PERGESERAN MAKNA PUNJUNGAN
Baca Juga
Sore itu, langit kelabu menggantung di atas kampung. Aman, teman lama saya, menyambar duduk di teras sembari menyeruput kopi. Sudah lama kami tak bertemu, obrolan pun mengalur dari kabar keluarga hingga rencananya ikut Pilkades.
Aman:“Ndi, gimana kira-kira peluangku kalau nyalon jadi Kades?”
Saya:“Ya ada, asal niatnya bener. Mau ngabdi atau cari kaya?”
Aman:“Ah, masa iya aku korupsi? Aku cuma mau perbaiki jalan rusak itu saja. Tapi…” Matanya tiba-tiba mengerut. “Yang bikin berat itu punjungan. Kamu tau sendiri kan, jadi Kades tiap hari kayak mesin ATM kondangan.”
Saya cekikikan. “Lah, kan enak? Nggak perlu masak, tinggal bungkus nasi punjungan!”
Aman:“Gila! Dapat punjungan berarti harus nyumbang minimal 40 ribu. Kalau sehari tiga undangan? Itu 120 ribu ilang dalam sekejap. Gajiku bisa ludes cuma buat bantu tetangga hajatan!”
Angin sore berhembus membawa suara adzan Maghrib. Tapi pikiran saya masih tersangkut di satu kata: punjungan. Tradisi yang mestinya bikin senang, justru jadi beban. Bukan cuma buat Kades, tapi juga warga biasa. Apalagi pas bulan Syawal atau Zulhijjah, undangan berdatangan bak hujan.
“Niat mau ngabdi, malah terpaksa korupsi gara-gara kewalahan bayar kondangan,” keluhnya tadi terus terngiang.
Barangkali, inilah momok tak terucap di balik jabatan “orang penting” desa: tradisi yang menggerus niat tulus.
***
Dalam tradisi masyarakat Jawa, menghormati orang tua, sesepuh, orang yang dituakan, maupun tokoh masyarakat adalah budaya yang sangat dijunjung tinggi dimanapun mereka berada. Bentuk penghormatan ini ada berbagai macam, mulai dari pemakaian Bahasa berupa boso alus, kromo inggil, hingga posisi badan Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Selain itu, bentuk penghormatan tersebut juga diwujudkan melalui pengiriman makanan yang dikenal dengan istilah “punjungan”.
![]() |
Ilustrasi Punjungan (Foto : Blog Yuli Arfan) |
Punjungan adalah bentuk penghormatan kepada saudara, orangtua, orang yang dituakan, tokoh masyarakat, sesepuh desa maupun kerabat lainnya yang dimaksudkan untuk memohon izin dan mohon doa restu untuk suatu hajat dari si empunya punjungan. Selain itu, punjungan juga diberikan Ketika menjelang bulan puasa ataupun lebaran. Hal ini dilakukan agar hajat yang dimiliki bisa terlaksana dengan lancar karena adanya dukungan dari orang-orang yang diberi punjungan tersebut. Punjungan diadakan pada hari-hari tertentu saja, seperti pada saat praresepsi baik syukuran pernikahan maupun khitanan, kemudian pada hari tertentu yang dipercaya sebagai hari bahagia. Sehingga dengan punjungan tersebut dapat bermakna sebagai penghormatan, rasa syukur, rasa bahagia, rasa terima kasih bahkan berupa undangan.
Di masa lalu, punjungan biasa dikirimkan menggunakan rantang (gantang) yang berisikan nasi di paling bawah, lalu lauk pauk diatasnya, kemudian, sayuran / buah di atasnya lagi, serta kerupuk / kue di paling atas. Namun kebiasaan penggunaan rantang ini juga tidak menjadi pakem yang harus diikuti terus karena pada prakteknya di beberapa tempat punjungan dikirimkan menggunakan tempat yang terbuat dari bambu (rinjing) atau besek (istilah untuk di beberapa tempat). Walaupun berbeda, namun konsepnya isinya tetap sama karena soal isi, ini sudah menjadi semacam aturan baku tak tertulis.
Seiring perubahan zaman, punjungan mengalami pergeseran makna dan tujuan. Punjungan kini dimaksudkan sebagai pengganti undangan sekaligus menaikkan daya tawar sumbangan. Dalam tradisi hajatan, orang yang diundang biasanya akan memberikan sumbangan berupa uang atau hadiah kepada si pemilik hajat. Besaran uang sumbangan ini seharusnya didasarkan pada kedekatan serta kemampuan ekonomi masing-masing. Namun dengan adanya punjungan, maka orang seperti “dipaksa” untuk memberikan nominal yang lebih besar dibanding nominal jika diundang dengan undangan kertas biasa.
Disini Nampak bahwa motif ekonomi mulai menjadi alasan mengapa masyarakat kini banyak yang memberikan porsi lebih banyak ke undangan berupa punjungan dibanding yang berupa undangan biasa. Harapannya bahwa si pemilik hajat akan meraup untung dengan sumbangan yang lebih banyak.
Sebagai gambaran misalkan di beberapa desa transmigran jawa. Untuk uang sumbangan yang diundang menggunakan undangan kertas, maka besarannya antara 20 – 25 ribu rupiah. Sedangkan untuk yang diundang menggunakan punjungan, maka paling sedikit 40 ribu rupiah. Selain memberikan economic pressure berupa beda besaran nominal, punjungan juga memberikan psychological pressure berupa rasa malu. Rasa malu disini terjadi jika orang yang dipunjung hanya memberikan nominal sumbangan dibawah standar keumuman (ini terjadi karena amplop yang dimasukkan ke dalam kotak ditulis nama orang yang memberi) atau jika orang yang dipunjung tidak hadir. Ada semacam rasa malu yang mendera masyarakat jika melakukan salah satu dari dua hal tersebut. Alhasil wajar saja jika saat ini orang akan banyak menggerutu jika menerima banyak punjungan di rumahnya. Masyarakat tidak lagi melihat bahwa punjungan adalah bentuk penghormatan, melainkan sudah menjadi alat ekonomi untuk mendapatkan banyak uang sumbangan. Bagi mereka yang memiliki kecukupan materi, tentu ini tidak masalah, namun bagi masyarakat yang memiliki kemampuan pas-pasan, perihal punjungan ini bisa menjadi momok dalam rumah tangga.
***
Menjalani hidup berpindah-pindah di berbagai tempat yang berbeda, memberikan banyak perspektif bagi saya dalam fenomena ini. Tradisi punjungan ini hidup subur di tengah masyarakat Jawa yang sifatnya komunal baik yang memang masih berada di pulau Jawa maupun yang sudah berpindah tempat di lain kota/pulau.
Tradisi punjungan terus dilakukan oleh masyarakat Jawa dimanapun mereka berada. Kita bisa menemukan tradisi punjungan ini masih di praktekkan di desa-desa transmigrant di daerah Lampung, Bengkulu, serta Kalimantan. Namun ternyata, tradisi ini tidak selamanya melekat dan dipraktekkan oleh masyarakat Jawa yang hidup di kota-kota sebagai masyarakat urban seperti di Jakarta, Bandar Lampung, Kota Bengkulu dan sebagainya. Masyarakat jawa yang hidup di perkotaan sudah beralih mengikuti tradisi mengirim undangan dengan cukup memberikan undangan kertas atau mengundangnya melalui undangan digital.
Sehingga, jika ada keinginan untuk menghilangkan tradisi punjungan, ini merupakan niatan yang salah walaupun pada prakteknya saat ini, punjungan menjadi beban bagi masyarakat di tengah sulitnya kondisi ekonomi. Yang sebenarnya harus dirubah itu adalah pemaknaan punjungan sebagai motif ekonomi. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama sebagai grassroot influencer harus mengambil peran untuk mengembalikan makna sesungguhnya dari punjungan. Punjungan adalah tradisi baik dari bangsa kita. Namun tradisi ini perlu diberi perhatian agar implementasinya tidak serampangan yang pada akhirnya menciptakan masalah baru di masyarakat.
0 comments