DOSEN DAN TIRANI ADMINISTRASI

Baca Juga

Sebagaimana nada gema kemerdekaan belajar bergaung di pelosok auditorium dan ruang kelas tanggalan, banyak universitas di Indonesia yang berusaha putar haluan, memperbaharui metode serta sistem pendidikan mereka agar lebih inklusif dan inovatif. Akan tetapi, paradoks yang tercipta oleh seruan kemerdekaan belajar tersebut menciptakan perdebatan yang tak kunjung teredam di kalangan akademisi. Di satu sisi, ada aspirasi untuk mengedepankan kreativitas dan inovasi, namun di sisi lain, segudang tugas administratif yang terus bertumpuk menambah ironisnya keadaan tersebut. Para pendidik, yang seharusnya menjadi ujung tombak pembaharuan dan pengetahuan, malah menjadi korban dari sistem yang kontraproduktif.

Para dosen yang ada di garis depan pendidikan, kini menemukan diri mereka terperangkap dalam labirin kertas kerja dan laporan yang tiada akhir. Tugas administratif yang notabene harusnya mendukung proses akademik justru menjadi parasit yang menggerogoti waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk penelitian, penerbitan, dan interaksi dengan mahasiswa. Mereka berjuang mengatasi tuntutan-tuntutan birokrasi sambil tetap mencoba mempertahankan standar akademis yang tinggi. Realita ini menimbulkan pertanyaan yang serius: bisakah sistem pendidikan tinggi kita mencapai keseimbangan antara perluasan kebebasan akademik dengan kebutuhan akan akuntabilitas dan efisiensi?

Dilema ini tak hanya menggerogoti waktu para dosen, tetapi juga mengaburkan fokus mereka dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Ketika energi yang sepatutnya untuk mengasah potensi intelektual mahasiswa dialihkan ke dalam labirint birokrasi belaka, kita mesti bertanya, apa yang tercecer dalam proses tersebut? Sejumlah studi menunjukkan bahwa beban administrasi yang berlebihan dapat menurunkan motivasi dosen dalam proses pembelajaran dan menciptakan hambatan bagi inovasi pendidikan. Ketika kreativitas terkubur di bawah tumpukan formulir, relasi antara dosen dan mahasiswa pun bisa menjadi transaksional, bukan transformasional.

Ilustrasi (Gambar : Freepik)

Sorotan pun kembali kepada kebijakan pemerintah di tengah pusaran masalah ini. Wacana kemerdekaan belajar yang diidam-idamkan seyogianya disertai dengan pembenahan substansial dalam administrasi universitas. Semestinya, teknologi informasi dapat dikapitalisasi untuk mengurangi kekompleksan birokrasi yang kinian. Automasi dan sistem-sistem yang berorientasi pada pengguna (user-friendly) dapat dilirik sebagai kunci untuk membebaskan dosen-dosen kita dari belenggu administrasi yang berlebihan dan membawa kembali esensi sejati mereka sebagai penyuluh ilmu pengetahuan.

Namun demikian, harus diakui pula bahwa transisi menuju efisiensi berbasis teknologi bukanlah sebuah perjalanan yang akan berlangsung mulus tanpa hambatan. Sejumlah tantangan seperti sumber daya manusia yang mumpuni, infrastruktur yang memadai, dan juga resistansi terhadap perubahan adalah faktor-faktor yang tidak bisa diabaikan. Butuh komitmennya pemerintah dan institusi pendidikan tinggi untuk menavigasi transisi ini dengan penuh kehati-hatian namun juga dengan keberanian untuk mengubah status quo demi memelihara integritas akademis dan memberikan ruang yang lebih lapang untuk pertumbuhan intelektual.

Komparasi dengan sistem yang berlaku di Amerika Serikat menjadi terasa relevan. Di sana, seperti yang dijelaskan oleh The American Association of University Professors, dosen lebih banyak menghabiskan waktunya dalam penelitian dan interaksi dengan mahasiswa, menyerahkan tugas administratif pada sistem yang terotomatisasi dan personal administratif terlatih. Laporan akademik yang sederhana pada saat pengajuan kenaikan pangkat merupakan salah satu contoh efisiensi yang patut dicontoh.

Di Indonesia, tuntutan administrasi atas dosen mencapai level yang melelahkan. Laporan Beban Kerja Dosen (BKD) yang harus diunggah setiap semester, SKP yang detail, hingga pencatatan absensi mahasiswa dan daftar hadir peserta dalam pengabdian kepada masyarakat, adalah sedikit dari sekian banyak tugas administratif yang harus dipikul.

Praktik administrasi yang berat di Indonesia berakar pada sistem pendidikan tinggi yang belum sepenuhnya mengintegrasikan teknologi dalam proses birokrasinya. Sedangkan di Amerika Serikat, investasi di bidang teknologi informasi telah memungkinkan pengurangan beban kerja manual, membebaskan dosen untuk membaktikan diri pada pengajaran dan penelitian. Dosen Amerika dapat mengandalkan platform digital canggih yang menangani proses administratif secara otomatis, mulai dari pengarsipan dokumen hingga evaluasi kerja. Penggunaan teknologi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga menjamin ketelitian dan kecepatan dalam penanganan data.

Di Indonesia, pendekatan yang serupa harusnya dapat diterapkan untuk membebaskan dosen dari belenggu tugas administratif. Namun, kendala infrastruktur dan akses terhadap sumber daya teknologi menjadi penghambat. Banyak perguruan tinggi, terutama di daerah, masih bergantung pada sistem manual atau semi-digital yang jauh dari efisien. Ini menciptakan ironi di mana dosen harus membagi waktunya, mengorbankan potensi inovasi dan penelitian untuk menyelami segudang kertas kerja yang bisa saja terdigitalisasi. Contoh nyata adalah ketika dosen ingin naik jabatan fungsional. Para dosen di Indonesia sudah lama memakai sistem SISTER. Sistem ini diluncurkan di era Kemenristekdikti dan diproyeksikan menjadi sistem tunggal terintegrasi untuk dosen. Mulai dari laporan BKD hingga proses seleksi untuk sertifikasi dosen ada semua. Namun kini, ketika dosen mau naik pangkat, mereka harus menggunakan aplikasi yang berbeda. Bahkan ketika dosen-dosen yang berstatus PNS mau melaporkan kinerjanya, mereka juga diharuskan melaporkannya dengan aplikasi yang berbeda. Padahal dokumen yang diunggah kurang lebih sama. Dengan demikian, dosen harus melakukan unggah dokumen berulangkali ke berbagai aplikasi. Disinilah tampak tidak ada iktikad pemerintah untuk serius membenahi kualitas SDM dosen terus menambah pekerjaan-pekerjaan administratif berulang. 

Ditambah lagi, kurangnya pelatihan dan pemanfaatan teknologi informasi di lingkungan akademik Indonesia memperburuk keadaan. Tak jarang, aplikasi atau software yang ada tidak dipergunakan secara maksimal karena kurangnya pemahaman atau keengganan untuk beralih dari sistem konvensional. Sentimen 'zona nyaman' dengan cara lama tampaknya masih cukup kental di berbagai institusi pendidikan, di mana perubahan sistem dianggap sebagai beban tambahan ketimbang solusi.

Pada level kebijakan, tampaknya masih ada kesenjangan yang signifikan antara apa yang diidealkan versus realitas yang ada di lapangan. Reformasi administratif memerlukan komitmen politik dan investasi yang berarti - sesuatu yang mungkin terlihat tidak mendesak dibandingkan dengan isu-isu 'panas' lain di sektor pendidikan seperti kualitas pengajaran atau akses. Padahal, efisiensi administratif adalah fondasi yang memungkinkan peningkatan di area lainnya, sebuah kenyataan yang sering diabaikan.

Kemudian, kerumitan dan ketidakfleksibelan dalam aturan administrasi di Indonesia menambah berat beban yang dosen harus pikul. Ketentuan berlapis dan seringkali tumpang tindih, ditambah dengan keharusan laporan yang berulang, memaksa dosen untuk menghabiskan waktu di meja kerja mereka, mengurusi tugas-tugas yang sebenarnya bisa dipermudah. Ini bukan hanya menimbulkan frustrasi, tetapi secara objektif mengambil alih waktu yang seharusnya diperuntukkan untuk kegiatan akademik yang lebih produktif.

Akibatnya, potensi pengembangan keilmuan di Indonesia tidak termanfaatkan secara maksimal. Dosen yang mestinya menjadi nara sumber ilmu dan inovasi, terhalang untuk melakukan penelitian yang berarti karena terikat dalam lingkaran kerja administratif yang tak berkesudahan. Kondisi ini menciptakan paradoks; di satu sisi, pemerintah menghendaki peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian, sementara di sisi lain, mereka sendiri yang meletakkan hambatan bagi para pelaku pendidikan untuk mencapai tujuan tersebut. Ironis memang, ketika esensi pendidikan terkubur di bawah tumpukan administrasi yang tidak produktif.

Untuk memaksimalkan potensi perguruan tinggi di Indonesia, kita harus mengeksplorasi berbagai solusi praktis yang mampu menangani permasalahan administratif yang sering menjadi penghalang bagi dosen untuk berinovasi dan berkarya. Solusi pertama yang bisa diimplementasikan adalah dengan mereformasi sistem pembagian kerja dalam kampus. Delegasi tugas-tugas administratif kepada staf yang telah terlatih dan kompeten bisa menjaga agar para dosen tetap fokus pada inti dari tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melalui penataan ulang ini, dosen dapat mengalokasikan waktunya secara lebih efektif pada kegiatan-kegiatan akademis yang memerlukan keahlian spesifik yang mereka miliki.

Beralih pada solusi kedua, terdapat pelajaran berharga dari MIT yang menggunakan teknologi informasi untuk menunjang kegiatan administratifnya. Dengan mengadopsi sistem informasi terintegrasi, seluruh proses administratif bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mengurangi redundansi tugas. Hal ini menghemat waktu yang signifikan, yang bisa digunakan dosen untuk kegiatan ilmiah dan pendidikan. Implementasi sistem serupa di perguruan tinggi Indonesia membutuhkan investasi awal dan pelatihan, tetapi manfaat jangka panjangnya adalah peningkatan kinerja akademik dan administrasi yang tak terukur.

Ketiga, terkait dengan penyederhanaan regulasi dan birokrasi, kita harus memperhatikan upaya dari BAN-PT dalam menyederhanakan indikator kinerja. Regulasi yang berbelit dapat mematikan inovasi dan kreativitas. Oleh karena itu, penting bagi perguruan tinggi untuk mengevaluasi dan merumuskan kembali regulasi serta prosedur internalnya, menghilangkan yang tidak perlu dan menyederhanakan proses-proses yang membantu dalam menjalankan tugas secara lebih efisien dan efektif. Ini bukan hanya akan menguntungkan dosen, tetapi seluruh civitas akademika yang terlibat dalam proses pendidikan tinggi.

Keempat, pembudayaan kerja kolaboratif juga penting untuk dilakukan. Studi menunjukkan bahwa kerja tim yang efektif dapat menyebarkan beban administratif secara merata. Dengan memiliki budaya kerja yang kolaboratif, dapat tercipta sinergi antara dosen dan staf dalam menghadapi tantangan administratif. Tidak seorang pun dalam sistem pendidikan yang bekerja dalam isolasi; sebagai sebuah unit, fakultas dan departemen harus bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis dan meningkatkan produktivitas semua pihak.

Mengembangkan kapasitas akademik dosen memerlukan lebih dari sekedar strategi jangka pendek; ini tentang menanamkan transformasi jangka panjang dalam struktur dan etos institusi pendidikan tinggi. Reformasi kinerja dosen harus dianggap sebagai bagian integral dari regenerasi intelektual bangsa. Dengan membebaskan dosen dari belenggu administratif yang menguras waktu dan energi, kita membuka jalan bagi inovasi dan pembelajaran yang otentik. Kemampuan dosen untuk mengembangkan riset, menularkan ilmu dengan penuh gairah, dan menginspirasi mahasiswanya menjadi aset yang tak ternilai yang wajib diprioritaskan dalam setiap strategi pembaharuan pendidikan.

Lebih dari itu, reformasi kinerja dosen harus dikawal oleh kebijakan yang memperkuat otonomi akademik, memberikan insentif bagi inisiatif penelitian, dan mendukung peningkatan kualitas pengajaran. Sebagai pusat pengetahuan, dosen harus dihadiahi ruang untuk bereksplorasi dan bereksperimen demi menemukan metode-metode baru yang dapat memperkaya kampus serta masyarakat luas. Perguruan tinggi perlu meletakkan fondasi yang kokoh dimana wacana intelektual dapat berkembang, sementara tugas administratif menjadi tanggung jawab sistem dan mekanisme yang teroptimasi dengan baik, yang didukung oleh teknologi terkini.

Sistem informasi yang canggih dan berbasis pada solusi pintar adalah kunci untuk memperlancar pengurusan administratif yang saat ini menjadi beban. Dengan memanfaatkan perangkat lunak terintegrasi dan otomatisasi, sejumlah besar waktu yang sebelumnya tercurah pada administrasi dapat dialokasikan kembali ke kegiatan akademis dan penelitian. Pemberdayaan dosen melalui teknologi tidak hanya efisien tetapi juga merupakan investasi yang berharga untuk daya saing dan relevansi institusi pendidikan tinggi di kancah global.

Akhirnya, menjadi jelas bahwa penguatan posisi dosen sebagai penggerak utama di dunia akademis adalah keharusan. Tidak lagi boleh kita membiarkan kebijakan-kebijakan yang meredam semangat dan potensi penuh dari para akademisi kita. Mereka yang diharapkan menjadi tonggak kemajuan pengetahuan dan inovasi harus dilepaskan dari belitan tugas administratif yang berlebihan. Inilah saatnya untuk revolusi dalam pendidikan tinggi—satu yang mengedepankan kebebasan intelektual dan inovasi akademis. Mari kita bersama-sama mendukung dan memperjuangkan reformasi ini, agar tercipta iklim akademis yang benar-benar kondusif untuk pertumbuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia. Reformasi kinerja dosen bukan hanya tentang mengubah cara kerja; itu tentang mengubah masa depan pendidikan kita.


Share:

0 komentar