DUKA WARGA REPUBLIK CENDOL DAWET
Baca Juga
Pagi ini, di
tengah berita-berita tentang Corona yang belum juga jinak, menyembul berita
yang tak perlu menunggu lama untuk menjadi headline dan mendominasi media
sosial hari ini. Republik Cendol Dawet berduka. Sang maestro, Didi Kempot,
berpulang ke haribaan Illahi. ia ditemukan tidak sadar di rumahnya dan langsung
dibawa ke RS. Namun karena sudah waktunya kembali, Allah memanggilnya pulang.
Meninggalnya Didi
Kempot ini bak syair-syair yang ada di lagunya. Dalam tulisan saya tahun
lalu, kabar meninggalnya Didi Kempot ini seperti Kelangan pas lagi
sayang-sayangnya. Sangat mendadak. Tidak ada pemberitaan sebelumnya yang mengabarkan
apakah ia sedang sakit atau sehat. Hampir semua media dalam 3 bulan terakhir mungkin
terlalu fokus dengan pemberitaan soal Corona, hingga lupa mengabarkan soal kabar
“Keroncongers Sejuta Umat” ini.
Didi Kempot
mungkin menjadi satu-satunya penyanyi lagu keroncong [yang bait-baitnya
menggunakan Bahasa jawa] yang bisa membuat semua orang bergoyang dan bernyanyi bersama
walau mereka tak memiliki latarbelakang kesukuan Jawa. Lagu-lagu hits
nya senantiasa berhasil membuat semua orang kompak bernyanyi walau entah mereka
ngerti atau tidak dengan maknanya. Yang penting bisa kompak tak
kintang kintang, tak kintang kintang………
Tiap bait syair
yang ditulisnya, selalu dipenuhi makna dan cerita. Ia menyimpulkan bahwa
bait-bait lagu ciptaannya mengarah pada sebuah antitesa : Patah hati bukan
untuk ditangisi, tapi dijogeti.
Corona memang membawa
masalah, namun ia juga membawa hikmah. Di penutup usianya yang terbilang masih
cukup muda, 53 tahun, ia masih sempat berbuat kebaikan yang berdampak luas bagi
masyarakat di tengah situasi wabah seperti saat ini. Belum hilang ingatan kita,
beberapa minggu yang lalu, ia menggelar konser dari rumah penggalangan dana
untuk korban Corona. Jika tak salah, ia berhasil mengumpulkan lebih dari 4
milyar hanya dalam kurun waktu 2 jam saja. Bisa jadi, ini penggalangan dana
terbesar dengan waktu tercepat yang dilakukan dari rumah.
Bulan lalu, Yuval
Noah Harari mendadak viral karena tulisannya tentang The World After
Coronavirus, ia menceritakan bagaimana dunia akan berubah total karena
virus ini. Rasanya tulisan dia walau tidak menyebut soal Didi Kempot, namun
juga berimbas pada kita. Sayangnya Noah Harari tidak kenal Didi Kempot sebelumnya
atau jadi #SobatAmbyar cabang Rusia, kl kenal bisa jadi ia akan menulis juga
tentang Indonesia After Didi Kempot. Indonesia juga akan berubah setelah
corona ini. Bukan, bukan karena virusnya, melainkan karena ketiadaan sang bapak
patah hati nasional. Tidak akan adalagi konser yang bisa mendatangkan ribuan
orang dengan latarbelakang kesukuan yang berbeda, namun bisa larut dalam kekompakan
gerak dan cendol dawet lima ngatusan. [Mungkin] Tidak akan adalagi yang
menjadi magnet anak muda untuk menyukai lagi keroncong dangdut hingga sebegitu Die
Hard nya. Juga tidak adalagi konser bapak-bapak yang sampai bisa membuat
anak muda nangis ketika menyanyikannya.
Didi Kempot ini
adalah sebuah anomali. Ia jawa, umurnya sudah 50 tahunan, musiknya keroncong
dangdut, wardrobe yang ia pakai juga sering beradat Jawa, lirik lagunya
berbahasa Jawa, namun penggemarnya hampir ada di sebuah daerah. Bait-baitnya
sangat magis yang seolah mampu menghipnotis ribuan penggemarnya untuk melupakan
yang namanya “gengsi” untuk menyukai musik lokal.
Mas Didi, sugeng
tindak. Lagu-lagumu akan selalu dikenang di segenap #SobatAmbyar seluruh
dunia. Maturnuwun sudah menciptakan lagu-lagu terbaik yang menemani jatuh
bangunnya kisah cinta saya. Semoga tenang disisi-Nya !
Tags:
SeloSeloan
0 comments