MUDA ITU KITA #EH ANDA, DING !!!
Baca Juga
“Anda telah sampai di stasiun Daqing,
silahkan cek kembali barang bawaan anda” (Diucapkan dalam Bahasa mandarin
dengan dialek hakka). Sebuah
pengumuman terucap jelas keluar dari speaker yang berada di atap gerbong,
menandakan bahwa kereta yang aku tumpangi sudah sampai di tujuan yang sama
dengan yang tertulis di tiket yang aku beli dengan harga 138 dolar Taiwan ini. Sejurus
kemudian si loreng dengan emblem
merah putih yang selalu aku bawa kemana-mana sudah berada di punggungku. Aku
periksa dan pegang kuat-kuat barang kesayangan hadiah ulangtahun dari istri tercinta. Aku tak mau kejadian 2 bulan lalu
terulang, dimana si loreng ketinggalan
akibat kealpaanku sendiri sewaktu naik bus melalui terminal Chiayi.
“Ting……….” Sebuah bunyi penanda pesan
masuk di ponsel cerdas buatan China ini berdering menandakan ada seseorang yang
mengirim pesan melalui aplikasi messenger
paling populer di Taiwan, sesaat setelah melangkahkan kaki dari kereta yang sudah 115 menit membawaku kembali ke Kota Taichung pagi ini.
“Mas, aku boleh minta bantuannya tidak untuk
menjadi juri dalam lomba essay?” Tulis pesan tersebut dimana aku sangat
familiar dengan nama pengirimnya.
“Boleh, tapi essainya mohon tidak ditulis
nama ya agar lebih obyektif dalam penilaiannya” sergahku secara cepat
melalui tuts papan ketik yang dari
tadi ditekan berulang oleh 2 ibu jariku.
Sesuai dengan
janji sebelumnya, si pengirim pesan pun mengirimkan seluruh naskah yang akan
dinilai pada sore harinya. Melalui email yang dikirimkan, aku tahu bahwa naskah
ini dinilai setidaknya oleh 3 orang juri yang masing-masing punya karakternya
sendiri. Aku juga tidak tahu atas dasar apa panitia memintaku jadi juri untuk
lomba essai mereka. Padahal aku sendiri tidak ada pengalaman ikut lomba essai.
Kalau kata istri, bisa jadi mereka
memilihku Karena seringnya aku menulis. Padahal aku menulis juga entah apa-apa, itupun di blog pribadi. Penulis
moodian. Kalaupun ada yang masuk ke
koran, itu hanya sebuah kekhilafan saja karena ingin populer (Hahahahaha………..
:p)
Selepas subuh, aku
periksa satu persatu naskah yang dikirimkan oleh panitia. Sejenak terdiam lalu
menyimpulkan.
“Ah, khas sekali tulisan mereka. Rasanya para peserta ini berasal dari kalangan anak muda”
Sebenarnya saya
tidak memiliki kompetensi untuk menyimpulkannya seperti itu. La wong saya saja masih muda kok aslinya. Mwahahahaha...............
Apa yang khas dari
tulisan mereka?
Pertama adalah
penggunaan kalimat yang menggebu. Ini salah satu ciri paling mencolok dalam
tulisan-tulisan sarjana muda dari Indonesia. Dalam beberapa kali mementori
pelatihan jurnalistik untuk mahasiswa S1, semangat jiwa muda mereka
terekspresikan melalui penggunaan kalimat-kalimat menggebu yang penuh dengan
optimisme. Dan ini adalah hal yang menarik. Saat kita sudah jenuh dengan diksi negative pada penulisan berita
online saat ini, setidaknya tulisan para mahasiswa ini menjadi alternative untuk
terus memupuk optimisme bahwa masih ada bagian dari masyarakat Indonesia yang
memandang positif masa depan Indonesia. Mereka melihat realitas Indonesia saat
ini dan esok dengan kacamatanya yang khas yang seolah menafikkan ada parasit-parasit
yang berkembang bak spora di musim
hujan yang menumpang hidup pada negeri bernama Indonesia. Para parasit ini
memandang Indonesia ibarat sebuah perusahaan leasing tempat mereka mencari nafkah dan mereka adalah pegawai
kontrak didalamnya. Tidak lebih. Mereka ini akan berusaha mengais keuntungan
maksimal darinya tapi tidak memikirkan bagaimana keberlanjutannya. Kalau
perusahaan ini bangkrut, ya tinggal
cari lagi yang lain. Begitu seterusnya. Tapi melalui tulisan anak-anak mudanya,
kita ingin dibawa pada sebuah jalur bebas hambatan menuju kejayaan Indonesia
yang akan segera diraih. Walaupun faktanya tidak plek seperti itu, namun dengan optimisme mereka seperti itu, setidaknya
bisa menjadi modal saat mereka menghadapi kondisi yang sesungguhnya. Sing penting ojo kagetan & gumunan saat tahu yang sesungguhnya kelak……..
Ilustrasi (Sumber : www.birokreasi.com) |
Ciri khas yang
kedua adalah perangkaian nostalgia masa lalu. Dalam salah satu pelatihan pernah
disebutkan memang ada gaya tulisan yang selalu mengait-ngaitkan kenangan akan
masa lalu dengan kondisi saat ini. Ini semacam gaya tulisan primbon dimana untuk mengungkap sebuah
kejadian, orang-orang pintar
dizamannya mencoba memutar waktu mempelajari kejadian di masa lampau lalu
menegasikannya pada kejadian saat ini atau masa mendatang. Dan ini sah-sah
saja. Di jurnal akademik saja, ada beberapa jurnal yang menggunakan
metode-metode semacam ini. Semacam studi literature lah. Menariknya, tulisan anak-anak muda ini, seperti yang ditulis
di paragraf sebelumnya, selalu memilih sejarah yang membuncahkan optimisme
seperti saat mereka mengambil penggalan pidato presiden Soekarno yang kurang
lebih berbunyi seperti ini “beri aku 100
orang tua, niscaya akan aku cabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda,
niscaya akan aku goncangkan dunia”. Siapa yang tidak akan optimis jika
semua masalah bangsa ini dikaitkan dengan kutipan tersebut.
Terlepas dari gaya
hiperbolis yang selalu digunakan oleh
Soekarno dalam pidato-pidatonya, narasi-narasi yang digunakannya selalu sukses
menggelorakan semangat orang yang mendengarkannya. Dan ini tidak ada yang bisa
mewarisinya, bahkan keluarganya sekalipun. Anak-anak muda ini, berusaha
mengelaborasi narasi-narasi di masa lalu tersebut untuk menciptakan sebuah anomaly semangat juang dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di era masa kini. Dan ini kiranya perlu kita rawat dan jaga
bersama sebagai modal untuk menerima tongkat estafet pembangunan Indonesia di
masa mendatang. Karena pernah ada sebuah bangsa di dunia yang remuk redam hanya
Karena anak mudanya tidak memiliki optimisme membangun negerinya sendiri.
Kekhasan yang
ketiga adalah gaya loncat dalam mengembangkan ide-ide pemikirannya. Kalau boleh
sedikit mengecualikan, sebenarnya gaya loncat pada ide pemikiran ini bukan
mutlak pada anak mudanya. Tapi biasanya terjadi pada aristokrat muda yang menginginkan sebuah solusi instant tanpa mengurai satu persatu factor penyebab yang berada di
sekitarnya secara mendetail. Sehingga, terkadang banyak ide-ide baru
bermunculan, namun layu sebelum berkembang. Dan gaya seperti ini boleh-boleh
saja digunakan, Karena sudah terbukti memunculkan ide-ide segar. Mungkin yang
perlu sedikit dipoles adalah strukturnya
agar lebih sistematis dan tidak out of
the track.
Melalui tulisan-tulisan yang dibuat oleh para generasi milineal ini (istilah
yang mungkin akan lebih sering kita dengar kedepannya sebagai kata ganti
generasi 90’an) mereka memunculkan sebuah paradigma baru tentang memandang Indonesia.
Beberapa tahun terakhir ini, rasanya kita sudah overdosis dengan pesimisme untuk membangun Indonesia yang dibangun
oleh tulisan-tulisan yang ngakunya produk
jurnalistik. Kita dibuat seolah Indonesia akan mengalami Kiamat Kubra besok. Namun, kalau melihat pemikiran-pemikiran
generasi millennial ini melalui essai-essainya (atau kalau mau scope yang umum, mungkin bisa dilihat
dari gagasan-gagasan yang disampaikan melalui media massa, media social, maupun
yang lainnya), yakinlah bahwa besok sang mentari pagi masih akan terbit melalui
Papua dan tenggelam melalui Aceh. Teruslah menulis nak dan amalkan semboyan Mensano
In Corporisano #Eh
Tags:
SeloSeloan
4 comments
ikut mendoakan para penulis yang berhusnudzon dan menebarkan kepositifan :)
BalasHapusbtw, baru ngeh kalo pak Karno suka dengan pidato hiperbola, hehehe
Tapi karena hiperbolalah para pejuang bisa dibakar semangatnya. Coba kl pidatonya malah banyak guyonnya, atau malah datar-datar saja dengan kalimat rendah diri, bisa-bisa ndak merdeka-merdeka kita dari penjajah. Hehehehe
HapusPemuda itu kan kalau secara umur kurang dari 40 tahun. Emangnya Anda lebih dari itu? *ups hahaha
BalasHapusItu kan bahasa Undang-undang mas. Kenyataannya diumur 30 tahun saja udah dianggap bapak-bapak sepuh. Kayaknya itu UU No 40 tahun 2010 nya harus di judicial review ke MK mas, terutama di Pasal 1 nya. Hahahaha
Hapus