MUHAMMADIYAH ABAD KEDUA ; GERAKAN INTERNASIONALISASI DAKWAH BERKEMAJUAN
Baca Juga
Muktamar
Muhammadiyah ke-47 baru saja selesai, namun semangat dari Muktamar tersebut
tidak ikut selesai. Justru semakin mencambuk
para kader untuk terus menggiatkan amal-amal usaha Muhammadiyah di berbagai
sektor, tak terkecuali bagi para kader yang berada di luar negeri yang
tergabung dalam Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah yang tersebar di 13
negara di 5 benua di dunia.
Perhelatan akbar
Muktamar Muhammadiyah ke-47 ini menjadi tonggak sejarah tersendiri bagi PCIM.
Semenjak PCIM Mesir didirikan pertama kali tahun 2005, hingga saat ini, PCIM
berjumlah 13 cabang, baru di Muktamar ke-47 inilah PCIM bisa berkumpul,
bersilaturahmi, bertukar pikiran secara langsung.
Dari ajang
Muktamar ini, PCIM se-dunia menyepakati beberapa hal terkait dengan sikapnya
menatap Muhammadiyah di abad keduanya ini serta bagaimana pengembangan PCIM di
berbagai negara. Beberapa poin yang
disepakati justru menjadi rekomendasi Muktamar untuk ditindaklanjuti di
kepengurusan 5 tahun mendatang.
Internasionalisasi
Muhammadiyah dan Gerakan Dakwah Berkemajuan
Muhammadiyah di
usianya yang memasuki babak baru abad keduanya, sudah seharusnya mengagendakan
gerakan internasionalisasi Muhammadiyah. Dalam pidatonya saat terpilih menjadi
Ketua Umum PP Muhammadiyah di Muktamar ke-45 di Malang mengatakan bahwa dalam
periode kepemimpinannya, Pak Din Syamsuddin mengagendakan untuk
menginternasionalisasi Muhammadiyah sebagai ikhtiar dakwah yang semakan luas.
Bukan hanya isapan jempol semata, dalam 10 tahun terakhir lahir 13 Pimpinan
Cabang Istimewa Muhammadiyah yang tersebar di 13 negara dan kerjasama
internasional dengan beberapa Sister
Organization yang sepaham dengan Muhammadiyah.
Namun gerakan
internasionalisasi Muhammadiyah ini kiranya perlu direvitalisasi ulang strategi
dan pengembangannya. Permasalahan yang muncul di lapangan adalah kekurangan
kader dalam memberdayakan cabang-cabang Istimewa ini. Sebagai contoh di Taiwan.
Saat didirikan tahun 2014, mayoritas kader adalah mahasiswa yang menempuh
jenjang S2 dan S3. Namun tidak berselang lama langsung drop jumlah kadernya karena telah menyelesaikan studinya. Beda
Taiwan, beda lagi Iran. Didirikan tahun 2007, PCIM Iran justru kemudian menjadi
mati suri, ini disebabkan ketiadaan kader yang bersekolah / mukim di Iran
setelahnya. Baru pada tahun 2015 ini PCIM Iran mulai menggeliat dengan hadirnya
1 – 2 mahasiswa yang mengambil studi disana.
Kiranya PP
Muhammadiyah melalui Majelis Dikti dan Majelis Pendidikan Kader, mulai
memikirkan bagaimana merekrut dan mengirimkan para kader yang berada di PTM
untuk melanjutkan studi di negara yang ada PCIM-nya. Ini perlu sebagai asupan nutrisi penting bagi para PCIM
agar terus sustain dalam melaksanakan
gerakan dakwahnya di negara tersebut.
Muhammadiyah
sendiri sebenarnya sudah cukup dikenal di beberapa kalangan di negara PCIM
berada. Sebagai contoh di Taiwan. Chinese
Muslim Association (CMA) sebagai lembaga negara yang menangani urusan Islam
di Taiwan, ternyata sudah lebih dari 7 tahun mengenal Muhammadiyah. Sehingga
mereka sangat senang saat PCIM Taiwan berdiri disana. Dakwah yang dijalankan
oleh PCIM Taiwan yang mengedepankan pendekatan logis dan kultural, mampu
mengambil perhatian banyak kalangan, termasuk CMA. Bahkan dalam 1 tahun
terakhir, PCIM Taiwan yang menggunakan metode Hisab Wujudul Hilal dengan Markaz
Hisab berada di Kota Chiayi, menjadi salah satu referensi bagi CMA untuk
menentukan kapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah bagi muslim di Taiwan.
Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang
bertanggungjawab dalam mengatasi pekerjaan rumah yang besar ini? Jawabannya
tentu adalah kita bersama. Kita disini maksudnya adalah para kader Muhammadiyah
yang memiliki kemampuan untuk itu. Seandainya PR ini hanya kita serahkan saja
kepada Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, tentu tidak fair namanya.
Mereka memiliki keterbatasan jumlah personil dan kemampuan. Nah, seandainya
para kader yang merasa memiliki kemampuan untuk itu, kiranya bisa urun tangan
membantu PR besar ini demi Muhammadiyah yang mendunia.
Penerjemahan
Buku dan Kitab Muhammadiyah ke Dalam Bahasa Internasional
Banyak peneliti
asing yang tertarik untuk meneliti tentang Muhammadiyah. Selain sebagai gerakan
Islam modern pertama dan tertua di Indonesia, Muhammadiyah juga menjadi incaran
bagi para peneliti yang ingin mengetahui tentang Muhammadiyah sebagai gerakan filantropi yang
memiliki amal usaha terbanyak di dunia. Namun para peneliti ini mengalami
kesulitan dalam mendapatkan referensi-referensi yang terkait dengan
Muhammadiyah. Salah satu penyebabnya adalah minimnya buku-buku serta kitab
produk Muhammadiyah yang diterjemahkan dalam bahasa internasional.
Padahal apabila,
buku-buku dan putusan-putusan maupun kitab-kitab yang ada di Muhammadiyah
diterjemahkan dalam bahasa internasional, tentu syiar Muhammadiyah di luar
negeri akan semakin bersinar. Banyak kalangan yang kemudian bisa mengakses dan
membaca sejarah, perjalanan, serta apa bagaimana Muhammadiyah bisa seperti
ini.
Sebagai kader
yang pernah merintis berdirinya Cabang Istimewa di luar negeri, saya merasakan
bagaimana susahnya menjelaskan tentang Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Terbatasnya kemampuan saya dalam menerjemahkan istilah-istilah yang ada di
buku-buku Muhammadiyah, menyebabkan ketidakmaksimalan saya kemudian dalam
menjelaskan Muhammadiyah secara gamblang seperti ketika saya menjelaskan
tentang Muhammadiyah dalam bahasa Indonesia.
Persoalan
minimnya buku-buku referensi terkait Muhammadiyah yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa internasional, bukan sekedar persoalan menerjemahkan bahasa
Indonesia ke dalam bahasa asing. Perlu ada semacam "penyederhanaan"
istilah maupun penjelasan lebih terkait dengan istilah-istilah yang tidak jamak
digunakan dalam referensi internasional, sehingga ketika para pembaca asing
membacanya, tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Kalender
Hijriyah Internasional
Muktamar ke-47
ini juga menjadi ajang silaturahmi dan tukar pikiran antara PCIM dengan Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pokok pikiran yang dijadikan topik adalah
mengenai adanya unifikasi kalender hijriah internasional. Seperti yang
disebutkan diatas, PCIM di berbagai negara menjadi tempat bertanya bagi
pemerintah negara setempat atau perwakilan Indonesia di negara tersebut
mengenai penetapan hari-hari besar Islam. Dengan tidak adanya unifikasi ini,
PCIM terkadang harus melakukan hisab sendiri dengan Markaz yang tentunya harus
berada di negara tersebut. Dan menjadi soal adalah tidak semua PCIM memiliki
anggota yang bisa melakukan hisab dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh
Muhammadiyah. Seandainya unifikasi kalender hijriyah internasional ini bisa
dilakukan mulai tahun depan, maka PCIM akan semakin percaya diri dalam
membumikan Islam dengan manhaj Muhammadiyahnya. Untuk itu, PCIM se-dunia
mendorong PP Muhammadiyah untuk pembuatan kalender hijriyah internasional ini.
Adapun masih terjadi penolakan di beberapa kalangan, maka minimal PP
Muhammadiyah menyebutkan klausul negara-negara dimana terdapat PCIM dalam
maklumat penetapan hari besar Islamnya.
Pimpinan Cabang
Istimewa Muhamamdiyah memang masih baru seumur jagung, namun justru menjadi
garda terdepan dalam internasionalisasi nilai-nilai Islam melalui manhaj
Muhammadiyah di kalangan Internasional. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah
pencerahan, sesuai dengan tema besar muktamarnya tahun ini, harus mampu membuat
penyempurnaan dan pembaharuan strategi guna revitalisasi peran PCIM di dunia.
Seandainya PCIM mampu mengembangkan amal-amal usahanya melalui dakwah-dakwah
internasionalnya, niscaya Muhammadiyah akan semakin mampu diterima di kancah
internasional.
Andi Azhar, Ketua
Majelis Organisasi dan Kaderisasi PCIM Taiwan, Dosen di Universitas
Muhammadiyah Bengkulu
*Tulisan ini dimuat dalam Majalah Khittah dari PWM Sulawesi Selatan edisi X bulan Agustus 2015.
Tags:
Persyarikatan
0 komentar