MATINYA PERGURUAN TINGGI SWASTA

Baca Juga

Sektor pendidikan tinggi Indonesia saat ini dihadapkan pada paradoks pembangunan yang ironis: di satu sisi, kita memuja konsepsi tentang merata dan inklusifnya akses ke pengetahuan, namun di sisi lain, realitas menunjukkan kesenjangan yang makin melebar antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Matinya secara bertahap banyak PTS di negeri ini bukan sekadar fenomena yang bisa diamati melalui statistik dan data, namun lebih jauh, merupakan refleksi kepincangan sistem dan kegagalan kebijakan yang harus kita renungkan bersama.

Kecenderungan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir yakni banyaknya PTS yang harus mengakhiri operasional mereka adalah suatu hal yang patut kita waspadai. Hadirnya kebijakan yang menempatkan PTN pada 'junjung tinggi' dengan berlimpahnya alokasi dana APBN yang membekali mereka dengan fasilitas tercukupi seolah menjadi bagian dari akar masalah. Semula PTN berdiri dengan fokus pada kuota mahasiswa yang terbatas, pendidikan berkualitas, dan penelitian yang mendalam. Kehadiran mereka di ranah pendidikan tinggi lebih cenderung sebagai penerima siswa terbaik yang lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), sementara PTS-lah yang menjadi retak suara bagi sisanya.

Ilustrasi Mahasiswa (Gambar : Zulpakar Yauri M)

Keadaan ini mulai berubah sejak kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah. Kebijakan yang dimunculkan dengan semangat otonomi dan efisiensi ini adalah konsep Perguruan Tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH), yang pada esensinya adalah langkah untuk mempersilakan PTN beroperasi layaknya lembaga semi-otonom yang harus mengelola keuangan dan aset yang dimilikinya. Meski pada dasarnya niatan ini terkesan progresif dan serupa dengan praktik yang ada di berbagai negara maju, namun dalam kenyataannya, ia menyisakan dilema yang mencekik keberlangsungan PTS.

Dengan kebijakan PTNBH ini, PTN yang selama ini dibiayai sepenuhnya oleh APBN dan tidak perlu cemas akan anggaran, kini terdorong untuk berkompetisi di pasar pendidikan; mereka berebut ceruk mahasiswa baru sembari tetap menjaga kualitas pendidikan sebagai pilar utama. Alih-alih bersinergi, PTN dan PTS justru terjebak dalam persaingan yang tidak sehat, di mana PTS dengan segala keterbatasannya dituntut untuk bersaing dengan PTN yang memiliki fondasi lebih kuat.

Kebijakan satu atap ini secara tidak langsung mendorong PTN melakukan 'ekspansi', merambah pasar yang awalnya merupakan 'wilayah' PTS. Para PTS yang dulunya sempat berbangga dengan keunikan mereka—dalam hal program studi, metode pengajaran, atau link and match dengan industri—kini harus mengerahkan upaya luar biasa hanya untuk tetap bertahan. Menarik mahasiswa baru, yang merupakan nyawa berlangsungnya sebuah lembaga pendidikan, menjadi suatu pertempuran yang tak seimbang.

Konsekuensinya, banyak PTS harus mengatupkan buku mereka selama-lamanya, bukan karena kualitas belajar mengajar yang merosot, tetapi lebih karena tidak mampu bersaing dalam hal finansial dan pemasaran. Ada ironi yang menyakitkan di sini: PTS yang sejatinya menjadi jawaban atas terbatasnya daya tampung PTN, kini terpaksa menyerah dalam perang yang tidak mereka mulai.

Memang, pertumbuhan institusi pendidikan tinggi harusnya disertai oleh peningkatan kualitas, bukan sekadar diukur dari jumlah. Namun demikian, kebijakan ini harusnya diiringi dengan skema dukungan pemerintah yang memperhatikan keseimbangan ekosistem pendidikan tinggi secara keseluruhan. Bantuan finansial, insentif pengelolaan, bahkan pembagian beban pendidikan antar PTN dan PTS, adalah beberapa contoh yang bisa dieksplorasi untuk menciptakan keseimbangan yang lebih adil.

Kita perlu mengakui bahwa PTS memiliki peran penting dalam mozaik pendidikan tinggi Indonesia. Mereka adalah pemain kunci dalam mengentaskan keterbatasan akses pendidikan tinggi, terutama di area-area yang tidak terjangkau oleh PTN. Maka, matinya PTS bukan sekadar menyoal kemampuan mereka dalam bertahan hidup dalam sistem ekonomi pasar, tapi juga tentang pemutusan akses pendidikan bagi lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Menyikapi kondisi ini, harus ada langkah tegas yang diambil oleh pemerintah dan stakeholders pendidikan. Harmonisasi aturan dan kebijakan, transparansi alokasi dana, serta pengawasan implementasi adil terhadap kedua jenis perguruan tinggi adalah perintah hari ini. Memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil, sebanyak-banyaknya untuk rakyat, dan seadil-adilnya bagi setiap pelaku pendidikan, menjadi imperatif.

Semoga, ini tidak sekadar menjadi pandangan semu atas dilema yang kita hadapi, melainkan sebagai panggilan untuk aksi nyata demi masa depan pendidikan tinggi Indonesia yang sehat dan berkeadilan. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya, dan tidak ada investasi yang lebih menguntungkan daripada investasi dalam pendidikan. Mari kita selamatkan PTS sebagai salah satu tiang penyangga pendidikan tinggi kita.


Share:

0 komentar