TITIK PISAH PENENTUAN AWAL WAKTU SUBUH ANTARA PROF THOMAS DAN MUHAMMADIYAH

Baca Juga

Prof. Thomas Djamaluddin, ilmuwan BRIN (mantan Kepala LAPAN) beberapa waktu yang lalu menulis di blog pribadinya (serta media sosialnya) soal hasil pengamatan terbarunya mengenai awal waktu subuh. 

Prof. Thomas dan tim dari Kemenag datang ke daerah Timau, NTT untuk pengamatan hilal bulan Muharram 1444 H sekaligus untuk pengamatan fajar subuh di kawasan Observatorium Nasional BRIN disana. 

Menurut Prof. Thomas, Fajar Kadzib sudah muncul ketika matahari berada di posisi -30⁰ ditandai dengan cahaya yang makin terang secara perlahan. Prof. Thomas dan timnya menggunakan alat Sky Quality Meter (SQM) untuk mengukur penampakan fajar ini. Untuk Fajar Sadiq sebagai penanda awal waktu subuh, ia menjelaskan bahwa itu muncul ketika matahari berada di ketinggian -20⁰. Dan hal ini menurutnya mengonfirmasi bahwa jadwal waktu subuh versi Kementerian Agama sudah benar dengan menerapkan ketinggian -20⁰ sebagai awal waktu subuh. 

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Di tulisannya yang lain, ia juga meyakinkan bahwa awal waktu subuh sudah tepat di ketinggian matahari -20⁰ dengan mendasarkan dari data yang dikumpulkan oleh seorang mahasiswa doktoral di UIN Semarang yang ia bimbing. Data yang dikumpulkannya di Banyuwangi berkesimpulan bahwa awal waktu fajar berada di -20⁰. Prof. Thomas juga menyitir data dari Kementerian Agama yang melakukan pengamatan fajar di Labuan Bajo dengan kesimpulan yang sama. 

Lalu dimanakan titik pisah antara penjelasan Prof. Thomas ini dengan apa yang telah diputuskan oleh Muhammadiyah untuk memundurkan waktu subuh menjadi -18⁰? 

Muhammadiyah memutuskan mengubah awal waktu subuh ini melalui forum bernama Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-31 yang diselenggarakan di Gresik, Jawa Timur dengan mengundang para pakar astronomi dan lembaga astronomi di lingkungan Muhammadiyah, serta pakar-pakar di bidang fikih. 

Lembaga-lembaga astronomi Muhammadiyah seperti OIF UMSU, ISRN UHAMKA, dan PASTRON UAD menyajikan data hasil pengamatannya di berbagai daerah. Tidak hanya di satu atau dia tempat saja. Bahkan salah satu astronom Muhammadiyah menyebutkan bahwa ia telah keliling di hampir 10 semua pulau-pulau besar di Indonesia guna mengamati kemuncul awal waktu subuh. 

Para pakar dan lembaga menjelaskan bahwa berdasarkan hasil temuan mereka, kemunculan awal waktu subuh sebenarnya berbeda-beda setiap harinya. Misal, dalam 100 hari pengamatan, fajar sadiq kadang muncul di ketinggian matahari -13⁰ selama beberapa hari. Kemudian beberapa hari selanjutnya muncul ketika ketinggian matahari -17⁰, lalu kadang muncul di ketinggian -18⁰ selama sekian hari, serta pernah juga muncul ketika ketinggian matahari berada di -19⁰. 

Perbedaan ketinggian munculnya awal waktu subuh ini lantas dibahas secara mendalam dalam forum Munas Tarjih dengan melibatkan para pakar fikih di lingkup Muhammadiyah. Ada perdebatan dan diskusi menyoal berapa derajat sebenarnya yang harus diputuskan sebagai standar waktu subuh berdasarkan data-data hasil temuan ketiga lembaga astronomi ini. 

Dengan mendasari pada berbagai pertimbangan (fikih, sains, sosial, kemasyarakatan), maka diputuskanlah angka -18⁰ sebagai ketinggian awal waktu subuh. 

Disinilah letak perbedaan antara Muhammadiyah dengan Prof. Thomas. 

Yang pertama, hasil temuan Prof. Thomas (dan Kemenag) selalu konstan di ketinggian -20⁰. Walaupun dilakukan di tempat dan waktu yang berbeda, hasilnya selalu disimpulkan sama. Sedangkan tim pakar dari Muhammadiyah menemukan bahwa kemunculan fajar sadiq selalu berubah-ubah. Terkadang sangat tinggi di angka -13⁰, kadang juga di angka -19⁰. Lokasi pengamatan tim pakar Muhammadiyah tersebar di berbagai kota dan pulau di Indonesia. Bahkan tim pakar Muhammadiyah juga ada yang mengambil data di lokasi yang sama dengan Kemenag dan mahasiswanya Prof. Thomas, yaitu di Labuan Bajo, serta di Banyuwangi.

Kedua, waktu pengamatan. Di tulisan yang dibagikan oleh Prof. Thomas, beliau menyebut beberapa sumber dan waktu pengambilan data. Kalau boleh disimpulkan, sumber-sumber data yang dijelaskan oleh Prof. Thomas waktu pengambilan datanya relatif singkat. Tidak sampai puluhan hari. Sedangkan tim pakar Muhammadiyah, mengumpulkan data waktu subuh ini hingga berpuluhari lamanya. Sehingga ketika dipaparkan, data-data temuan tim pakar Muhammadiyah menyebutkan bahwa dalam sekian puluh hari pengamatan, terjadi perbedaan waktu kemunculan fajar sadiq, dan ini juga terkonfirmasi oleh pakar lain yang juga mengamati di tempat lain. 

Yang ketiga, dalam memutuskan kapan awal waktu subuh, Muhammadiyah melibatkan banyak pakar dari berbagai bidang ilmu, seperti falak, fikih, hadits, sosiologi, dan sebagainya sehingga pertimbangan yang diambil lebih komprehensif. Misal, dari sekian banyak fakta bahwa awal waktu subuh berbeda-beda setiap harinya, maka Muhammadiyah mengambil pertimbangan psikologis masyarakat, sosial kemasyarakatan, serta keagamaan, bahwa awal waktu subuh berubahnya hanya mundur 8 menit saja. 

Padahal bisa saja Muhammadiyah memutuskan mundur lebih lama lagi, hingga misal 28 menit (-13⁰), karena memang faktanya ada ditemukan awal subuh yang muncul ketika ketinggian matahari mencapai angka segitu. Namun dengan pertimbangan lain, seperti gejolak yang mungkin saja akan terjadi di masyarakat jika perubahan waktu subuh ini terlalu jauh perbedaannya (dari -20⁰ mundur menjadi -13⁰, kira-kira mundur hingga 28 menit dari jadwal salat versi Kemenag). Oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan non sains juga dipakai dalam memutuskan terkait hal ini. 

Ketiga hal inilah yang menjadi letak perbedaan antara apa yang dikemukakan oleh Prof. Thomas dari BRIN dengan Muhammadiyah walau menggunakan alat dan metode yang sama namun hasil yang diperoleh berbeda. 

Walaupun keputusan merubah awal waktu subuh ini banyak dikritik dan dicecar oleh banyak orang, Muhammadiyah tetap bergeming dengan keputusan yang sudah diambil dalam forum Munas Tarjih ke-31 ini. Keputusan ini adalah keputusan bersama para pakar dan ulama Muhammadiyah dan sudah sesuai dengan proses pengambilan keputusan di dalam forum tarjih sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, sebagai warga Muhammadiyah, tidak perlu ragu untuk mengikuti keputusan ini karena keputusan ini diambil bukan dengan alasan subyektif, tapi seilmiah, seobyektif, dan seprosedural mungkin sehingga benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.

Share:

0 komentar