AMAL USAHA MUHAMMADIYAH BIDANG POLITIK ; PERLUKAH?

Baca Juga

Kemarin Presiden Jokowi melantik beberapa pejabat baru setingkat menteri dan wakil menteri sisa masa jabatan hingga 2024. Dari kelima pejabat yang dilantik, setidaknya ada dua orang yang dekat, bahkan salah satunya "terang-terangan" mengaku kepada para pewarta yang sedang meliput bahwa dia adalah orang Muhammadiyah, sesaat sebelum memasuki ruang pelantikan. Kedua orang tersebut adalah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dan Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni. 

Kita tahu bawa Zulhas, panggilan singkat Zulkifli Hasan, adalah Ketua Umun PAN dimana PAN adalah partai politik yang lahir di era reformasi hasil dari rekomendasi tanwir Muhammadiyah di Semarang bulan Juni tahun 1998. Secara struktural memang PAN tidak ada sangkut pautnya dengan Muhammadiyah. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa PAN lahir membawa gen Muhammadiyah dan menjadi besar salah satunya karena disokong oleh kader-kader yang banyak diwakafkan oleh Muhammadiyah. Sudah jadi rahasia umum bahwa Ketua Umun PAN sejak berdirinya hingga saat ini selalu merupakan warga maupun simpatisan Muhammadiyah. 

Semakin kesini, kader-kader Muhammadiyah semakin banyak yang berdiaspora ke dunia politik. Raja Juli Antoni, Wakil Menteri ATR / BPN yang baru saja dilantik hari ini merupakan Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sebelumnya ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PSI. Anton, panggilan akrabnya, merupakan bekas Ketua Umum PP Ikatan Remaja Muhammadiyah (kini IPM), salah satu organisasi otonom Muhammadiyah. Selain kedua orang tersebut, masih banyak diaspora-diaspora kader Muhammadiyah yang malang melintang dalam kancah politik Indonesia. Ada yang sukses duduk di pemerintahan maupun dewan, ada juga yang gagal memanfaatkan kesempatan. 

Apakah Muhammadiyah sudah perlu mendirikan Amal Usaha bidang Politik? 

Di beberapa group WhatsApp yang saya ikuti, mencuat wacana tentang pentingnya mendirikan amal usaha Muhammadiyah (AUM) bidang politik. Wacana ini dilatarbelakangi adanya semangat untuk mendorong kader-kader Muhammadiyah potensial untuk terjun dalam dunia politik. Dorongan ini didasarkan atas semangat Muhammadiyah untuk ikut serta membangun politik bersih, professional, dan menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas kebijakannya. 

Selain itu, wacana soal AUM bidang politik ini juga didasarkan pada kenyataan pada pemilu 2014 dan pemilu 2019 banyak kader-kader Muhammadiyah yang gagal melenggang ke parlemen (pusat dan daerah) sebagai legislator maupun senator. Padahal jika semakin banyak kader-kader Muhammadiyah professional terjun ke dunia politik, maka buah pikiran Muhammadiyah tentang politik baik dan bersih bisa mendapatkan tambahan saluran untuk disuarakan dan diimplementasikan dalam tataran peraturan maupun kebijakan. 

Ilustrasi Konsultan Politik (Gambar : Edi Wahyono / Detiknews / Detikcom

Muhammadiyah memang menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik. Muhammadiyah tidak berpolitik secara praksis, namun Muhammadiyah tidak alergi dengan politik. Politik yang dimainkan oleh Muhammadiyah adalah politik adiluhung sebagai bentuk komunikasi kepentingan politiknya. Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui jalan politik maupun pengembangan masyarakat, adalah alat yang mutlak diperlukan untuk membangun nilai-nilai ilahiyah. Keterlibatan kader-kader Muhammadiyah dalam politik praktis di Indonesia didasarkan pada semangat mengarusutamakan politik bersih di Indonesia. 

Namun sayangnya, semangat ini kadang terganjal dengan sulitnya mereka menembus rimba politik di Indonesia yang terkenal ganas dan kejam. Saat banyak warga Muhammadiyah mendukung seseorang untuk maju dalam sebuah kontestasi politik kemudian tiba saatnya dimulai proses politiknya, kandidat yang didorong untuk maju ini banyak yang merasa ditinggalkan oleh Muhammadiyah. 

Hal ini menguatkan dugaan beberapa orang bahwa Muhammadiyah hanya mengantarkan hingga gerbang pencalonan saja. Karena jika Muhammadiyah masuk ke ranah yang lebih dalam, tentu ini melanggar "paugeran" Muhammadiyah yang tidak berpolitik praktis. Adanya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik dalam struktur Muhammadiyah, tidak lantas banyak membantu para kader-kader memenangi kontestasi politik di Indonesia. 

Untuk memenangi suatu kontestasi politik lokal maupun nasional, dibutuhkan banyak hal. Selain amunisi berupa modal (sosial maupun kapital), juga diperlukan tim yang solid dan berpengalaman. Tim ini merupakan think tank dalam merumuskan strategi politik yang akan dijalankan untuk menarik dukungan publik. 

Masalahnya adalah terkadang para kontestan yang notabenenya adalah kader-kader Muhammadiyah, tidak tahu "cara bermain" dalam politik. Kebanyakan mereka adalah kader-kader lurus yang memang mencalonkan diri hanya karena didukung oleh lingkungannya tanpa punya bekal pengetahuan mumpuni tentang bagaimana menembus rimba politik di Indonesia. 

Maka jika ditanya apakah sudah tepat jika kini Muhammadiyah punya suatu unit usaha (lebih dikenal dengan istilah amal usaha) bidang politik untuk membantu kader-kadernya agar sukses dalam menjalani kontestasi politik? Jawabannya adalah Ya, sudah tepat dan kini saatnya. 

Saya membayangkan bahwa AUM bidang politik ini lebih seperti konsultan politik profesional. Kalau dicari role modelnya, maka AUM bidang politik ini seperti PollMark Indonesia nya Eep Saefullah Fattah yang punya rekam jejak yang sukses menghantarkan banyak tokoh memenangkan kontestasi politiknya. Sebut saja Jokowi, Anies Baswedan, dan Ahmad Heryawan adalah sederet nama yang sukses dihantarkan oleh PollMark. Dibawah asuhannya, para tokoh ini menjelma dari 'nothing' menjadi 'something'. 

Jika saja kita punya semacam PollMark di Muhammadiyah, maka ini akan membuka kesempatan lebih lebar bagi kader-kader untuk memenangi konstestasi politik. Bukan tidak mungkin pada Pemilu 2024 atau 2029, akan ada lebih banyak lagi diaspora-diaspora kader Muhammadiyah yang melenggang ke parlemen maupun pemerintahan. 

Kesuksesan para kader ini kelak juga akan menjadi kesuksesan Muhammadiyah, karena akan menjadi saluran politik alternatif yang efektif kepada penguasa. Oleh karenanya, Muhammadiyah perlu mempertimbangkan momentum jelang Muktamar tahun ini, sekaligus momentum persiapan Pemilu 2024 untuk melahirkan AUM baru di bidang politik. 

Jika melihat proses pemilu sebelum-sebelumnya, rasanya sudah cukup kader-kader Muhammadiyah 'menderita' berjuang sendirian dalam menjalani proses politiknya. Jelang 2024, Muhammadiyah harus benar-benar serius melihat bahwa penempatan diaspora kader ke politik bukanlah hal tabu yang akan membuka luka lama. Justru hal ini harus dilihat dari kebermanfaatannya kelak karena mereka-mereka ini adalah ujung tombak dakwah Muhammadiyah di bidang politik. Mereka-mereka ini kelak yang akan memainkan 'jihad politik' Muhammadiyah dari internal pemerintahan. 

Salah satu contoh konkret dari semua cerita diatas adalah ketika saat ini Muhammadiyah keras mengkritisi RUU Sisdiknas yang dianggap cacat sejak proses pembentukannya dengan tidak melibatkan masyarakat. Selain itu banyak isi dalam pasal-pasal RUU ini yang saling bertentangan dengan UU lainnya. Sebagai informasi RUU Sisdiknas ini adalah Omnibus Law Bidang Pendidikan yang menggabungkan beberapa UU terkait pendidikan menjadi satu UU saja. 

Kritik Muhammadiyah melalui Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah merupakan saluran utama yang selama ini menjadi langgam politik Muhammadiyah dengan pemegang kekuasaan. Namun kritik ini sifatnya adalah eksternal dari pembuat kebijakan. Maka untuk menguatkan kritik ini, kader-kader Muhammadiyah yang duduk di parlemen juga ikut angkat bicara sekaligus mencecar pemerintah yang memiliki inisiatif mengajukan RUU ini. Dengan adanya dua saluran aspirasi ini, kritik terhadap RUU ini nyatanya didengar dan direspon oleh presiden yang justru membuat kaget semua pihak dimana Presiden ternyata tidak tahu proses RUU Sisdiknas ini. Sehingga ada semacam penundaan pengajuan di parlemen untuk kemudian digodok lagi oleh pemerintah terkait isinya dengan menyesuaikan aspirasi yang muncul yang salah satunya adalah dari Muhammadiyah. 

Contoh lain adalah pemerintah membuka kran penerimaan guru ASN melalui skema PPPK. Di satu sisi, penerimaan guru PPPK ini memberikan angin segar bagi para guru yang selama ini bekerja sebagai honorer di sekolah negeri maupun guru di sekolah swasta yang selama ini mungkin digaji dibawah UMR. 

Adanya PPPK ini menjadikan guru yang lulus seleksi mendapatkan gaji yang sama dengan PNS sesuai golongan masing-masing dengan konsekuensi guru yang lulus seleksi PPPK harus mengajar di sekolah negeri. Namun di lain pihak ternyata migrasi para guru ini membuat goyang sekolah-sekolah swasta yang tergabung dalam Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI). 

Di sekolah-sekolah Muhammadiyah saja, ada 4.000 an guru yang bermigrasi ke sekolah negeri karena lulus seleksi PPPK. Jumlah ini tentu bukan sedikit karena nyatanya sampai menggoyahkan keberlangsungan proses belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sehingga Muhammadiyah memprotes kebijakan soal penempatan guru PPPK yang harus di sekolah negeri, padahal Muhammadiyah juga tidak sebentar mengkader serta menggembleng mereka. Mereka-mereka yang lulus kebanyakan adalah guru-guru potensial di sekolah. Sehingga Muhammadiyah meminta agar penempatan ini dikembalikan ke sekolah asal (swasta) dan tidak harus di negeri. 

Protes dan usulan dari Muhammadiyah soal hal ini tidak saja disampaikan dalam pertemuan dengan presiden, seperti yang selama ini selalu dilakukan oleh Muhammadiyah untuk berkomunikasi dengan penguasa, melainkan juga melalui jalur politik di parlemen. Kader-kader Muhammadiyah di parlemen menangkap sinyalemen protes ini dan kemudian menyampaikannya saat rapat kerja dengan Kementerian Pendidikan. Protes ini menjadi lebih mengena karena langsung ke pembuat aturannya. 

Inilah salah satu manfaat yang bisa didapat jika Muhammadiyah mampu mendiasporakan kader-kadernya di berbagai lembaga politik dan pemerintahan.

*** 

Proses Pemilu 2024 sudah resmi dimulai minggu lalu oleh KPU. Semua pihak sedang bersiap mengambil ancang-ancang untuk melewati proses panjang ini. Muhammadiyah harus jeli melihat ini. Jangan sampai Muhammadiyah kehilangan momen pesta politik 5 tahunan ini dengan hanya menjadi 'WatchDog' saja. Muhammadiyah harus ambil bagian dalam proses wakaf kader untuk berpolitik tanpa harus melanggar kepribadian Muhammadiyah. 

InshaAllah, trauma masa lalu Muhammadiyah dalam politik sudah cukup menjadi pelajaran berharga agar Muhammadiyah lebih berhati-hati dalam melangkahkan kakinya dalam rimba politik. Hati-hati bukan berarti apati terhadap politik.

Share:

0 komentar