TAIWAN, I'M IN LOVE
Baca Juga
Hari ini tepat 3 tahun yang lalu, adalah kali pertama
bersentuhan dengan Taiwan. 6 orang dari Indonesia diberikan kesempatan studi S2
di Asia University (AU), Taiwan. Hari ini di 3 tahun yang lalu, para mahasiswa
baru dari berbagai negara dikumpulkan oleh pihak Universitas untuk mendapatkan
pengarahan tentang sistem akademik, kehidupan di Taiwan, hingga aturan-aturan
yang berlaku di kampus dan masyarakat. Seyogyanya saya mengikuti
pengarahan tersebut, namun karena VISA saya masih dalam proses pengiriman, saya
terpaksa menunda keberangkatan hingga 3 hari.
***
Tengah malam tadi, entah kenapa istri saya tiba-tiba
bangun. Saat itu saya sedang menonton TV sembari menunggu kantuk datang.
Sambil ngucek-ngucek matanya, dia meminta saya untuk bergeser sedikit
dari kasur depan TV tempat saya berbaring. Sambil memeluk manja, ia tiba-tiba
berujar, "tidak terasa ya mas, kita sudah 3 tahun".
Saya tidak paham dengan perkataannya, saya pikir
tentang umur pernikahan. Kami sendiri menikah baru 10 bulan.
"Maksudnya, hari ini tepat 3 tahun yang lalu aku
menginjakkan kaki di Taiwan. Tidak terasa ya, dulu kita hanya kenal via WA saat
menyiapkan keberangkatan. Lalu sekarang, kita malah serumah", Ujarnya
sambil senyum-senyum menyelami memori beberapa tahun silam.
"Iya ya, sudah 3 tahun yang lalu. Dulu padahal
aku tidak nyangka akan bisa berangkat ke Taiwan. Mau S2 saja sepertinya
kok awang-awangen. Gimana tidak, sudah 2 kali aku menolak program S2 yang
sudah menerimaku. Dan saat itu aku juga ketrima untuk yang ketiga kalinya di
program S2 di Jakarta. Pakai beasiswa pula. Pilihan berat saat itu, karena
Taiwan adalah negara yang tidak pernah terlintas sedikitpun dalam
khayalanku", Ucapku menimpali cerita istriku tadi.
***
Saat memutuskan untuk mengambil studi di Taiwan, itu
sebenarnya sudah terlambat. Terlambat dalam artian pengurusan dokumen-dokumen
keberangkatan. 5 orang teman yang lain sudah mengurus visa dan mencari
informasi tentang segala hal menyangkut Taiwan sejak awal Januari. Saya sendiri
baru mengurus dokumen-dokumen tersebut di akhir minggu pertama Februari. Ini
semua bukan tanpa alasan. Waktu itu saya sedang mengikuti proses seleksi
beasiswa S2 di program PPM School of Management. Proses seleksi sendiri berakhir
di awal Februari setelah melalui 7 tahap seleksi yang total kesemuanya
menghabiskan waktu hampir 1,5 bulan lamanya.
Saya sebenarnya masih belum ridho sepenuhnya
untuk mengambil kuliah lagi. Ini dikarenakan masih berbekasnya tekad untuk
mengikuti Indonesia Mengajar yang terpaksa harus dihentikan di awal karena
sakit. Saat memutuskan mengikuti program Indonesia Mengajar, fokusku bukan lagi
S2, sehingga program S2 dari UMY dan UGM aku tidak lanjutkan. Tapi takdir
berkata lain. Saat sudah diterima di program S2 di Jakarta, saya tambah
bimbang. Mana yang mau diambil. Apakah tetap di Indonesia (Jakarta), atau
mengambil di Taiwan (Taichung)? Butuh waktu 3 hari untuk memutuskan manakah
yang mau diambil. Waktu berbicara, Taiwan diputuskan untuk menjadi pelabuhan selanjutnya.
Argumentasinya waktu itu kenapa akhirnya memilih
Taiwan adalah untuk mencari suasana baru. Melihat kemampuan diri untuk bertahan
di negeri seberang. Negeri yang entah dimana antah berantahnya. Negeri yang
berbeda dari negeri kita. Saya bukan orang yang terlalu "konservatid"
dan pilih-pilih dalam menentukan kampus maupun negara. Alasan mengapa Taiwan
dan mengapa AU itu hanya satu, yaitu iseng-iseng. Selain itu mungkin lebih pada
faktor teman. Kebetulan teman saat kuliah S1 sudah terlebih dulu mengambil S2
di Taiwan. Dan saat dikontak, dia menyarankan AU karena waktu itu AU merupakan
salah satu primadona mahasiswa Indonesia di Taiwan. Tak kurang dari 70 an
mahasiswa Indonesia studi disana. Dibanding kampus lain, AU merupakan terbanyak
ke-2 setelah NTUST untuk jumlah mahasiswa Indonesia di Taiwan.
Kita mungkin pintar berbahasa Inggris, fasih dalam
berbicara, pintar dalam menulis, cakap dalam mendengarkan dan pandai bergaul.
Namun itu semua belum bisa dikatakan teruji jika belum pernah
tinggal dan berinteraksi dalam suatu kelompok masyarakat yang sangat berbeda
dari kelompok/lingkungan kita. Bisa saja kita dengan mudah berbicara bahasa
Inggris dengan sesame orang Indonesia karena aksennya sama. Tapi, apakah itu
menjadi jaminan orang lain dari Negara berbeda akan bersikap sama ketika kita
berbicara dengan mereka? Dalam benak saya, Taiwan mungkin akan memberikan
jawaban atas tantangan itu.
Dalam hal akademik maupun sistemnya, saya sendiri
tidak sampai detail menelusurinya. Bagi saya yang kemampuannya pas-pasan,
kuliah di luar negeri itu bukan sekedar permasalahan akreditasi kampus, jumlah
penelitiannya banyak, maupun memiliki banyak hak paten dan professor yang
terkenal. Bagi saya, kuliah di luar negeri lebih pada bagaimana kita mampu
beradaptasi dan mengembangkan diri pada lingkungan yang baru. Jika kampusnya
bagus dan punya professor banyak namun kita sendiri tidak bisa beradaptasi,
masih minder, dan tidak bisa melihat peluang, maka sebagus apapun kampusnya
akan sia-sia. Saya bukan orang yang bisa berjam-jam duduk di perpustakaan
membaca buku dan jurnal. Saya juga bukan orang yang senang menghabiskan waktu
berjam-jam diskusi dengan professor terkait hal akademik atau penelitian. Dan
AU ternyata memberikan itu. Saya diberikan kebebasan untuk melakukan penelitian
dan diskusi dengan professor melalui media apapun. Skype, Line, SMS, Telpon,
hingga tatap muka langsung. Saya juga tidak harus menghabiskan waktu berjam-jam
di perpustakaan hanya untuk mendownload dan membaca buku/jurnal karena kampus
memberikan akses open journal system dari layanan LAN yang ada di asrama. Dalam
hal bahasa, tak pernah terpikir bahwa ternyata orang Taiwan banyak yang tidak
bisa berbahasa Inggris. Jadi setinggi apapun nilai TOEFL kita, tetap saja
kemampuan adaptasi lebih dikedepankan menghadapi lingkungan yang sangat berbeda
ini. Kita dituntut untuk survive ditengah segala keterbatasan diri dan
lingkungan.
AU mungkin bukanlah pilihan terbaik untun melanjutkan
studi S2. Namun karakter, lingkungan, dan kebiasaan yang di AU yang kemudian
menjadikannya (menurut saya) lebih daripada yang lain. Saya mendapatkan
ketenangan, ketentraman, dan keramahan serta nilai-nilai kemasyaratakan Taiwan
di AU. Mungkin jika dibanding dengan kampus lain di Taiwan, AU bukanlah
apa-apa. Hanya sebuah kampus swasta yang terletak di pinggiran kota Taichung.
Namun, disini saya diajarkan bagaimana dengan status dan umur yang masih muda,
mampu bergerak maju menjadi yang terdepan. Sepeninggal saya di Taiwan, kampus
AU meresmikan Museum Modern yang dirancang oleh arsitek Jepang yang cukup
terkenal. Lalu disusul meresmikan Rumah Sakit (Tipe A). Jika kita berkaca dari
kampus - kampus lain, AU mungkin satu-satunya kampus di Taiwan yang membuat 2
mega proyek (Museum dan Rumah Sakit) dalam kurun waktu 5 tahun.
***
Awalnya saya benar-benar tidak menyangka bahwa saya
akan kuliah di salah satu kampus yang paling eksotis di Taiwan. Disini, saya
dipertemukan dengan dosen-dosen muda dari berbagai latar belakang. Bahkan
pembimbing tesis saya merupakan warga negara Iran yang menghabiskan umurnya
untuk studi di Amerika dan kini mengajar di Taiwan.
Saat pertama kali menerima LoA dari pihak kampus, saya
tidak bisa membayangkan berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk menghidupi
kebutuhan sehari-hari selama di Taiwan. Saya juga tidak terpikir bahwa nantinya
saya malah bisa bekerja sampingan untuk menambah uang bulanan. Seminggu pasca
tiba di Taiwan, saya malah sudah bekerja sampingan. Padahal saya sama sekali
tidak pernah keluar hingga ke pusat kota dalam minggu-minggu pertama di
Taiwan.
***
Mengingat semua kenangan selama di Taiwan, membuat
saya menegaskan kembali akan "kebenaran" dalam nasihat orang tua
:
Tuhan tidak pernah
salah memutuskan takdir hamba-Nya
Rencana Tuhan jauh
lebih baik dari rencana manusia, karena rencana Tuhan berasaskan manfaat dan
visi, sedangkan rencana manusia berasaskan emosi
Dimana ada
kemauan, disitu ada jalan. Peluang itu adalah manusia sendiri yang membuat,
sehingga tugas manusia adalah membuat peluang bukan menunggu peluang
***
Taiwan memang bukan negara favorit bagi para pencari
beasiswa / studi lanjut. Tapi disini, peluang sudah ada tanpa harus diciptakan.
Tinggal kita mau atau tidak memanfaatkan peluang tersebut untuk kemajuan diri.
Saya sendiri lebih senang menyebut Taiwan sebagai my second homeland. Karena
diantara beberapa negara yang saya kunjungi, Taiwan adalah negara yang
"Islami" walau kenyataannya mereka negara sekuler dan liberal. Di
Indonesia yang notabenenya berpenduduk mayoritas muslim, kita memaksakan bahwa
kita adalah negara yg islami. Tapi sesungguhnya banyak juga nilai-nilai Islam
yang justru tidak dilaksanakan (dalam kaitannya dg muamallah). Di Taiwan,
pemerintah dan masyarakatnya tidak pernah mengidentikkan diri mereka pada satu
agama tertentu, namun mereka justru sangat menerapkan nilai-nilai muamalah
Islam dalam kehidupan sehari-harinya, seperti kejujuran, ketertiban, dan
kedisiplinan.
Jika ada kesempatan, mungkin saya akan kembali ke
Taiwan. Semoga !!!
Tags:
Formosa
0 komentar