106 TAHUN TAIWAN ; SEBUAH NEGERI BAGI PARA PENGGANTUNG HARAPAN
Baca Juga
106 tahun yang
lalu, Dr. Sun Yat Sen memulai revolusi Xinhai. Ini adalah peristiwa besar yang
menandai runtuhnya Kekaisaran China yang telah kokoh berdiri selama ribuan
tahun. Melalui revolusi inilah kelak lahir sebuah negara dengan nama Republic
of China.
Bagi sebagian
orang, nama Republic of China akan terdengar asing. Kalaupun ada yang menjawab,
kebanyakan menunjuk pada entitas negara China daratan. Namun saat disebut nama
Taiwan, maka nama ini akan terdengar sangat familiar, bahkan untuk anak-anak
kecil sekalipun. Di negara ini, banyak dari orangtua mereka mengadukan nasib
untuk bekerja di sector formal maupun informal. Anak-anak sudah terbiasa dengan
menyiapkan jawaban, “Bapak/Ibuku kerja jadi TKI di Taiwan”, ketika acapkali
orang menanyakan pekerjaan / keberadaan orangtua mereka.
Di Taiwan ini,
ribuan orang Indonesia masuk dan keluar dari pintu imigrasi bandara Taoyuan
setiap bulannya. Mereka meninggalkan keluarga tercinta dan sebuah negeri yang katanya bisa menyediakan jutaan lapangan
pekerjaan setiap hajat demokrasi 5 tahunan di gelar. Meninggalkan Indonesia
bukanlah pilihan mudah, Karena acapkali dicibir dan menjadi bahan pembicaraan
orang. Namun ini adalah pilihan terbaik yang bisa mereka lakukan disaat
manisnya janji kampanye tak semanis apa yang para pengucap janji ini bisa
lakukan setelah terpilih.
Menjadi tenaga
kerja di Taiwan tidaklah seindah cerita orang-orang kebanyakan yang selalu
membumbui dengan gaji tinggi maupun fasilitas yang diberikan. Memang ada yang
seperti itu, namun ada juga yang jauh dari cerita-cerita manis itu. Dalam
beberapa kesempatan, banyak teman-teman Indonesia yang bekerja di pabrik maupun
rumahtangga bercerita bahwa laoban
(baca : majikan) mereka tidak mengizinkan untuk sholat atau puasa. Ada juga yang
gajinya harus ditahan selama berbulan-bulan. Ada yang selama 1 tahun bekerja di
Taiwan, mereka tidak tahu mana-mana, Karena ia sama sekali tidak mendapat libur
dari laoban-nya. Jangankan libur,
bahkan banyak yang tidak diizinkan memiliki ponsel
disini. Kalaupun mau menelepon keluarganya, harus melalui laoban-nya tersebut. Itu hanya sedikit cerita dari banyaknya cerita
dibalik layar menjadi tenaga kerja di Taiwan. Tapi lantas apakah itu menjadikan
minat bekerja sebagai tenaga kerja di Taiwan menjadi menurun?
Data dari
Kementerian Tenaga Kerja Taiwan, sampai akhir bulan agustus 2017, jumlah
pekerja Indonesia di Taiwan yang bekerja di sector formal maupun informal
mencapai angka 256.342 orang yang tersebar dalam 28 bidang pekerjaan. Angka ini
adalah yang tertinggi dibanding dengan jumlah tenaga kerja dari negara lain
yang juga bekerja di Taiwan.
Namun, diluar
semua cerita-cerita miring seputar
TKI disini, Taiwan tetap menjadi idola untuk tujuan bekerja dan mencari nafkah.
Fasilitas kesehatan yang mumpuni, keamanan yang terjamin, dan sederet kelebihan
lainnya, menjadikan Taiwan sebagai pilihan negara untuk bekerja. Tak peduli apa
kata orang, namun hidup tetap harus berlanjut, dan Taiwan adalah pilihan untuk
melanjutkan kehidupan tersebut.
Selain pekerja,
Taiwan juga menjadi negara tujuan bagi para pengejar beasiswa. Disini, ada
4.394 pelajar Indonesia yang sedang mengejar mimpinya menggapai sarjana,
magister, dan doctor dari berbagai macam disiplin ilmu. Mereka datang dengan 1
impian, mendapatkan Pendidikan dari salah satu negara maju di dunia, syukur-syukur gratis dan dibayari.
Taiwan bukanlah
Eropa atau Australia yang mensyaratkan IELTS tinggi guna mendapatkan beasiswa. Disini
Bahasa mandarin adalah Bahasa resmi yang digunakan sehari-sehari. Alhasil, persyaratan
kemampuan Bahasa cukup ditunjang dengan selembar sertifikat TOEFL dengan nilai
diatas 500. Ini mungkin salah satu alasan yang menjadikan Taiwan sebagai salah
satu favorit pengejar beasiswa. Bahkan
pasca diberlakukannya kebijakan baru pemerintah Taiwan, New Southbound Policy, pemerintah Taiwan secara resmi menaikkan
jumlah anggaran untuk beasiswa bagi mahasiswa dari Asia Selatan, terutama dari
Asia Tenggara.
Saya kebetulan
merasakan suasana studi dalam 2 masa kepemimpinan presiden Taiwan yang berbeda.
Keduanya berasal dari partai yang berbeda. Terasa sekali perbedaan jumlah
mahasiswa Indonesia yang studi disini. Pun begitu dengan jumlah universitas
yang membuka program-program internasionalnya. Saat pertama kali ke Taiwan
tahun 2013, tak banyak universitas yang ada mahasiswa Indonesianya. Kalaupun
ada, biasanya tak lebih dari 5 orang. Namun, kini, hampir di setiap universitas
yang menawarkan beasiswa dan program internasional, maka disana ada mahasiswa Indonesia.
Tapi apakah Taiwan hanyalah bagi mereka yang memburu beasiswa?
Satu waktu, saya
dan istri pernah main ke suatu kampus untuk satu kepentingan. Disana saya
disambut oleh beberapa mahasiswa Indonesia. Beberapa dari mereka bahkan masih Nampak
seperti anak SMA. Mereka mengenakan jilbab. Melalui obrolan 1 jam lebih, saya
dan istri terkejut dengan cerita bahwa mereka harus bekerja sebagai buruh
pabrik di sekitar kampus, demi menyambung hidup dan membiayai kuliah. Dulu saat
baru lulus SMA, ada kampus di Taiwan yang menawarkan untuk studi disini dengan
beasiswa (walaupun tidak dijelaskan jenis beasiswanya). Mereka yang masih ingusan ini tentu saja tertarik. Bayangan
bahwa mereka tidak akan membebani orangtua mereka untuk masalah biaya menjadi
hal mendasar mereka menerima tawaran ini. Namun kenyataannya, setelah di Taiwan
mereka hanya mendapat beasiswa SPP semata. Selebihnya, mereka masih harus
membayar biaya sewa asrama, asuransi kesehatan, uang bulanan, dan listrik. Tak
mau putus asa dan putar arah, mereka nekat
untuk studi disini dengan bekerja sampingan sebagai buruh pabrik, yang
sebenarnya ini kebanyakan dikerjakan oleh pria dewasa. Tangan-tangan imut
mereka kini semakin terampil mengontrol alat-alat berat di pabrik untuk
memastikan mesin bekerja sesuai dengan keinginan.
Di waktu yang
lain, saya dan istri bertemu dengan salah satu mahasiswa yang berasal dari
daerah yang selalu memasang nama keluarga di akhir nama penduduknya. Ia
termasuk salah satu mahasiswa cerdas. Ia dan professornya bahkan mendapatkan
gelontoran dana riset dari Kementerian Sains dan Teknologi Taiwan. Namun
dibalik gemerlapnya gelontoran dana tersebut, ia masih tetap harus bekerja di
rumah makan menjadi pencuci piring. Ia tak mau sekedar menghabiskan waktunya
dengan bermain game atau bermedia social
seperti kebanyakan orang. Ia sadar bahwa menjadi pekerja paruh waktu akan lebih
menghasilkan uang untuk kemudian ia tabung dan ia kirimkan kepada orangtuanya di
kampung. Statusnya sebagai mahasiswa pascasarjana tidak membatasi gengsinya
untuk tetap membantu nafkah keluarga. Di Taiwan ia merasakan bahwa belajar dan
bekerja bisa ia seimbangkan, walau terkadang harus merelakan waktu
istirahatnya.
***
Hari ini, Taiwan
(atau yang nama resminya adalah Republic of China) merayakan Double Tenth Day nya yang ke 106 tahun.
Ini adalah sebuah peristiwa penting dimana setiap tahunnya, Taiwan merayakannya
melalui upacara dan parade militer di ibukota. Di Taiwan, peristiwa Double Tenth Day juga menandai permulaan
penanggalan tahun resmi bagi negara. Jadi, tahun 2017 ini sama dengan tahun 106
menurut kalender resmi Taiwan.
Saya tidak ingin
menyebut perayaan ini sebagai hari kemerdekaan bagi Taiwan, Karena faktanya
Taiwan masih belum bisa berdiri sebagai sebuah entitas resmi negara. Hanya
segelintir negara kecil yang mengakui Taiwan sebagai sebuah negara resmi.
Selebihnya, mereka mengakui Taiwan sebagai salah satu bagian dari China daratan.
Saya ingin menyebut hari ini sebagai sebuah Hari
Pengharapan. Ini didasari atas besarnya harapan untuk bisa menyambung hidup
bagi mereka yang bekerja di Taiwan dan keluarganya, juga menjadi penopang
harapan bagi sebagian besar mahasiswa asing disini.
Taiwan dengan
segala kemajuan yang telah dicapai, menawarkan secercah harapan bagi mereka
yang Sudah letih menggantungkan harapan pada pemimpinnya. Taiwan dengan segala
idealismenya, menawarkan harapan baru untuk menjadi jembatan meraih mimpi para
generasi muda dari berbagai negara. Disini harapan dikelola dengan apik dan dikolaborasikan dengan
sumber-sumber yang ada yang lantas menjadikannya sebagai magnet penarik orang
mau berbondong-bondong ke negeri kecil tapi mampu menjadi penyokong industry elektronik
dunia.
Di luar
kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh Taiwan, Taiwan tetaplah menjadi primadona
bagi mereka yang ingin mengubah nasib dan keadaan. Terimakasih Taiwan untuk semua
keramahan dan kesempatan yang diberikan. Happy
Double Tenth Day, Taiwan !!!
Tags:
Formosa
0 comments