DOKTOR RASA SARJANA

Baca Juga



Istri saya adalah orang yang paling aktif mendorong untuk bisa studi lanjut ke jenjang doctor. Ini dilakukan semata-mata bukan untuk gaya-gayaan memanjangkan gelar atau sekedar menambah penghasilan [karena dengan jenjang doctor, maka jabatan fungsional bisa sampai pada Lektor Kepala], melainkan untuk lebih mengasah kemampuan diri dalam melihat suatu fenomena, menganilisisnya, hingga membuat sebuah solusi kongkrit yang applicable. Dia sadar bahwa proses pembelajaran untuk mendidik tidak terhenti pada jenjang master saja [sesuai yang dipersyaratkan minimal oleh Pemerintah], melainkan harus terus sepanjang waktu, bahkan jika sudah mencapai jenjang Post Doctoral sekalipun.

***
Saat ini, ditengah tingginya tuntutan perguruan tinggi untuk menaikkan nilai akreditasinya, banyak perguruan-perguruan tinggi yang akhirnya menawarkan program-program master dan doktoralnya dengan berbagai kemudahan yang ada. Ini dilakukan semata-semata untuk memenuhi rasio minimal sebuah jurusan / fakultas untuk mendapatkan akreditasi tertentu. Sebagai contoh untuk mendapatkan akreditasi B, maka harus ada minimal satu orang dosen yang bergelar doctor. Itupun masih harus dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan lain seperti publikasi internasional maupun penelitian tingkat nasional. Jika suatu jurusan / fakultas belum bisa menaikkan angka akreditasi melalui publikasi internasional, maka pilihannya adalah menambah jumlah dosen yang bergelar doctor. Banyak instansi yang memilih pilihan ini. Alasannya sepele, mereka tidak bisa bahasa inggris maupun bertarung dalam hal penelitian. Sehingga cara termudah untuk mendapatkan nilai akreditasi adalah menambah jumlah dosen bergelar doctor. Pertanyaannya, apakah kemudian permasalahan selesai sampai disini? Jawabannya Ya, jika hanya mengaitkan pada status akreditasi. Namun dari sini justru timbul masalah baru, yaitu kualitas akademik dari dosen bergelar doctor tersebut.

Menurut database Kemenristekdikti, sampai akhir tahun 2013, tenaga dosen tetap yang tercatat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi adalah 154.968 dosen dengan komposisi kualifikasi akademis sebanyak 54 persen setara magister (S2), 11 persen doktor (S3) dan 36 persen sarjana atau diploma. Melihat angka tersebut, jumlah Doktor perlu ditingkatkan, minimal 20 persen dari jumlah seluruh dosen perguruan tinggi. Karena, jika mengandalkan program pendidikan doktor reguler yang ada saat ini, dengan produktivitas paling banyak 1.000 doktor setiap tahun, maka dibutuhkan waktu sekitar 13 sampai 14 tahun untuk mencapai proporsi 20 persen.

Baca juga : Skripsi ; Sebagai Syarat atau Pembuktian?

Seperti yang ditulis di awal, dengan adanya peluang dari tingginya peminatan studi doctor, maka banyak kampus yang akhirnya berlomba-lomba menawarkan program doctor dengan berbagai kemudahan. Seperti kuliah jarak jauh [per-2014, Dikti sudah melarang adanya program doctor jarak jauh], kemudahan untuk publikasi jurnal [jurnal adalah syarat untuk bisa sidang disertasi dalam program doctor], sampai jual beli gelar dan ijazah yang tahun 2015 ramai menjadi trending topic di Indonesia.

Apapun kemudahan yang ditawarkan oleh sebuah kampus pada mahasiswa doktoralnya, itu tidak menjadi persoalan selama dalam koridor akademik dan mengedepankan pengembangan sumber daya manusia yang unggul. Namun faktanya ternyata tidak seperti yang diharapkan. Banyak dosen yang sudah mendapatkan gelar doctor, pada kenyataannya kemampuannya seperti jauh panggang dari api.

Tentang tanggung jawab moral bagi seseorang yang telah menyandang gelar doktor, penulis jadi teringat film Spiderman. Dalam film ini, paman Ben mengatakan kepada Peter Parker, ”With great power, comes great responsibility” (Sony Pictures, 2009). Ungkapan tersebut berlaku juga bagi seorang doktor, yang dengan gelar itu ia punya posisi terhormat. Sayangnya banyak yang lupa atau bahkan tidak memahami tentang tanggung jawab moral yang mengikutinya, sehingga kontribusi dan karyanya berhenti setelah gelar S3 diperoleh. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa ketidaktahuan tentang hal ini kemudian berimplikasi pada proses studi yang tidak berjalan secara semestinya.

Jika semua proses yang dipersyaratkan untuk mendapatkan gelar doctor dilalui secara runtut, sungguh-sungguh, serius, dan benar, maka output yang dihasilkan adalah para manusia yang pola berpikirnya runtut, sistematis, dan analitis. Dalam studi doctoral, yang ditekankan adalah pembenahan pola penelitian. Dalam meneliti, seorang mahasiswa doctoral harus bisa menguasai topic yang diambilnya, lalu merumuskannya menjadi sebuah rumusan masalah, hingga akhirnya membuat sebuah hipotesis. Dari tahap awal ini saja, seorang mahasiswa doctoral sudah diuji bagaimana untuk mengelaborasi antara fakta, fenomena, dan teori yang akan digunakan sebagai guidance dalam membuat hipotesis. Lalu di tahap berikutnya, seorang mahasiswa doctoral harus bisa lebih komprehensif merumuskan metode penelitian yang ada. Metode yang digunakan tentu harus yang komprehensif dan melibatkan komponen-komponen penting dalam topic yang sedang diteliti. Disinilah letak perbedaan antara sarjana, master, dan doctor.

Ada aksioma yang cukup popular dikalangan mahasiswa dan akademisi. Sarjana itu menggunakan teori. Master itu membantah teori. Sedangkan doctor menciptakan teori. Ketiga aksioma ini merepresentasikan tentang bagaimana kemampuan tiap jenjang pendidikan dalam dunia akademik. Bagi seorang doctor yang notabenenya adalah jenjang tertinggi dalam proses akademik, tentu harus memiliki kelebihan dibanding jenjang yang lain. Kemampuannya menelaah suatu masalah dari sisi akademik “seharusnya” bisa lebih mendalam dibanding sarjana maupun master/magister.

***
Pada tataran yang lebih informal, masih juga banyak dijumpai budaya “look who’s talking”. Kalau ada orang berpendapat, dilihat dulu siapa dia. Pendapat dari seorang doktor pada umumnya lebih diperhatikan daripada pendapat orang yang bukan doktor (kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang memang eksepsional). Wajarlah jika fenomena semacam ini juga memicu orang untuk meraih derajat akademik tertinggi ini.


Tentu saja banyak orang yang dimotivasi oleh karakteristik dari program doktor itu sendiri. Salah satu kriteria lulus doktor adalah penelitiannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Agar bisa memberikan kontribusi yang signifikan, riset S3 harus mengandung orisinalitas. Orisinalitas berarti berada di sisi paling depan dalam topik yang ditelitinya. Orang sering mengatakan bahwa seorang doktor adalah orang yang paling tahu/mengerti tentang topik risetnya. Perasaan “berada di ujung depan” ini sering menjadi motivasi internal yang dahsyat bagi seorang mahasiswa S3. Baginya, kondisi ini menjadi pendorong untuk senantiasa berkarya mengembangkan bidang ilmunya dengan melakukan riset-riset dan mempublikasikan hasilnya, tidak hanya selama ia belajar, tetapi bahkan setelah selesai studinya.

Perlu diketahui bahwa jumlah riset doctoral di Indonesia masih dibawah negara-negara ASEAN. Dalam portal Scimago yang merupakan salah satu portal yang menghitung data penelitian berdasarkan publikasi ilmiah yang terekam di basis data Scopus, dalam kurun waktu 1996-2014, tercatat ada sekitar 32.355 publikasi. Dengan angka tersebut, Indonesia berada pada urutan 57 dari 239 negara yang terdaftar di Scimago. Singapura, Malaysia, dan Thailand berada di peringkat lebih atas dibanding Indonesia. Jika kualitas dan kuantitas penelitian di Indonesia tidak ditingkatkan, maka bukan tidak mungkin Vietnam akan melejit mendahului Indonesia, yang saat ini berada di urutan ke 66.

Dari segi kualitas riset doctoral di Indonesia pun belum bisa dikatakan lebih baik dibanding Singapura, Malaysia dan Thailand. Tidak hanya kalah dari tiga negara yang sudah disebutkan tadi, tapi Indonesia juga kalah kualitasnya (berdasarkan citations per document dan h-index) dari Filipina! Indonesia mencatat cites per docs. di angka 7, sementara Filipina di angka 11. Dari sisi h-index, Indonesia mendapat angka 126, sementara Filipina 131. Lebih mengkhawatirkan lagi, dari data di atas, Indonesia ditempel ketat oleh Vietnam dengan angka h-index 122 dan melampaui hitungan cite per docs Indonesia sebesar 0,62 poin.  Dan semuanya dilakukan Vietnam dengan jumlah dokumen publikasian yang lebih sedikit dari Indonesia. Bukan tidak mustahil, dalam 2-3 tahun ke depan h-index milik Vietnam akan dapat melampaui Indonesia. Benar-benar sebuah fakta yang membuat kita tidak nyaman.
***

Kembali pada judul yang diangkat dalam tulisan ini, bahwa seorang doctor sudah sewajarnya harus membuktikan kemampuannya dalam penelitian, ucapan, dan tindakan. Ini semata-mata karena seorang doctor “dianggap” paripurna dalam mendesain sebuah hipotesis, antithesis, maupun analisa masalah. Jika seorang doctor kemudian masih menulis penelitian dengan aksioma “saya haus, maka saya harus minum”, maka sudah sewajarnya kita mempertanyakan tentang kedoktorannya tersebut. Lebih jauh, ucapan dan tindakan seorang doctor juga seharusnya sudah mencerminkan sebagai kaum cendekia cerdik pandai yang senantiasa ditunggu saran, masukan, dan kiprahnya dalam pembangunan Indonesia. Sangat disayangkan jika seorang doctor justru berbicaranya tanpa dasar, dan tidak sistematis, karena bagaimanapun juga setidaknya seorang doctor itu mencerminkan kualitas pendidikan bangsa Indonesia. 

Sebagai penutup, kiranya kita perlu merenungkan kembali tentang hakekat belajar dan pembelajaran. Kita perlu berkontemplasi lebih dalam untuk apa sesungguhnya kita belajar hingga jenjang tertinggi. Mau dikemanakan ilmu yang telah diperoleh ini. Sudahkan manfaat ilmu kita bagi peradaban manusia. Semoga ini menjadi refleksi dan renungan kita bersama untuk menciptakan Indonesia yang Berkemajuan.

                                                                                                                                            

Share:

1 komentar