MERAPI ; MELAWAN PHOBIA, MENJADI MANUSIA SEUTUHNYA

Baca Juga

“Relawan Tak Dibayar, Bukan Karena Tak Bernilai, Tapi Karena Tak Ternilai”
-Anies Baswedan, Mendikbud RI-

Pagi itu tanggal 15 Oktober 2010, setibanya saya di Yogyakarta setelah 2 minggu berada di Negara Vietnam dalam rangka mewakili Indonesia dalam ajang pertukaran budaya, saya dihadapkan pada kondisi bahwa Yogyakarta sedang siaga 1. Mengapa? Karena Gunung Merapi mengalami peningkatan aktifitas yang signifikan sehingga sewaktu-waktu bias saja terjadi bencana gunung meletus.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengalami hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya sudah terbiasa dengan yang namanya hiking maupun mendaki gunung. Itupun hanya untuk hiburan semata. Tidak sampai yang benar-benar menguras fisik dan merelakan untuk melewati waktu memandangi ciptaan Tuhan. Kali ini saya benar-benar dituntut untuk melewati tapal batas mental, fisik, nyali, dan pikiran saya selama ini.

Gunung Merapi saat Erupsi pada hari Selasa, 26 Oktober 2015 Pkl. 17.05 WIB

Hari selasa di akhir Oktober 2010, kami yang tinggal di seputaran Yogyakarta dikagetkan dengan letusan gunung merapi. Dikabarkan waktu itu banyak masyarakat yang menjadi korban karena menolak untuk turun dari kawasan”merah” gunung merapi. Hingga sang penjaga merapi juga turut menjadi korban. Pengungsian dibuka dimana-dimana. Umumnya lokasi berjarak sekitar 5 hingga 10 Km dari puncak merapi. Namun karena terbatasnya jumlah relawan disana, sehingga banyak pengungsian yang tidak bias melayani pengungsi dengan maksimal. Terutama dalam hal dapur umum dan psikososial.

Melihat fenomena ini, saya tergerak untuk ikut terjun langsung ke lapangan. Namun perdebatan mental terjadi dalam batin saya.

“Ini daerah rawan bahaya Ndi. Sewaktu-waktu bias saja kita yang justru jadi korban amukan merapi” Sergah batin saya.
“Ndi, ini bukan soal berani atau tidak. Ini bukan soal kita yang akan menjadi korban atau tidak. Ini adalah tentang kemanusiaan. Apa kamu tega untuk ongkang-ongkang kaki di kamar kos mu, namun di sisi yang lain, banyak masyarakat yang justru 180 derajat mengalami hal yang berbeda. Terkungkung dalam nuansa bencana dan ketakutan. Apakah kamu akan membiarkan dirimu terpasung oleh nyali sementara nuranimu sebenarnya ingin membantu?” Balas batin saya yang lain.
“Ah…… kamu bisa apa disana? Kamu sendiri tidak memiliki kemampuan SAR seperti para Tagana dan Tim-tim yang ada disana? Kamu hanya cari mati saja disana” Jawab batin saya sebelumnya yang terus menggoda saya untuk menolak turun langsung ke lapangan.

Dalam kebimbangan ini, saya coba terus meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan soal maut atau mencari bahaya. Ini adalah tentang kemanusiaan. Ini adalah tentang seberapa manfaat diri kita bagi manusia yang lain. Secara tidak sengaja saya kemudian mendengar dari berita televisi milik teman sebelah kamar yang mengabarkan bahwa banyak pengungsi yang tidak terjamah oleh relawan karena terbatasnya bantuan dan tenaga relawan. Saat itu juga saya yakinkan sekali lagi diri saya bahwa saya harus terjun ke lapangan. Saya harus membantu mereka walau sewaktu-waktu apa saja bisa terjadi di tengah suasana bahaya dan kegentingan keadaan waktu itu.

Rabu siang saya dengan membawa serta 10 orang anggota tim dari organisasi mahasiswa, naik ke merapi dan berada di pos pengungsian. Sebelumnya saya mendapatkan arahan dari Pos terpadu milik pemerintah yang mendistribusikan relawan ke sejumlah pos pengungsian. Saat di pos terpadu, lagi-lagi saya dihadapkan pada perang batin, apakah mau cari aman saja dengan menjadi relawan di pos terbawah (yang paling jauh dari puncak merapi) atau mau menjadi relawan di pos teratas (yang paling dekat dari puncak merapi) yang notabenenya masing kekurangan banyak relawan karena banyak relawan yang tidak berkenan ditempatkan disana.

Pilihan pun jatuh di pos pengungsian paling atas. Itu merupakan pos teratas yang hanya berjarak 7 Km dari puncak merapi. Sewaktu-waktu bisa saja pos ini disapu bersih oleh awan panas merapi yang saat itu mengintai semua relawan dan korban. Sekali lagi saya coba meyakinkan diri saya dengan ucapan “Kalau sudah saatnya berpulang ke-hadiratNya, maka bisa saja itu terjadi dimanapun. Namun setidaknya kepulanganku adalah dengan membawa manfaat (walau hanya sedikit) bagi masyarakat”.

Pengungsi di Pos Pengungsian Ngestiharjo, Sleman

Selama 2 hari di pengungsian, saya dan tim berjibaku menyiapkan segala sesuatu terkait dengan pelayanan terhadap korban. Baik itu untuk makanan, minuman, hingga pendampingan psikososial yang merupakan kemampuan yang kami dapat dalam pelatihan di kampus. Tiap 3 jam sekali kami berhenti beraktifitas, untuk sekedar mendengarkan update berita kondisi merapi melalui handy talkie milik Tim SAR yang ada di pos pengungsian. Tidak ada listrik, hanya listrik genset yang kami hidupkan tiap malam hari saja. Sehingga kami juga harus terus-terusan berhemat tenaga listrik untuk radio mini ini. Kondisi waktu itu sungguh tidak menentu. Kecemasan, kekhawatiran, akan datangnya amukan merapi yang lebih besar menyelimuti kami semua. Tak terkecuali para bapak-bapak tentara yang juga menjadi relawan bersama kami di pos tersebut.

Relawan sedang melakukan pendampingan Psikososial di pengungsian

Kondisi merapi yang berubah-ubah tiap 3 jam, menjadi sebuah renungan tersendiri, bahwa sungguh manusia kecil dibandingkan kuasa-Nya. Manusia hanyalah bagian kecil dari alam semesta. Perilaku manusia yang kadang justru banyak mengusik alam dan makhluk lain, membuat manusia terkadang lupa bahwa hidup itu bukan sekedar mengambil, melainkan juga menjaga. Menjaga apa yang ada di sekitar kita. Menjaga ciptaan-ciptaan-Nya dan melestarikannya. Alam dan manusia sesungguhnya saling menjaga. Namun kita sebagai manusia akhirnya banyak yang lalai tentang filosofi ini karena ditutupi nafsu serakah untuk mengambil semua hal dari alam.

Kamis, 28 Oktober 2010 Pkl. 18.00 WIB. Saya dan teman-teman masih beraktifitas seperti hari sebelumnya di pos pengungsian. Menyiapkan makan dan minum serta bermain dengan anak-anak di pengungsian. Tidak ada firasat apapun. Hanya memang berita di Handy Talkie menyebut ada gejala peningkatan aktifitas seismic gunung merapi. Kegempaan local (gempa karena gunung berapi) semakin kerap terjadi dan terekam dalam seismograph pos pengamatan gunung merapi. Sama seperti hari-hari sebelumnya, saya dan teman-teman tetap menganggapnya sebagai peringatan agar tetap waspada, namun tidak merasakan hal yang luar biasa yang akan terjadi berikutnya.

Salah satu korban dalam erupsi Merapi ketika sama-sama berlari turun ke Stadion Maguwoharjo

Pkl. 22.00 ketika banyak para pengungsi dan relawan mulai merebahkan badan guna mengembalikan kondisi badan, kami semua dikagetkan dengan suara sirine meraung-raung. Sirine dari mobil polisi, tentara, hingga ambulance yang semuanya saling menyahut. Keadaan berubah menjadi lebih mencekam dengan matinya genset di pos pengungsian. Ada seruan dari Tim SAR untuk mengevakuasi sejauh mungkin semua korban dan relawan yang ada di pengungsian karena merapi mengalami erupsi besar dan meluncurkan banyak awan panas. Serta merta kami bergerak mengarahkan para pengungsi dengan penerangan seadanya untuk lari dan naik menuju mobil pengangkut milik TNI dan Polri. Saya pun turut ikut dalam mobil tersebut. Keadaan bertambah mencekam tatkala hujan abu vulkanik melanda kami. Hujan abu semakin lebat tatkala mobil kami terhadang oleh kendaraan-kendaraan lain yang beramai-ramai mengungsi ke bawah. Saya dan tim terpisah karena keadaan. Muka saya dipenuhi oleh abu vulkanik merapi yang semakin deras turun dari langit. Tak sabar menunggu di dalam mobil, saya meminta kepada tentara yang juga ikut dalam mobil untuk membuka penutup bak agar saya dan relawan bisa berlari saja. Karena sungguh tidak mungkin apabila harus menunggu hingga kemacetan terurai.

Para pengungsi dan relawan turun dari truk dan lari agar tidak terjebak macet

Di saat itu, saya merasakan maut  hanya berjarak satu jengkal dari kepala saya. Sewaktu-waktu bisa saja awan panas menerkam kami. Perasaan khawatir, cemas, takut semua menjadi satu. Bingung dan tak bisa diuraikan. Saya hanya percaya bahwa sesungguhnya semua sudah digariskan. Dalam hati, saya terus-terusan beristighfar sembari berlari mengikuti jalan turun. Berusaha untuk menenangkan hati yang terus-terusan berdegup kencang dengan men-set pikiran bahwa saya pasti selamat.
 
Hujan abu yang semakin deras pada erupsi tanggal 28 Oktober 2010 Pkl. 23.00 WIB
Sesampainya di Jalan Kaliurang KM 14 (Di depan Universitas Islam Indonesia), saya, relawan lain, dan beberapa korban menaiki sebuah truk polisi yang siap mengangkut kami ke pos pengungsian lain yang lebih aman. Tepat Pkl. 00.30 WIB kami disajikan sebuah pertunjukan alam yang mengagumkan. Suara menggelegar layaknya ledakan bom. Hujan abu yang semakin deras, hingga langit yang berkilatan karena bersentuhannya partikel-partikel proton dari atmosphere dengan partikel-partikel neutron dari abu gunung merapi (Belakangan saya ketahui bahwa erupsi merapi malam tersebut adalah yang terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir). Sungguh ini sebuah pertunjukan untuk mengingatkan sekali lagi bahwa manusia sangatlah kecil dalam tatanan jagad alam raya.
 
Salah satu korban erupsi gunung Merapi yang baru tiba di Stadion Maguwoharjo, Sleman
Saya dan relawan dalam truk tadi sampai di pos pengungsian di Stadion Maguwoharjo, Sleman Pkl. 02.00 WIB. Disana saya hanya melihat muka-muka yang sama. Muka yang dipenuhi oleh abu vulkanik yang menampakkan rasa cemas dan takut serta kekhawatiran. Saya bersyukur bahwa semuanya bisa selamat sampai di pengungsian.

Dari kejadian ini saya banyak belajar, bahwa sesungguhnya relawan itu bukan sekedar tentang kepahlawanan dan patriotisme. Relawan itu adalah tentang kemanusian. Tentang sebuah makna Cross Over The Limit. Melewati batas kemampuan diri untuk bisa berguna dan bermanfaat bagi sesama. Melewati rasa takut, khawatir dan perasaan-perasaan lain yang kadang justru melemahkan kita untuk bisa berbuat lebih bagi kemanusiaan. Bagi saya ini adalah sebuah nilai. Nilai tentang sebuah pembelajaran dari alam. Nilai tentang kemanusiaan. Jika setiap dari kita mampu untuk melewati batas-batas kemampuan wajar kita untuk diarahkan pada hal yang positif, ini akan menjadi sebuah nilai tambah kita sebagai manusia seutuhnya. Takut dan cemas adalah perasaan manusiawi dari manusia. Kita tidak bisa lepas dari rasa takut dan cemas. Namun jangan jadikan perasaan tersebut sebagai penghalang untuk berbuat lebih untuk hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain. Takut dan cemas hanya bisa dikendalikan dan di-manage agar tidak menghalangi kita untuk terus bermanfaat bagi peradaban dan umat lainnya. Semoga kita terus belajar untuk menjadi manusia yang berguna bagi sesamanya.

Share:

0 comments