DISEMINASI FATWA TARJIH, KOMPETISI DAKWAH, DAN INTERNET MARKETING
Baca Juga
Semalam saya tidak
sengaja membaca tulisan (baca disini) mas Niki Alma, Ketua Pusat Tarjih Muhammadiyah UAD di
salah satu group Facebook Muhammadiyah. Walaupun agak telat membacanya (artikel ditulis di bulan September 2019),
rasanya isunya masih relevan hingga saat ini. Sayapun tertarik untuk menanggapi
artikel tersebut walau mungkin bobotnya kalah berisi dengan tulisan beliau. Tapi
saya berusaha agar tulisan ini bisa relevan dengan tema yang beliau ambil.
Di tulisan mas
Niki disebut bahwa salah satu alasan mengapa banyak warga Muhammadiyah yang ‘berpaling’
ke paham salafi adalah karena mudahnya mencari informasi soal fatwa suatu hukum
melalui laman Google. Misal saja,
fatwa tentang mengazankan bayi yang baru lahir (tanpa menambahkan embel-embel kata 'tarjih' di belakangnya). Maka di laman pertama (para
pegiat internet biasanya menyebutnya Page
One Google) hasil pencarian, yang muncul mayoritas dari portal-portal
informasi milik kelompok salafi. Ada satu juga dari NU, itupun bukan yang
teratas. Lalu dimanakah portal tentang pandangan Muhammadiyah soal azan bayi
baru lahir ini? Letaknya ada di laman ketiga (Page Three) baris ketiga dari bawah. Padahal fatwa ini jauh lebih
dulu dikeluarkan dibanding fatwa-fatwa salafi, yaitu sejak sebelum tahun 1999
dan dimuat pertama kali di majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 12 tahun
1999. Tapi nyatanya di era internet, fatwa Muhammadiyah kalah populer dibanding
fatwa-fatwa salafi.
Selain itu, ada
persoalan lain yang ternyata juga menyebabkan pandangan-pandangan Muhammadiyah
dalam urusan fatwa kalah populer dengan salafi, yaitu jumlah portal onlinenya /
web. Dari yang saya sebutkan sebelumnya, laman satu hasil pencarian dipenuhi
tidak hanya oleh satu portal salafi saja, melainkan beberapa. Bahkan di laman
kedua dan ketiga, berbagai portal salafi masih ‘mengepung’ portal fatwa
Muhammadiyah. Situasi ini membuat kita terperengah dimana sebenarnya
Muhammadiyah memiliki ratusan portal informasi online, baik itu yang di structural
maupun portal-portal lepas yang dikelola secara mandiri oleh para kader. Dalam suasana
kompetisi dakwah melalui internet ini, Muhammadiyah perlu instrospeksi dan
mengkonsolidasikan potensi-potensi internal untuk memenangkan wacana terkait
fatwa di internet ini.
Muhammadiyah dan Kompetisi Dakwah Maya
Kita semua mafhum
bahwa Muhammadiyah untuk urusan marketing internet jauh tertinggal dari
kelompok lain. Kita terlalu percaya bahwa era media cetak masih akan bertahan
beberapa waktu kedepan, tapi nyatanya tidak. Selama ini diseminasi fatwa tarjih
hanya mengandalkan majalah suara Muhammadiyah, seperti yang disebut dalam
tulisan mas Niki, dan baru beberapa tahun terakhir portal online SM mulai gencar
memuatnya juga. Walaupun sekarang Majelis Tarjih sudah memiliki portal online,
namun nyatanya itu belum mampu menggapai awareness
warganet. Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, ternyata ada beberapa hal
lain yang menyebabkan Muhammadiyah belum berhasil (jika tidak mau dikatakan
gagal) memenangi kompetisi cyber ini.
Pertama disebabkan karena ‘kurang menariknya’ pengemasan artikel
dalam fatwa. Jika dibaca-baca, hampir semua fatwa tarjih format penulisannya
sama. Ada pertanyaan, lalu dijawab secara runtut dengan dasar ayat Alquran dan
hadis maupun pendapat ulama-ulama. Gaya penulisan ini terkesan kaku dan tidak
interaktif dengan pembaca (Reader
friendly). Mungkin gaya seperti cocok untuk masa lalu. Di era internet
seperti saat ini, gaya penulisan semacam ini harus dirubah. Perlu ada semacam
narasi dengan fenomena saat ini. Ada keterkaitan antara topik yang dibahas,
dasar hukum fatwanya, hingga pengaplikasiannya serta contohnya di masa
sekarang. Misalnya fatwa tentang aqiqah. Dulu mungkin saja aqiqah bisa
dilaksanakan di rumah, namun saat ini perlu juga disinggung bagaimana dengan
fenomena aqiqah yang dilaksanakan oleh semacam agensi atau jasa aqiqah yang marak di kota-kota besar. Contoh-contoh
seperti ini sangat relevan dan menarik pembaca.
Kedua, kita sama-sama tahu bahwa minat baca (populer dengan
istilah tingkat literasi) masyarakat kita sangat rendah. Bahkan dalam suatu
pemeringkatan, masyarakat kita jauh tertinggal dan berada di baris bawah. Kita tidak
terbiasa membaca artikel yang panjang-panjang. Warganet lebih senang mencari
sebuah informasi melalui potongan-potongan artikel, meme, ilustrasi, maupun video-video pendek. Di Muhammadiyah,
tradisi ini ternyata belum banyak yang menggeluti. Padahal, media-media seperti
meme ini mudah dipahami dan mudah
viral. Coba bandingkan dengan artikel-artikel di web kalau di bagikan melalui
media sosial atau aplikasi perpesanan, jarang yang membaca. Dulu, pernah ada
cabang yang rajin membuat dakwah melalui meme
ini sebagai ikhtiar untuk mendesiminasikan fatwa tarjih. Ini cukup sukses
selama beberapa bulan. Meme nya viral
kemana-mana. Namun entah karena alasan apa, dakwah meme ini berhenti. Padahal meme
adalah salah satu media yang bisa dijadikan alat untuk mendiseminasikan
fatwa-fatwa tarjih Muhammadiyah.
Ketiga. Muhammadiyah belum serius memberdayakan para pegiat internet marketing dari kalangan kader. Mereka
masih bergerak secara diaspora dan tidak terkoordinasi dengan baik. Padahal
dalam usaha memenangkan kompetisi narasi di internet ini, para internet marketer ini adalah garda
terdepan. Selain itu nyatanya kita kadang masih salah kaprah membedakan internet marketer dengan ahli IT. Ilmu mereka
ini sebenarnya satu rumpun, tapi memiliki kecabangan khusus. Ibaratnya begini,
ahli-ahli IT itu jago membuat desain website yang bagus, memiliki database
besar dan memiliki loading speed yang
tinggi. Nah ahli internet marketing itu adalah membuat setiap artikel yang ada
di web tersebut bisa terindex page one
dalam pencarian google. Mereka ini ahli meriset kata kunci populer, SEO (Search Engine Optimization), dan membuat
backlink agar peringkat web nya bisa
tinggi. Di Muhammadiyah ada banyak kader dan simpatisan yang ahli di bidang
internet marketing. Tapi sayangnya potensi ini belum dilirik dan dimaksimalkan.
Padahal jika saja kemampuan internet marketing mereka dimaksimalkan untuk
mendesiminasikan fatwa-fatwa tarjih, maka kita tidak akan kalah dalam kompetisi
ini.
Keempat, tidak maksimalnya digitalisasi fatwa dan kajian-kajian
di Muhammadiyah. Bulan lalu saya sempat chating dengan salah satu awak tim cyber dakwah Muhammadiyah. Waktu itu
secara tidak sengaja disebutlah fiqih tenaga kerja yang diputuskan saat munas
Tarjih tahun 1995. Hal ini secara tidak sengaja kesebut gara-gara saya
menyebutkan bahwa kami di Muhammadiyah Taiwan ingin merumuskan fikih
ketenagakerjaan yang erat kaitannya dengan berbagai persoalan yang terjadi
disini. Dan ternyata Muhammadiyah sudah memilikinya sejak 25 tahun yang lalu. Sayangnya
hingga saat ini, putusan tersebut tidak terdiseminasi dengan baik hingga ke tingkat akar rumput, apalagi
terdigitalisasi. Selain itu, kita masih kurang massif berdakwah melalui konten
video. Selama ini yang banyak muncul di Youtube jika mencari dengan kata kunci
Pengajian Muhammadiyah, adalah rekaman pengajian umum yang berjam-jam
durasinya. Padahal, para peselancar youtube tidak akan menonton video hingga
selama itu. Jika kita perhatikan, banyak sekali potongan-potongan video ceramah
dari paham salafi yang membombardir youtube. Bahkan tak ayal selalu memenuhi
halaman pertama pencarian. Hal ini yang mesti menjadi perhatian juga bahwa
diseminasi fatwa tarjih harus juga bisa memasuki ruang-ruang audio visual maya
dengan berbagai kreatifitas. Misal saja dunia kartun. Dakwah melalui video
animasi seperti Nusa dan Rara contohnya. Dalam waktu singkat mampu menyedot
perhatian orang banyak yang walaupun berkarakter anak-anak, namun banyak juga
orang dewasa yang menontonnya. Andai saja Muhammadiyah mampu menerjemahkan
semangat diseminasi fatwa tarjih dalam kreatifitas semacam ini, maka saya yakin
kita tidak saja mampu menjaga ideologi warga kita, malahan bisa jadi
menyebarkannya kepada non kader.
***
Kemajuan teknologi
internet adalah sebuah keniscayaan yang kita hadapi saat ini. Muhammadiyah
sebagai sebuah organisasi Islam sudah mampu melewati 100 tahun pertamanya
dengan apik. Namun memasuki abad
kedua ini, Muhammadiyah tentu tak boleh jumawa
dengan ‘kesenioran’ ini. Muhammadiyah harus mampu segera beradaptasi dengan
perubahan-perubahan gaya dakwahnya. Kita tidak boleh melihat internet ini hanya
sebagai ancaman, tapi harus melihatnya sebagai sebuah potensi besar. Di era
awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan melihat pendidikan modern adalah
sebuah peluang untuk mendakwahkan islam, ketika kelompok lain hanya melihat
bahwa pendidikan modern sebagai sebuah “kekafiran” karena meniru bangsa barat.
Kini, setelah 100 tahun dari era tersebut, saatnya kita juga meniru semangat
Kiai Dahlan tersebut dengan memandang internet sebagai sebuah wahana dakwah
menjanjikan.
Menutup tulisan ini, saya ingin menyarankan
beberapa hal (teknis) dari apa yang sudah saya sampaikan di atas. Yang pertama
adalah rangkul para internet marketer Muhammadiyah dan beri mereka ruang
seluas-luasnya serta dukungan yang nyata. Tak perlu melembagakan mereka, karena
itu hanya akan membuatnya terlalu birokratik. Yang kedua adalah kurangi
pelatihan-pelatihan dan perbanyak magang. Kader-kader potensial di bidang
dakwah maya ini hendaknya jangan kebanyakan diberi pelatihan namun minim
magang. Beri mereka kesempatan untuk magang ke para influencer kondang dan content
creator. Ketiga, tingkatkan kualitas portal dan konten tentang fatwa-fatwa
Muhammadiyah, bukan hanya kuantitasnya saja. Lebih baik hanya punya 10 website
tapi masuk ranking top 100 Alexa Indonesia, daripada punya 400 tapi tidak ada
yang muncul di mesin pencari. Terakhir, perlu ada kerjasama yang baik antara
pembuat fatwa dengan pemasar fatwa agar tujuan kompetisi dakwah maya ini bisa
tercapai.
Tags:
Persyarikatan
0 comments