MENDAYUNG DIANTARA KARANG

Baca Juga

Hari ini secara tidak sengaja saya membaca sebuah artikel yang cukup menarik dari postingan di FB teman lama saya. Artikel ini diangkat dari kisah nyata seorang wanita karir yang gajinya sudah sangat tinggi, memutuskan mengundurkan diri dan lebih memilih mengabdi menjadi ibu rumah tangga untuk melayani suaminya yang bekerja sebagai penjual es keliling. Sebuah keputusan mulia dan "penuh resiko". Membaca artikel ini, saya jadi teringat kisah dari teman saya, yang juga mengalami hal serupa. Jadi tulisan ini akan lebih mengarah pada sharing dari cerita teman saya tersebut.

Teman saya ini merupakan seorang perempuan yang cukup gigih dalam memperjuangkan pendidikan karakter bagi anak Indonesia. Dia adalah seorang dosen yang dikenal sangat care terhadap persoalan-persoalan pendidikan bagi anak-anak. Saya mengenalnya melalui jasa baik seorang yang saya anggap sebagai "guru kedua" saya. Dia awalnya diperkenalkan sebagai asisten dari seorang Ahli Pendidikan Karakter di Indonesia. Obrolan kami berlanjut hingga beberapa minggu, sampai saya mengetahui perjalanan hidupnya yang membuat keputusan-keputusan mulia.

Dia mendapatkan gelar masternya di bidang pendidikan dari sebuah kampus bergengsi di Indonesia. Dia juga dikenal cukup aktif mengikuti seminar-workshop-training maupun acara-acara lain yang relevan dengan pengembangan pendidikan karakter anak. Dari dialah saya tau lebih dalam tentang Home Schooling, kelebihan dan kekurangannya, serta hakikat pendidikan karakter anak di dalam keluarga. 

Dia sudah berpenghasilan cukup tinggi sebagai seorang dosen. Bahkan [kalau tidak salah] dia sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen. Bagi orang awam seperti saya, tentu yang terbayang adalah nominal yang fantastis. Apalagi dengan tunjangan-tunjangan lain yang diberikan setiap semesternya. Berbeda dengan pasangannya, suaminya hanya seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Mereka dikaruniai 2 orang anak yang masih Balita dan memasuki jenjang SD.

Ketika suaminya harus berangkat untuk studi S2 di luar negeri, ini menjadi tantangan tersendiri bagi dia dan kedua anaknya. Apalagi saat itu anak-anaknya yang tengah berada di masa golden age sangat membutuhkan peran lengkap dari kedua orangtuanya. Berbekal latar belakangnya sebagai seorang pendidik dibidang pendidikan karakter, dia berhasil membuat hubungan emosional antara orangtua dan anak menjadi sangat dekat. Ini merupakan prestasi sendiri yang saat ini banyak diidamkan oleh laki-laki di Indonesia, yang mana mereka memimpikan kelak pasangannya mampu menjadi permaisuri dan guru di keluarganya. Bukan sekedar guru ilmu pengetahuan formal, namun juga sebagai guru agama dan guru karakter bagi anak-anaknya kelak.

Kembali ke cerita teman saya tadi, satu semester pertama ditinggal sang suami kuliah di luar negeri, menjadi ujian terberat bagi keluarganya. Anaknya seperti mengalami post love syndrome. Anaknya menjadi sering sakit karena kangen dengan ayahnya. Ditambah lagi kesibukan dia mengajar di kampus, sehingga anaknya menjadi kurang mendapat perhatian yang cukup dengan status "temporary single parent". Suaminya sebenarnya sangat gelisah melihat perkembangan anaknya yang menjadi sering sakit karena kepergiannya. Sempat terpikir untuk mengundurkan diri saja dari program S2 nya di luar negeri. Namun istrinya berbesar hati mendorong sang suami untuk terus melanjutkan studinya.

Melihat perkembangan psikis dari kedua anaknya yang membutuhkan kasih sayang lengkap dari kedua orangtuanya, akhirnya membuatnya mengambil keputusan yang cukup kontroversial. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari statusnya sebagai dosen dan melepas semua tunjangan serta gajinya yang terbilang cukup lumayan saat ini. Bagi sebagian kalangan, ini merupakan keputusan salah dan terlalu gegabah. Namun dia selalu menjawab cibiran tersebut dengan jawaban yang [menurut saya] mantap tak terbantahkan. Dia menjawab "Keputusan ini mungkin terkesan bodoh dan sangat tidak masuk akal karena kalian hanya melihat dari apa yang tampak saja [materi]. Bagi saya itu semua hanyalah urusan dunia. Saya lebih memilih hal yang lebih penting menurut saya, yaitu urusan dunia-akhirat. Saya memilih untuk mengabdi secara penuh untuk melayani suami saya dimanapun dan kapanpun dia berada serta saya juga lebih memilih menjadi ibu dan pendidik utama bagi kedua anak saya. Saya tidak akan memaafkan diri saya selamanya apabila kedua anak saya mendapatkan perhatian dan pendidikan yang salah. Saya mau mereka menjadi generasi emas dengan kemampuan saya dan suami saya sendiri sebagai pilar pengajar utama bagi mereka. Tidak apa-apa saya tidak memiliki banyak materi, rumah yang bagus, atau mobil terbaru sekalipun seperti milik kalian, karena saya lebih memilih menginvestasikan syurga pada kedua anak saya ini. Ini adalah anak hasil buah cinta saya dan suami saya. Saya sebagai orangtuanya memiliki hak penuh untuk mengarahkan dan mendidik anak saya ini. Saya tidak rela menyerahkan pendidikan anak saya ini kepada orang yang belum saya kenal dan saya tidak tau latarbelakang serta track record dari pengajar tersebut. Bagaimana mungkin saya menyerahkan pendidikan anak saya pada orang yang jenjang pendidikan formalnya lebih rendah dari saya, sedangkan saya sendiri memiliki kapasitas untuk itu. Jadi sangat aneh rasanya seandainya saya tidak turun tangan sendiri mendidik anak saya."

Itulah jawaban yang sampai sekarang masih terngiang di telinga saya. Sungguh, inilah orang ter-idealis yang pernah saya kenal. Argumentasinya melawan stigma masyarakat sungguh luar biasa. Tiap kalimat yang ia ucapkan, mampu merobohkan logika mainstream yang saya miliki. Yang lebih membuat saya salute pada dia adalah jawabannya yang lain mengenai alasan dia berhenti dari statusnya sebagai dosen yang berpenghasilan tinggi.

"Gaji pokok saya sebesar 3 juta rupiah. Ditambah tunjangan ini itu, totalnya menjadi 5 juta rupiah. Kemudian saya juga mendapat tambahan dari gaji sertifikasi saya setiap bulan sebesar satu kali gaji pokok, maka total yang saya dapatkan adalah sebesar 8 juta rupiah. Sedangkan suami saya, saat dia bekerja dulu berpenghasilan tetap 1,5 juta rupiah. Kalau sedang ada proyek tambahan, kadang bisa sampai 2-2,5 juta rupiah. Saat ini dia sudah resign dari kantornya dan hanya berpenghasilan sekitar 2 juta rupiah setiap bulan dari beasiswanya untuk hidup di luar negeri. Saya tidak mau menjadi istri yang durhaka karena tertutupnya iman saya oleh gemerlapnya materi yang saya peroleh. Walaupun dulu saya pernah berjanji [saat awal menikah] bahwa saya siap dengan sepenuh hati dan hormat menerima gajinya berapapun jumlahnya, ternyata dalam perjalanannya saya pernah tergelincir juga. Waktu itu perusahaannya mengalami defisit anggaran, sehingga gajinya juga berkurang. Sudah untung dia tidak di-rumahkan seperti pegawai yang lain. Saat ia memberikan gajinya padaku ternyata aku menceletuk "Kenapa cuma segini yang diberikan, kemana yang lain. Ini hanya 10 % dari besar gaji milikku. Ini tidak cukup untuk makan sebulan". Karena celetukan itu, dia menjadi murung dan sedih. Sehingga nampak nafsu makannya berkurang. Wajahnya lesu tak bergairah. Saya pun lantas tersadar dengan kesalahan ini. Akhirnya saya bersujud padanya untuk meminta maaf. Saya takut Allah murka dan menjadikan haram bagi jasadku memasuki syurga. Oleh karena itu, demi meraih ridho Allah, dan demi keutuhan serta keberkahan di dalam keluarga, saya memutuskan kini untuk menanggalkan semua yang saya miliki demi mengabdi dan melayani dia sepenuhnya".

Aku sempat tahu bahwa dia akhirnya menjual rumah yang selama ini mereka tempati. Itu semua dilakukan semata-mata untuk mendapatkan tabungan bagi dia dan keluarganya hidup di negeri orang. Dia mengajak serta kedua anaknya untuk tinggal bersama suaminya. Ini dilakukannya sebagai upaya memberikan dukungan pada studi sang suami yang berencana melanjutkannya sampai jenjang S3 disana. Dia tidak mau suksesnya di dunia tidak dibarengi dengan suksesnya dia di keluarga dan suksesnya dia membuka kunci surga. Baginya, keluarga dan kehidupan setelah mati adalah 2 hal penting yang harus dia perjuangkan saat ini. Kesuksesan dunia tidak akan berarti apapun jika keluarga berantakan dan Allah [melalui suaminya] mengharamkan surga untuknya.

Dari kisah teman saya tersebut, saya mendapati beberapa hal penting yang bisa saya jadikan pelajaran kedepannya.

  1. Jangan malu dengan pendidikan tinggi yang dimiliki lantas kemudian menjadi ibu rumah tangga. Justru harusnya bangga karena menjadi ibu rumah tangga adalah seberat-beratnya pekerjaan dan semulia-mulianya pekerjaan bagi seorang perempuan
  2. Uang tidak menjadi jaminan seseorang akan mendapatkan keluarga yang harmonis dan penuh keberkahan. Apa guna gaji besar tapi justru menimbulkan banyak masalah. Tapi ini juga bukan berarti hidup bisa tanpa uang. Tetapi yang lebih ditekankan adalah pada sisi keberkahannya, bukan pada nominalnya. 
  3. Tidak ada larangan dalam Islam bagi seorang perempuan untuk bekerja. Bahkan justru disarankan oleh Rasulullah untuk membantu kondisi ekonomi keluarga. Tapi harus sesuai dengan qoidah dan kodrat seorang perempuan, seperti kewajibannya untuk menghormati-melayani-serta mendukung suami bagaimanapun kondisinya. Mencontoh ummu khadijah RA dan Rasulullah Muhammad SAW adalah pilihan yang sangat tepat.
  4. Anak adalah investasi terbesar dalam kehidupan. Merekalah yang nantinya akan menjadi penerus gen kalian. Selain memang anak adalah tabungan syurga bagi kedua orangtuanya. "Ketika anak adam mati, terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara, yaitu Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak soleh-solehah yang mendoakan kedua orangtuanya" Al-Hadits.
  5. Jadikanlah suami sebagai ladang pahala untuk istri, dan jadikanlah istri sebagai ladang pahala untuk suami dengan saling menyayangi dan saling mendukung untuk bersama-sama meraih ridho Allah, karena itulah tujuan akhir berkeluarga.
  6. Dorong istri untuk terus maju dan berkarya di bidang apapun. Manfaatkan setiap nikmat yang Allah berikan pada laki-laki/perempuan untuk bisa bermanfaat bagi umat dan agamanya.

Hikmah dari poin diatas tidak hanya berlaku bagi mereka yang sudah menikah saja, namun juga pada setiap manusia yang kelak akan menikah. Tulisan ini hanya sebagai wejangan pada diri saya pribadi, agar kelak bisa mempersiapkan diri menjadi imam bagi keluarga untuk bersama-sama menuju jannatul 'naim.
Wallahu'alam bishawab.

dR.




Share:

0 komentar