‘MENGANDANGKAN’ MAHASISWA

Baca Juga

Aktivis mahasiswa yang sesungguhnya itu menulis opininya di media massa, bukan di media sosial. Aktivis yang sebenarnya itu memberikan solusi praktis, bukan malah menjadi oportunis
Peristiwa reformasi 1998 menjadi penanda kembalinya militer ke barak setelah lebih dari 40 tahun militer ikut berkecimpung dalam kancah politik Indonesia melalui fraksi angkatan bersenjatanya di DPR-MPR. Adanya fungsi ganda dalam tubuh militer membuat militer rawan dijadikan alat politik bagi pihak-pihak berkepentingan. Dan pasca pemilu 1999, UU secara resmi mengandangkan militer ke barak sesuai dengan fitrahnya.

Keberhasilan mengandangkan militer dalam reformasi 1998, agaknya ditiru juga pada saat ini dalam upaya meredam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa melalui parlemen jalanan yang acapkali membuat pihak keamanan kerepotan mengatasinya. Ada kecenderungan penurunan trend jumlah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dari tahun ke tahun. Dalam satu laporan penelitian setebal 100 halaman lebih yang pernah dilakukan pada tahun 2011-2012, sebagian mahasiswa menganggap bahwa demontrasi sudah tidak terlalu efektif untuk mengolah isu-isu yang sedang berkembang. Ada semacam paradigma baru bahwa demontrasi nir kekerasan bukanlah sebuah aksi, melainkan ritual uji coba bagi para mahasiswa baru yang tergabung dalam gerakan mahasiswa dan secara tujuan, demontrasi semacam ini dinilai kurang bahkan tidak efektif untuk mengangkat maupun mengubah kebijakan yang dibuat penguasa.

Dalam periode 2012-2017, jumlah aksi-aksi demontrasi mahasiswa cenderung menurun drastis. Bahkan ada beberapa daerah yang selama ini dikenal cukup sering diramaikan dengan aksi demontrasi oleh mahasiswa, pada periode ini, bahkan hampir tidak pernah terlihat kembali. Kalaupun ada aksi mahasiswa, lebih sering Karena mereka mencoba mengangkat isu local seperti kenaikan SPP maupun pemberlakuan UKT oleh pihak kampus. Selebihnya adalah aksi demontrasi yang mencoba ikut-ikutan untuk menyemai kesempatan naik ke gelanggang politik nasional, seperti yang terjadi dalam aksi pada bulan November dan desember tahun lalu.

Saya teringat saat periode 2008-2010 disaat terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa. Hampir tiap bulan selalu diajak rapat teklap (teknis lapangan) mempersiapkan aksi demo menanggapi isu dan kebijakan pemerintah saat itu. Dalam momen-momen tertentu seperti hari Pendidikan, hari kebangkitan nasional, maupun peringatan-peringatan lainnya, mahasiswa akan semakin disibukkan untuk rapat konsolidasi untuk menambah semangat juang para mahasiswa serta menambah jumlah peserta demo. Semakin banyak mahasiswa yang ikut terlibat dalam demontrasi, akan semakin garang sang orator dan korlap dalam berorasi.

Lalu, bagaimana dengan saat ini?

Di banyak media, para mahasiswa ini disebut sebagai generasi milineal. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan berbagai kemudahan teknologi, generasi milineal cenderung memilih caranya sendiri dalam mengekspresikan idealisme yang mereka pahami sebagai mahasiswa. Kalau dulu para mahasiswa harus tergabung dalam kelompok-kelompok diskusi maupun pergerakan mahasiswa, guna menumbuhkembangkan idealisme dan pola pikir kritis, maka saat ini cukup melalui gawai yang serba canggih sudah bisa menggantikan itu semua. Dulu, mahasiswa dengan gigih mengendarai motor dari satu kampus ke kampus lainnya, atau dari satu taman ke taman lainnya, demi mengikuti kajian diskusi tentang berbagai hal. Bahkan tak jarang, para mahasiswa ini harus kucing-kucingan dengan pihak keamanan kampus Karena dianggap membuat diskusi yang menyerempet pada isu-isu yang sensitive seperti komunisme, LGBT, dan isu lain yang diklaim berhaluan kekiri-kirian.

Pameran buku yang biasanya jadi ajang obral buku murah adalah ajang tahunan yang selalu dinanti para mahasiswa. Melalui acara tersebut mereka bisa mendapatkan puluhan buku dengan harga sepertiganya saja, bahkan tak jarang ada beberapa penerbit buku yang menjualnya dengan harga sepersepuluh dari harga asli, yang biasanya terjadi pada buku-buku lama, namun masih cukup menarik untuk dibaca. Pun begitu dengan toko-toko buku murah seperti yang banyak dibuka di Yogyakarta. Itu adalah surga bagi para aktivis mahasiswa. Lalu untuk memperdalam daya nalar dan daya kritisnya, para mahasiswa ini rela begadang hingga larut malam untuk mengikuti kajian-kajian yang digelar oleh berbagai organisasi pergerakan mahasiswa, BEM, HMJ, maupun kelompok-kelompok aktivis lainnya yang senantiasa menawarkan kacang rebus dan kopi sebagai suguhan konsumsinya, kalau pas lagi tanggal muda. Tak jarang bahkan tak ada suguhan sama sekali, namun para mahasiswa masih mau bertahan hingga berjam-jam lamanya mengikuti kajian seperti ini. Bagi mereka, kedalaman pembahasan topik-topik tertentu melalui kajian diskusi seperti ini menjadi daya Tarik tersendiri walau mereka harus merelakan waktu istirahatnya. Bagi yang memiliki kiriman lebih, mereka akan menambah asupan pengetahuan melalui langganan koran. Atau bagi yang selalu mendapat jatah kiriman ngepres, maka cukuplah datang ke kantor satpam kampus pada pagi hari, dan numpang baca koran.
Gambar ilustrasi (Sumber : Istimewa)

Tapi itu dulu. Kini dengan semakin canggihnya gawai yang dimiliki oleh mahasiswa, mereka tak perlu repot-repot bergabung dalam kelompok-kelompok diskusi darat, menjadi anggota organisasi pergerakan mahasiswa, maupun berburu koran dan buku-buku murah. Cukup melalui gawai, para mahasiswa dibuat seolah sudah menjadi aktivis yang sesungguhnya. Diskusi bisa dilakukan melalui group-group whatsapp, membaca koran sekarang cukup melalui portal berita online, belajar teori atau mencari informasi tertentu cukup membuka Wikipedia atau blog-blog gratisan yang berserakan di internet. Bahkan agar bisa disebut sebagai aktivis mahasiswa, tak jarang mahasiswa kini menggunakan media social yang ada untuk icak-icaknya melakukan propaganda, kampanye, dan menulis pendapatnya agar Nampak kritis. Tak jarang mereka membranding dirinya melalui media social tersebut agar Nampak seperti aktivis betulan. Semua tersaji mudah dalam satu alat bernama ponsel pintar.

Di sisi yang lain, mahasiswa juga semakin disibukkan dengan berbagai macam aturan dan program kemahasiswaan yang ada. Kewajiban mengikuti seminar-seminar di kampus yang sebenarnya banyak yang lebih memanfaatkannya sebagai ajang cari nilai tambahan atau yang lebih menyedihkan justru hanya dimanfaatkan oleh panitia seminar agar Nampak banyak pesertanya, kemudian juga tentang adanya kewajiban kehadiran minimal, tugas dari dosen yang selalu terselip tiap minggu, serta lomba dan kegiatan mahasiswa di kampus yang terkadang jauh dari esensi penguatan daya nalar dan daya kritis mahasiswa, yang kadang hanya sekedar dijadikan program kerja organisasi mahasiswa internal kampus. Lebih jauh lagi, banyak juga mahasiswa yang justru menyibukkan diri melalui aktifitas non kampus yang cenderung hura-hura semata. Kesibukan mengikuti kegiatan-kegiatan seperti ini menjadikan mahasiswa tidak lagi familiar dengan aktifitas keilmuan non kelas maupun gerakan mahasiswa. Bahkan  tak jarang ada yang merasa alergi dengan aksi-aksi seperti demontrasi jalanan yang dulunya sudah mendarah daging bagi setiap mahasiswa.

Jika dulu militer dikandangkan dengan UU dan penghapusan kewajiban fungsi gandanya, maka mahasiswa saat ini sedang dikandangkan melalui kemajuan teknologi, kesibukan kuliah dan tugas yang tiada henti, serta seabreg aktifitas lain yang kadang jauh dari nilai-nilai akademis. Gerakan mahasiswa saat ini lebih kearah gerakan taktis yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk tujuan politik tertentu. Gerakan mahasiswa seperti kehilangan arah perjuangannya. Banyak yang kemudian hanya seperti ayam jago tanpa taji. Tak sedikit yang beranggapan bahwa kue kekuasaan telah berhasil dibagi-bagi kepada para aktifis mahasiswa sehingga lupa dengan tujuan utama dari adanya gerakan mahasiswa. Mahasiswa kini mulai menemukan dunianya sendiri. Dunia tanpa sekat yang siapa saja bisa terlibat didalamnya. Dunia yang menjadikan siapa saja bisa Nampak pintar, cerdas, dan kritis tanpa harus melalui proses panjang penempaan diri melalui aktifitas penalaran dan pengembangan diri secara riil.


Namun dari itu semua, sebagai pengajar ada untungnya juga mereka seperti ini. Setidaknya setiap mengajar, 90% mahasiswa hadir dikelas, walau terkadang entah apa-apa yang mereka perbuat di kelas selama kuliah berlangsung. Toh nyatanya, dengan apa yang terjadi saat ini, justru menjadikan pihak kampus senang, Karena tidak ada lagi aksi-aksi penolakan kebijakan kampus oleh mahasiswa. Dengan begini, kampus bisa dengan leluasa membuat kebijakannya sendiri, walau terkadang mencekik mahasiswa. “Ah, yang penting aku lulus tepat waktu dengan IPK Tinggi, lalu bisa untuk modal daftar PNS”, begitu kata mereka. Iya kan

Share:

0 komentar