TAKZIYAH ‘LITERASI’ MUHAMMADIYAH
Baca Juga
Dalam 3 bulan ini,
2 orang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah wafat. Keduanya merupakan tokoh-tokoh
Muhammadiyah yang ahli di bidangnya. Prof Bahtiar Effendi merupakan begawan politik UIN Jakarta, sedangkan
Prof Yunahar Ilyas adalah Begawan ilmu
tafsir quran dan hadits dari UM Yogyakarta. Keduanya adalah orang-orang terbaik
dibidangnya. Pergaulannya yang luas dan lintas bidang, membuatnya banyak disegani,
dikagumi, dan diidolakan, bahkan oleh yang bukan kader Muhammadiyah sekalipun. Salah
satu buktinya bisa kita ketemukan dalam berbagai tulisan dan artikel yang
bersliweran pasca wafatnya kedua tokoh tersebut.
Saat kedua tokoh
tersebut wafat, berbagai tulisan dan artikel sliweran di berbagai group WhatsApp. Ada yang sudah dipublikasikan
melalui portal-portal online, maupun publikasi mandiri mengandalkan fitur broadcast WhatsApp. Dari semua tulisan
tersebut, saya menarik benang merah kuat, yaitu kesan mendalam akan kebaikan
yang telah dilakukan oleh kedua tokoh tersebut. Ada penulis yang memang
berinteraksi langsung dengan beliau, ada juga yang hanya mengenalnya melalui
karya-karyanya. Semua itu tidak menjadikan halangan para kader terus menulis
dan mengabadikan kebaikan-kebaikan mereka. Bahkan, saat tanah kuburan belumlah
kering, banyak kader dan tokoh Muhammadiyah lain yang sudah sepakat bertakziyah
dengan membuatkan buku bagi kedua tokoh tersebut. Inilah salah satu hal baik
yang jarang ditemukan dalam gerakan lain.
Di Muhammadiyah,
tradisi berliterasi sudah tertanam dan menjadi salah satu langgam gerakan sejak awal berdirinya. Di saat organisasi/gerakan
lain di zamannya belum begitu populer dengan majalah/bulletin, Muhammadiyah
sudah menerbitkan Suara Muhammadiyah sebagai “portal informasi” di tahun 1915
(beberapa sumber mengatakan bahkan SM terbit tahun 1914, namun belum ditemukan
bukti fisiknya. Yang ada adalah SM edisi tahun 1915) dan masih eksis hingga
hari ini. Kemudian ada juga buku biografi Kiai Dahlan yang ditulis oleh Kiai
Sudjak yang menjadi salah satu rujukan / sumber primer tentang informasi
seputar sepak terjang Kiai Dahlan di masa-masa awal gerakan ini serta bagaimana
pemikiran-pemikirannya yang sudah nampak sangat “avant garde / melampaui zamannya”. Sejak di masa-masa awal,
Muhammadiyah bahkan sudah menseriusi soal literasi ini dengan mendirikan
Bahagian Poestaka dalam struktur Hofd Bestuur Moehammadijah di tahun 1919. Fungsi
struktur ini salah satunya adalah menerbitkan buku-buku karya pengurus
Muhammadiyah. Tradisi inilah yang ternyata masih berkembang hingga saat ini dan
menjadi tradisi baik yang harus ditularkan.
Takziyah Literasi
Bagi saya,
takziyah di Muhammadiyah itu tidak sekedar hadir di rumah duka. Lebih dari itu,
takziyah dimaknai sebagai bentuk penghormatan sekaligus mendoakan kepada orang
yang telah wafat. Selain itu, takziyah dipahami juga sebagai momen untuk mengenang
hal-hal baik dari orang yang ditakziyahi, bisa dari kebiasaannya,
kesehariannya, hingga karya dan pemikirannya. Tapi di Muhammadiyah ini tidak
berhenti hanya dikenang saja, melainkan juga diabadikan dan dibagikan melalui
buku. Tradisi takziyah melalui gerakan literasi atau takziyah literasi ini tidak
berhenti hanya untuk kadernya saja, tapi juga bagi tokoh-tokoh dari ormas lain.
Satu diantaranya adalah KH. Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU.
Bagi Muhammadiyah,
tradisi ini menjadi penting karena bisa menjadi catatan sejarah abadi bagi
generasi mendatang. Setiap tokoh memiliki kelebihan pemikiran dan karyanya
sendiri yang bisa jadi tidak semua orang tau. Sehingga melalui takziyah
literasi ini harapannya bisa menjadi pelajaran dan bahan ajar yang penting tentang
hal-hal baik dan pemikiran tokoh yang diziarahi tersebut bagi generasi yang
akan datang.
Di saat Indonesia
menghadapi ancaman budaya literasi yang semakin anjlok, Muhammadiyah berusaha konsisten dalam dakwah melalui jalur
literasi, yang salah satunya adalah gerakan takziyah literasi. Ketika gerakan
lain beramai-ramai terseret oleh ombak politik dan melupakan tradisi
kecendikiawannya, tradisi literasi terus berusaha dipupuk dan dikembangkan di
Muhammadiyah walaupun tidak mudah. Namun, sekecil apapun nyala gerakan ini,
sebagai kader kita wajib menjaga nyala apinya, bahkan membesarkannya jika
mampu.
***
Kita beruntung
hidup di era dimana portal-portal online banyak berteberan di internet. Bahkan,
kita sendiripun bisa membuat portal online kita sendiri. Ini seharusnya
menjadikan tradisi literasi kita jauh lebih berkembang. Apalagi dalam urusan
mencari informasi, kita sangat dimanjakan dengan adanya ponsel pintar yang
mampu menyelami internet mencari informasi yang kita mau dalam hitungan detik. Sudah
seyogyanya kita mencontoh dan mengembangkan tradisi literasi yang sudah menjadi
langgam gerakan kita ini. Para begawan
kita sudah mencontohkannya dengan tradisi takziyah literasi. Kedepan kita yang
muda seharusnya lebih inovatif dalam urusan ini. Semoga saja !
Tags:
Persyarikatan
2 comments
Terima kasih inspirasinya mas
BalasHapusSama-sama mas. Salam literasi
Hapus