MUHAMMADIYAH, SANAD ILMU, DAN OTORITAS KEILMUAN

Baca Juga

Suatu waktu saya pernah diajak oleh rekan saya yang tempo hari menanyakan mengapa tidak ada habib di Muhammadiyah, untuk pergi ke suatu acara pengajian. Dalam pengajian ini, narasumbernya adalah seorang Kyai senior yang cukup sering muncul di Youtube. Pengajian awalnya berjalan seperti biasa hingga kemudian si Kyai tersebut menjelaskan soal ia memiliki otoritas di salah satu cabang ilmu agama Islam karena menurutnya sanad ilmunya bersambung dari guru-gurunya hingga rasulullah. Ia dengan detail mengurai urutan sanad ilmunya satu persatu yang jumlahnya puluhan. 

Rekan saya yang ikut mendengarnya tiba-tiba menoleh ke saya dan bertanya, 

"Ndi, di Muhammadiyah apa ada sanad-sanad keilmuan semacam ini hingga bersambung sampai ke Kyai Dahlan atau lebih jauh sampai Rasulullah, seperti kyai di depan itu?"

"Kalau sanad ilmu itu tidak lazim di Muhammadiyah. Yang ada adalah sanad keluarga?"

"Apa itu sanad keluarga?"

"Sanad keluarga itu seperti jejaring. Jadi di Muhammadiyah itu, orang-orangnya lebih suka menyambungkan tali kekeluargaan, baik melalui pernikahan, maupun lainnya. Karena dengan hal ini, dakwah bisa dilakukan lebih efektif"

"Lalu balik ke pertanyaanku tadi, mengapa orang-orang, terutama ulamanya, tidak suka bahkan tidak pernah teriak-teriak soal sanad ilmu yang dimilikinya ketika memberikan ceramah?"

"Oh itu, panjang ceritanya. Habis pengajian selesai, nanti kita mampir ke warung Indonesia ya"

"Wah, boleh-boleh. Mau menjawab soal pertanyaanku tadi ya?"

"Ya mau makan lah.........."

"@%#*€¥¥₩&@#$" 

Teman saya pun ngedumel mendengar jawaban "ngasal" saya tersebut. 

"Hehehe...... bercanda kok. OK nanti di warung Indonesia saya coba jawab pertanyaanmu tadi ya sambil makan pecel lele" 

*** 

Di Muhammadiyah, Ilmu dipahami sebagai sumber pengetahuan yang didapatkan melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen dengan tujuan untuk menetapkan hakikat sesuatu, landasan dasar ataupun asal usulnya. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring disebutkan bahwa arti kata ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. 

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Ilmu dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama adalah ilmu yang membahas hal-hal keagamaan secara langsung, bersumber dari al-Quran (firman Allah) dan as-Sunnah (hadis Nabi Muhammad saw). Ilmu agama mencakup pengetahuan tentang akidah (tauhid), ibadah, akhlak, muamalah dan lain-lain. 

Sedangkan ilmu umum adalah ilmu yang membahas hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan agama, seperti ilmu matematika, fisika, biologi, ilmu-ilmu sosial humaniora, ilmu teknologi dan lain sebagainya. 

Di Muhammadiyah, diajarkan bahwa semua ilmu adalah milik Allah swt, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum. 

Berbicara soal sanad ilmu, hal ini hampir sama dengan masalah sanad dalam ilmu hadis. Pengertian Sanad adalah rangkaian para rawi dari mukharrij (orang yang mentakhrij hadis) sampai kepada Rasulullah saw. Suatu hadis yang tidak memiliki sanad atau sanadnya terputus, maka hadis tersebut tidak memenuhi syarat sebagai hadis yang sahih. Hal inilah yang menjadi dasar begitu pentingnya sanad dalam ilmu hadis. 

Makna kata sanad sendiri dalam kamus Lisan al-Arab, berasal dari kata Ø£َسْÙ†َدَ (asnada) yang artinya menyandarkan, seperti perkataan, “saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan”. Artinya, menyandarkan perkataan tersebut kepada orang yang telah mengatakan hal itu kepadanya. Oleh karena itu menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang telah berkata demikian). 

Lalu soal sanad ilmu, yang dimaksud di sini adalah ketika seseorang mempelajari suatu ilmu, ia dituntut untuk mengetahui dari mana ilmu tersebut berasal, dan juga harus mengetahui apakah ilmu yang disampaikan itu seperti ilmu yang dikatakan oleh orang yang pertama kali mengatakan ilmu tersebut. Hal ini diterapkan oleh SEBAGIAN umat Islam, yang mengharuskan adanya ketersambungan sanad sampai pada sumber awalnya. 

Menurut Imam Muslim, salah seorang perawi hadis dan ulama besar, sanad ilmu pertama kali dicetuskan oleh Imam Ibnu al-Mubarak. Ia mengatakan bahwa sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri). 

Imam Syafi'i juga pernah menyampaikan bahwa Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu. 

Pernyataan-pernyataan tersebut digunakan sebagai landasan oleh sebagian umat Islam yang mengatakan harus dan urgensi adanya sanad ilmu. Namun sebenarnya, pernyataan di atas sekedar menjelaskan tentang pentingnya sanad dalam ilmu agama, khususnya dalam ilmu hadis yang menuntut ketersambungan sanad sebagai syarat diterima tidaknya suatu hadis sebagai dalil hukum agama. 

Suatu ilmu, selama ilmu itu baik dan tidak bertentangan dengan syariat serta bermanfaat untuk umat, maka tidak ada persoalan untuk mempelajarinya meskipun tanpa mengetahui sanad dari ilmu tersebut. 

Muhammadiyah sangat menaruh perhatian terhadap sanad dalam konteks ilmu hadis, mengingat sangat pentingnya sanad dalam ilmu hadis ini. Tanpa adanya sanad yang jelas maka suatu hadis tidak bisa diterima dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah / dalil, karena kedudukan hadis di sini bukan hanya sebagai ilmu pengetahuan melainkan sebagai dalil hukum yang membutuhkan kejelasan baik dari segi sanad maupun isinya. Oleh karena itu, perlu adanya ketersambungan sanad sampai dengan Rasulullah saw. agar ilmu (hadis) itu bisa menjadi dalil hukum dan bisa dijadikan hujjah. 

Hal ini berbeda dengan selain ilmu hadis, khususnya ilmu-ilmu umum, yang bisa didapatkan dari mana saja dan dari siapa saja, tidak diharuskan mengetahui runtutan sanad ilmunya seperti runtutan sanad pada ilmu hadis. Ilmu umum tersebut yang penting adalah teruji kebenarannya, tidak bertentangan dengan syariat dan bermanfaat untuk kehidupan umat manusia. Sebagai contoh, rumus perhitungan matematika atau teori-teori dalam ilmu sosial, tidak ada kewajiban untuk mengetahui secaraa runtut siapa pencetusnya pertama kali, siapa yang mendapatkannya pertama kali dan seterusnya sampai pada seseorang yang sedang mempelajarinya. 

Jadi, di Muhammadiyah itu sanad yang diprioritaskan adalah sanad sebuah hadis. Tapi soal sanad keilmuan, Muhammadiyah justru kebalikannya. 

*** 

Ulama dan cendikiawan di Muhammadiyah tidak pernah (jarang) menceritakan soal sanad keilmuannya ketika berceramah atau membahas suatu hal terkait bidang ilmu tertentu sekedar untuk menegaskan keotoritasan keilmuannya. 

Ulama-ulama Muhammadiyah biasanya memberikan penegasan akan otoritas keilmuannya secara tersirat melalui gelar-gelar akademis dan ijazah formal. Ini menandakan bahwa Muhammadiyah punya parameter dan indikator yang jelas dan logis untuk mengakui keilmuan seseorang dan keotoritasannya. 

Penggunaan ijazah dan gelar-gelar akademis tentu menjadi satu penanda bahwa otoritas keilmuannya teruji. Hal ini berlaku untuk semua ilmu agama maupun ilmu umum. Ini karena jenjang akademis memiliki sistem pembelajaran yang lebih terstruktur dari mulai pengenalan awal suatu ilmu hingga ujian akhir untuk menguji apakah orang tersebut benar-benar telah menyerap ilmu tersebut atau belum. 

Salah satu kelemahan dari parameter klaim otoritas keilmuan melalui cerita lisan soal sanad ilmu adalah pembuktian tertulis untuk memverifikasi kebenarannya. 

Di Muhammadiyah, sangat mudah mencari suatu ulama yang punya otoritas keilmuan tertentu. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, siapa saja bisa memverifikasi keilmuan seseorang secara terbuka melalui internet. Juga bisa mengecek darimana ia memperoleh otoritas keilmuan tersebut. 

Oleh karena itu, sanad ilmu sebenarnya ada juga di Muhammadiyah, namun bukan sanad ilmu seperti yang dipahami oleh teman-teman di kelompok lain, melainkan lebih kepada kredibilitas lembaga pemberi otoritas keilmuan tersebut. Jadi tidak akan pernah ditemukan ada da'i Muhammadiyah yang kalau ceramah selalu menyebut : sanad ilmu saya adalah guru A, kemudian ke guru B, lalu ke guru C, dan seterusnya. Kalaupun ada, yang paling sering diangkat adalah soal sanad ilmu Kyai Dahlan yang biasanya dibicarakan untuk mencari ketersambungan "saudara seperguruan" dengan Kyai Hasyim Asy'arie. 

Da'i dan cendikiawan Muhammadiyah lebih elegan ketika menyampaikan soal otoritas keilmuannya. Ia tidak harus menyampaikannya sendiri. Tapi justru dijelaskan oleh orang lain seperti pembawa acara atau moderator di suatu acara/pengajian dengan cara membacakan CV / biodata pribadinya. 

Melalui cara tersebut publik bisa tahu soal otoritas keilmuan orang yang bersangkutan tanpa harus pamer. Atau bisa juga dengan menaruhnya sebagai profil di media sosial maupun di portal-portal institusi, sehingga terbuka jelas dan bisa dibaca oleh semua orang soal "sanad ilmu" sekaligus karya-karyanya tanpa harus menceritakan di tiap kesempatan demi meminta pengakuan publik agar yakin. Demikianlah, langgam yang telah lama mengakar menjadi tradisi baik di Muhammadiyah. 


-----------------------

Referensi : Tanya Jawab Agama, Suara Muhammadiyah, edisi 18 tahun 2016

Share:

0 komentar