CALEG GAGAL, CALEG STRESS, DAN CALEG-CALEG LAINNYA

Baca Juga

Sudah menjadi rahasia umum, jika ada pertunjukan demokrasi, seperti pemilu, maka panggung politik kita akan berubah menjadi bazaar akbar dimana para caleg berlomba-lomba membagi-bagikan janji dan mimpi – kadang juga sembako dan sejumlah uang tunai.

Tidak jarang, panggung tersebut berakhir dengan lakon komedi-tragis seorang politikus yang ketika gagal di atas panggung, mereka seakan bermetamorfosis menjadi penagih utang darurat, dengan wajah masam mengultimatum para pemilih: "Mana bantuan yang kuberikan layaknya cinderamata? Apa sudah kembali dalam bentuk suara?"

Akan tetapi, apakah ini semata-mata karena kita tidak siap berdemokrasi, atau adakah faktor lain – mungkin budaya, atau bahkan rasa tidak rela yang telah mendarah daging dalam setiap sela kehidupan?

Pasang Surut 'Investasi' Caleg

Mula-mula, mari kita renungkan. Pemilu di Indonesia, atau mari kita pakai bahasanya orang awam agar mudah dicerna: 'tukar kado', merupakan momen paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Alasannya, bukan hanya karena dapat menyalurkan hak politik – itu mah bonus – tetapi karena tiba-tiba muncullah Santa Claus lokal yang datang bukan di bulan Desember, melainkan di bulan-bulan strategis menjelang pencoblosan.
Ilustrasi Caleg Gagal (Gambar : Balikpapan Post / Istimewa)

Adakah yang salah dengan ritual ini? Tentu, jika kita melihat bagaimana di negeri orang, caleg-cuma-legend seperti di Taiwan. Ketika mereka kalah, mereka tak pernah tampak meminta 'oleh-oleh' politiknya kembali. Kalah? Ya sudahlah. Besok coba lagi. Mungkin ini yang dinamakan gentleman. Atau mungkin karena sudah ada kesadaran kolektif bahwa politik bukanlah judi berhadiah suara.

Namun, di panggung politik tanah air, mungkin energi untuk bersikap se-sportif mungkin telah terkuras habis setelah masa kampanye yang panjang dan melelahkan – ditambah dengan tekanan 'balik modal'. Jadilah mentalitas 'titip absen' pun tumbuh subur. 

Cekikikan Filsafat dan Depresi Politik

Barangkali fenomena ini bisa kita pahami sebagai bentuk perwujudan dari perspektif epikurianisme terbalik. Bukan mengejar kepuasan yang langgeng, melainkan memaksimalkan 'keuntungan' semu dari rasa senang yang sementara. Maka bila kepuasan itu tak terjadi, rasa sakit hati pun memuncak.

Politikus kita, dengan segala hormat, terkadang terasa layaknya pelaku usaha yang lupa diri. Alih-alih melayani, mereka justru terjebak dalam menuntut pelayanan. Terbalik, bukan? Tidak heran, jika gagal, langkah selanjutnya adalah menarik ulur janji seperti pedagang kaki lima yang mengetahui barang dagangannya tak kunjung laku.

Caleg Bermoral Benturan

Dari perspektif psikologi, ada yang namanya cognitive dissonance, atau disonansi kognitif, yaitu keadaan ketika seseorang memiliki konsistensi antara nilai yang dianut dengan realita yang terjadi. Seorang caleg, yang idealnya adalah pelayan masyarakat, ketika kalah, otaknya terpapar oleh kenyataan pahit yang kontras dengan ambisi dan usaha yang telah diperjuangkan. 

Benturan moral itu begitu keras sampai-sampai diajaknya masyarakat ke dalam pusaran rasa kecewa yang mendalam – 'loh, kenapa kau tak memilih aku?' – seperti anak kecil yang menendang balon karena gagal mendapatkan permen.

Namun, bukan jarang pula disonansi ini menciptakan monster yang lebih menakutkan: politikus yang berbalik memakan amanah yang seharusnya dia berikan. Terdengar seram? Itu kenyataannya.

Kultural Ataukah Struktural?

Bisa jadi, fenomena ini secara mendalam terkait dengan budaya 'saling membutuhkan' yang telah lama terpatri. Kita mempunyai ungkapan ‘ada udang di balik batu’, yang seolah-olah meresapi setiap pertukaran bantuan. Antara masyarakat dan caleg, terjalin hubungan simbiosis mutualisme yang seringkali tak berujung pada kesepakatan 'yang sebenarnya'. 

Budaya memberi dan menerima ini telah malu-malu memakai topeng keikhlasan yang sesungguhnya pura-pura. Ketika caleg membagi 'oleh-oleh', ia sebenarnya menanam benih harapan – 'bantu aku sekarang, besok tak lupa akan jasamu'. Ketika tidak terpilih, ia pun merasa 'investasinya sia-sia'.

Kembali ke Idealisme atau Pendidikan Karakter?

Jika kita ingin mengubah panggung bazaar menjadi forum yang lebih sehat, kita harus kembali ke idealisme awal demokrasi itu sendiri: pelayanan bukan pencitraan; dukungan bukan transaksi. Pendidikan karakter perlu digalakkan, tidak hanya bagi masyarakat luas, namun lebih-lebih bagi para caleg; bahwa politik itu adalah tugas suci bukan sekadar mainan anak yang jika tidak sesuai harapan, permainannya dimusnahkan.

Akhir kata, barangkali saatnya kita semua – masyarakat dan politikus – duduk bersama sambil ngopi, menyegarkan kembali memori atas apa yang seharusnya jadi esensi dari pesta demokrasi. Menanam tanpa harus selalu menunggu hasil, melayani tanpa harus mengharap balas layan. Karena pada akhirnya, panggung demokrasi bukanlah ajang talent show yang menunggu tepuk tangan, melainkan opera kehidupan yang harusnya dipersembahkan untuk kebaikan bersama.

Nah, sampai di sini dulu cerita kita tentang caleg-caleg musiman yang serasa putus cinta setelah Pemilu. Semoga di pemilu-pemilu selanjutnya kisah ini hanya tinggal menjadi saga lawas yang bercokol di pojokan sejarah, sambil kita semua berjalan menuju proses demokrasi yang lebih dewasa. Amin.

Share:

0 komentar