TRAGEDI APRIL ; ANTARA YY DAN KEGAGALAN [ORGANISASI] PEMUDA
Baca Juga
Beberapa
minggu ini, publik dicengangkan dengan kasus criminal yang terjadi di Kabupaten
Rejang Lebong. Hampir semua kanal berita TV dan media cetak/online membuat
liputan khusus tentang kasus pemerkosaan dan pembunuhan YY, seorang siswi kelas VII SMP, yang
dilakukan oleh 14 pemuda. Media social pun tak mau ketinggalan gaduh dengan kasus ini. Semua orang
sepakat bahwa peristiwa ini adalah tindakan keji yang dilakukan oleh mereka
yang mungkin lebih hewan dari hewan itu sendiri. Sekeji-kejinya hewan, mereka
tak sampai berbuat demikian, apalagi ini dilakukan oleh makhluk yang [katanya]
memiliki akal dan budi.
Pengusutan
kasus ini tak butuh waktu lama. 12 dari 14 orang tersangka tertangkap. 2 masih
buron. Dari hasil penyelidikan, didapat informasi bahwa para pelaku ini
rata-rata masih muda. Mereka melakukan tindakan criminal tersebut lantaran
terpengaruh minuman beralkohol jenis tuak. Masyarakat Indonesia sepakat, bahwa
minuman beralkohol lebih banyak mudharatnya
dibanding manfaatnya (kecuali pada kasus-kasus tertentu yang merupakan
pengecualian / tradisi adat). Tulisan saya ini tidak akan membahas pada sisi
kriminalnya, melainkan variable lain
di sekitarnya, yaitu kepemudaan.
Keempatbelas
tersangka ini yang mengaku rata-rata berumur 15-19 tahun, merupakan para pemuda
yang putus sekolah. Kemiskinan dan pergaulan nakal menjadi salah satu musabab perilaku mereka seperti ini. Dalam
tayangan Indonesia Lawyer Club (ILC)
TV One, disebutkan bahwa Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu kabupaten
termiskin di Propinsi Bengkulu. Jumlah penduduk miskin mencapai 17 % dari total
penduduk Rejang Lebong. Ini bertolak belakang dari kondisi alamnya yang sangat
subur. Kapolres Rejang Lebong menyebutkan bahwa saat pertama kali bertugas
disana, ia menyaksikan bahwa alam di Rejang Lebong sangat subur dan cocok
ditanami (hampir) semua tanaman. Suburnya alam tidak lantas membuat
masyarakatnya sejahtera, justru malah sebaliknya. Kemiskinan menjadi komoditi masyarakat.
![]() |
Ilustrasi |
Jerat
kemiskinan berimbas ke semua lini. Moral pemuda menjadi salah satu sasaran
empuk disana. Para orangtua disana, dalam beberapa waktu harus meninggalkan
anak-anak mereka untuk bekerja di kebun/hutan. Pengawasan anak-anak muda ini
lantas dibiarkan begitu saja. Imbasnya, para pemuda ini ada yang salah
mengambil pergaulan. Mereka masuk pada lingkaran
setan minuman keras dan pornografi. Lalu dimana letak salahnya?
Terjerembabnya
mereka dalam pergaulan nakal ini
semata-mata bukan murni kesalahan mereka. Ada banyak pihak yang
bertanggungjawab terhadap rusaknya moral anak-anak muda ini. Salah satunya adalah Organisasi Kepemudaan
(OKP). Kok Malah organisasi kepemudaan
yang disalahkan?
Mungkin
banyak orang akan menyalahkan saya karena membuat tulisan ngawur ini. Tapi saya memiliki alasan mengapa OKP memiliki
tanggungjawab dalam masalah ini.
Selama
kurang lebih 1,5 tahun tinggal di Bengkulu, saya mengamati ada banyak sekali
organisasi kepemudaan yang berdiri disini. Dari mulai organisasi kepemudaan
berbasiskan ormas Islam, Kristen, dan Katolik, organisasi kepemudaan
berbasiskan partai politik, hingga organisasi kepemudaan berasaskan
nasionalisme. Semua OKP ini aktif di media social dengan mendeklarasikan
dirinya sebagai organisasi terdepan dalam mengembangkan kepemudaan di Bengkulu.
Mereka beramai-ramai mencitrakan organisasi sebagai satu-satunya OKP yang concern terhadap pengembangan
kapabilitas dan kreatifitas pemuda. Masing-masing OKP bahkan sampai berani
membuat Departemen/Bidang/Komisi/Divisi khusus terkait masalah kesejahteraan
pemuda/masyarakat. Malahan ada yang sampai pengembangan buruh/tani/nelayan dan
para kaum papa.
Ditilik dari bentuk dan cita-citanya, sangat ideal dan mulia sekali untuk sebuah organisasi, apalagi organisasi kepemudaan. Tapi apa kenyataannya? Semua itu tinggallah susunan SK pelengkap organisasi semata. Program-program kerja pengembangan kepemudaan yang dituliskan berlembar-lembar dan disahkan melalui hajatan besar bernama rapat kerja ini tak lebih dari tumpukan kertas bekas kiloan pembungkus makanan.
Seandainya
para organisasi kepemudaan ini sungguh-sungguh melakukan kerja-kerja sosialnya,
tentu para pemuda tanggung di Rejang
Lebong ini tidak akan terjerembab dalam pergaulan nakal. Dalam satu diskursus
terkait kasus Yuyun ini, disebutkan bahwa para pemuda ini merupakan pemuda
tanggung putus sekolah yang tidak memiliki pekerjaan maupun keterampilan. Para
pemuda ini tidak diberdayakan oleh para kaum cerdik pandai dan pemangku
kebijakan untuk diberikan kursus keterampilan (kalau memang kemiskinan yang
membuat mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan) agar para pemuda ini tidak
menjadi pengangguran.
Organisasi
kepemudaan, memiliki tanggungjawab social sesuai namanya, untuk menjadi wadah
pengembangan kreatifitas dan keterampilan para pemuda. Keterampilan disini
jangan hanya dimaknai sebagai keterampilan organisasi, lebih dari itu, tentu
keterampilan untuk memasuki dunia kerja sebagai main weapon mereka. Tapi lagi-lagi kenyataan berkata lain. Apa yang
saya tuliskan menjadi jauh panggang dari
api. OKP lebih senang mengadakan kegiatan seminar-seminar di hotel, kampus,
atau gedung pemerintah yang sebenarnya itu tidak terlalu esensial dalam pengembangan kapabilitas pemuda. Padahal jika
anggaran seminar-seminar itu dialihkan untuk mengadakan kursus keterampilan
pemuda di desa-desa, pendampingan usaha untuk pemuda, tentu ini akan menjadi
sebuah keunggulan tersendiri dari OKP tersebut karena telah mampu
mengejawantahkan label organisasi
menjadi sebuah aksi nyata, bukan sekedar aksi seremonial semata.
Lebih
lanjut, jika OKP yang ada benar-benar merealisasikan apa yang menjadi tugas
pokoknya sebagai wadah pemuda, tentu
kasus-kasus seperti yang terjadi di Rejang Lebong (dan juga di daerah lain)
tidak perlu terjadi. Para pemudanya tidak perlu menjadi pengangguran karena
mereka memiliki kesibukan bekerja sesuai keterampilan yang dimiliki. Dalam
diskursus kriminologi, pengangguran merupakan salah satu gerbang masuknya
tindak kriminalitas di kalangan pemuda.
Selama
ini, yang terjadi adalah OKP dijadikan batu loncatan untuk meraih karir
politik. Alhasil, kerja-kerja organisasi hanya dimaknai sebagai sebuah ritual
tahunan untuk dimasukkan dalam laporan pertanggungjawaban organiasi. Lebih
parahnya, OKP hanya dijadikan sebagai catutan jabatan dan CV para pengurusnya
tanpa tahu ada tanggungjawab besar dibaliknya.
Pertanyaan
berikutnya yang mungkin dilontarkan adalah bukankah
ini merupakan tanggungjawab pemerintah? Jawabannya iya, ini memang
tanggungjawab pemerintah. Namun apakah pemerintah saja yang bertanggungjawab? Tentu
tidak. Ini adalah tanggungjawab bersama jika memang kejadian di Rejang Lebong
ini tidak mau terulang kembali. Pemerintah tentu memiliki banyak prioritas. Sehingga
masyarakat (dan juga pemuda) melalui organisasi/kelompok/individu memiliki
peran yang strategis dan penting sebagai operator
pemberdayaan pemuda, terutama di kantung-kantung daerah tertinggal.
Tragedi
YY dan kegagalan pemberdayaan pemuda ini merupakan fenomena gunung es di
Indonesia. Jumlah OKP yang mencapai angka 500 organisasi ternyata tidak berimbang
dengan perannya dalam mengembangkan kapasitas kepemudaan serta pengentasan
kemiskinan sebagai biang lingkaran setan di berbagai daerah di Indonesia. Jadi,
jika memang para OKP ini tidak bisa berbuat lebih untuk masyarakat dan
pemudanya, masihkah kita harus mempertahankan dan membela keberadaannya?
Tags:
Sospol
0 comments