harmonis. Contoh lain, penelitian doktoral yang dapat diterjemahkan menjadi kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan zaman, sehingga siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan, namun juga kemampuan adaptasi yang mereka perlukan untuk masa depan.

Argumen yang sering terlontar adalah bahwa gelar doktor pada gurudan kepala sekolah seolah menjadi "beban" yang harus diimbangi dengan peningkatan gaji dan jenjang karir. Hal ini tidak sepenuhnya negatif, tetapi dapat mengesampingkan esensi yang seharusnya mendominasi: peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Jika tujuan akhirnya adalah pendidikan yang lebih bermakna, maka gelar doktor harus dimaknai sebagai alat, bukan tujuan.

Solusinya, mungkin bukan semata dalam peningkatan kuantitas doktor di dunia pendidikan, tapi dalam penajaman kualitas dan relevansi riset mereka, serta peningkatan kemampuan translatif untuk mengaplikasikan temuan-temuan tersebut dalam konteks pembelajaran yang autentik. Gelar doktor harus menjadi semacam bekal yang dapat diindra dalam kelas-kelas di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Pendidikan yang hakiki bukan hanya mengenai jumlah publikasi ilmiah atau gelar yang tertera pada papan nama, melainkan sentuhan yang diberikan oleh pendidik kepada muridnya, pengaruh yang mereka lempar ke dalam hati dan pikiran siswa, dan inspirasi yang mereka sisipkan dalam perjalanan intelektual anak didik mereka.

Oleh karenanya, patutlah kita merenungi fenomena "doktorasi" guru dan kepala sekolah ini dengan bijak. Lapisan wacana akademis tentunya adalah harga mati bagi kemajuan, tapi mari kita celik bahwa ilmu yang tidak mendidih di dalam kelas, yang tidak menggelegak dalam interaksi antara murid dan guru, adalah seperti tasbih tanpa zikir.

Di penghujung artikel ini, bila kita harus memetik pelajaran, biarlah itu adalah tantangan untuk melihat fenomena gelar doktor tidak hanya sebagai kenaikan status, tapi sebagai sarana untuk terus mendorong pendidikan Indonesia naik ke puncak yang lebih tinggi—puncak di mana setiap anak bangsa mendapatkan pendidikan yang bermutu dan pembelajaran yang membekas di hati. Mari kita kibarkan bendera pendidikan di Indonesia dengan semangat yang tak tertandingi, seperti para pahlawan pendidikan yang terus bertumbuh di bumi pertiwi, menjadikan gelar doktor bukan cuma mahkota, melainkan pedang dan perisai untuk pertarungan yang paling mulia: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menilik kembali fenomena bertambahnya gelar-gelar doktor dalam medan pendidikan, patutlah kita bertanya-tanya pada sunyi, "Apakah kita sudah benar-benar mendidik?" Biarlah waktu yang menjawab, dengan syarat bahwa kita tidak tinggal diam, melainkan terus berupaya agar setiap gelar doktor yang tersemat pada nama bukan sekadar hiasan, tapi pusaka ilmu yang memperjuangkan setiap mimpi pendidik dan didik.

Share:

0 komentar