MASKULINITAS MAHAR
Baca Juga
"Sebaik-baiknya pria adalah ia yang memberi mahar tinggi kepada wanita dan sebaik-baiknya wanita adalah ia yang tidak menuntut mahar tinggi kepada si pria"
Pernikahan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia
merupakan hal yang sangat urgent dan sakral. Hampir seluruh adat masyarakat di
Indonesia memandang pernikahan sebagai sebuah momen yang secara serius
membutuhkan perhatian besar. Segala hal yang menyangkut tentang pernikahan
haruslah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Tata cara dan adat pernikahanpun
berbeda-beda untuk setiap daerah di Indonesia. Adat pernikahan di Sumatera
tentu berbeda dengan adat pernikahan yang ada di Sulawesi.
Adat pernikahan yang dilangsungkan tentu memiliki
makna tersendiri di setiap daerah. Prosesi adat pernikahan tidak hanya
dilakukan pada saat pernikahan berlangsung, namun juga sebelum dan sesudah
pernikahan. Seperti dalam adat Jawa, dikenal istilah midodareni.
Midodareni adalah fase sebelum pernikahan yang melarang kedua calon mempelai
dilarang bertemu dalam rentang waktu satu bulan. Pun begitu dengan adat
pernikahan di daerah lain, seperti di Lampung dikenal dengan istilah nyakak
/ matudau dimana si calon mempelai laki-laki harus membayar sejumlah uang
kepada pihak perempuan. Di Bugis dikenal dengan istilah mappenre dui yang
merupakan kelanjutan dari prosesi setelah lamaran diterima yang mengharuskan
mempelai pria memberikan sejumlah uang untuk pesta pernikahan. Di padang
dikenal juga dengan istilah bajapuik yang justru kebalikan dari
beberapa adat yang ada di Indonesia. Karena di Padang menganut sistem
matrilineal, maka dalam tradisi Padang si perempuan lah yang harus memberikan
sejumlah uang kepada pihak mempelai laki-laki.
Uniknya berbagai macam prosesi adat pernikahan yang
ada di Indonesia, memiliki sebuah garis kesamaan, yaitu adanya pemberian mahar.
Tulisan ini tidak akan membahas secara detail mengenai mahar di berbagai
daerah, namun saya akan coba menggambarkan secara garis besarnya saja yang
nanti akan bermuara pada sebuah konsepsi mengenai perlukah adat seperti ini
dipertahankan.
Aceh
Kata mahar berasal dari bahasa Arab yang secara syara' artinya adalah pemberian wajib dari pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai pembayaran pernikahan. Adapun dalil wajib dari mahar ini ada dalam surat An-Nisa ayat 4.
Kata mahar berasal dari bahasa Arab yang secara syara' artinya adalah pemberian wajib dari pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai pembayaran pernikahan. Adapun dalil wajib dari mahar ini ada dalam surat An-Nisa ayat 4.
"Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan"
Bentuk mahar tersebut dapat berupa apapun, baik harta
benda (emas, rumah, perhiasan), Al-quran, alat shalat, bahkan keislaman seorang
lelaki yang sebelumnya kafir.
Penjabaran di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya
mahar merupakan salah satu syari’at dalam agama Islam. Namun pada
perkembangannya (salah satunya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah
Muslim), syari’at ini lama-kelamaan menjadi adat dalam pernikahan di hampir
seluruh daerah di Indonesia. Umat Kristen di daerah Sumatera Utara misalnya, walaupun
dalam agama Kristen tidak ada kewajiban memberikan mahar, namun terdapat
tuntutan adat Batak untuk memberikan seserahan wajib dari mempelai lelaki
kepada mempelai wanita.
Kembali kepada adat mahar di Aceh. Nilai mahar di Aceh
merupakan nilai tertinggi kedua di Indonesia setelah Sulawesi. Mahar di Aceh
dinisbatkan pada emas yang diukur dalam satuan mayam. Satu mayam emas setara
dengan 3,3 gram emas. Seperti halnya minyak bumi, harga emas selalu mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar.
Nilai mahar di Aceh merupakan simbol kehormatan dan
gengsi keluarga baik dari pihak wanita maupun pihak lelaki. Bagi pihak wanita,
tingginya nilai mahar menunjukkan kedudukan sosial keluarga wanita tersebut.
Nilai mahar yang menjadi standar adat Aceh bagi seorang wanita adalah sepuluh
mayam emas. Nilai ini tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya
yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian,
sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya.
Bila nilai mahar seorang wanita di Aceh kurang dari
sepuluh mayam emas, hampir dapat dipastikan bahwa si wanita berasal dari
kalangan status sosial yang dapat dikatakan amat rendah. Nilai mahar ini dapat
berubah disesuaikan dengan status sosial keluarga wanita dimana nilai mahar ini
ditentukan oleh pihak keluarga wanita tersebut. Tingkat pendidikan yang
dienyam, kemampuan ekonomi, keturunan kebangsawanan, dan kecantikan paras
menjadi variabel berubahnya nilai mahar si wanita. Makin tinggi tingkatan
variabel yang disebutkan di atas yang dimiliki oleh seorang wanita, maka akan
semakin tinggi nilai mahar yang ditetapkan oleh keluarganya. Hingga saat ini,
tidak jarang terdengar beberapa kisah dimana keluarga wanita yang berasal dari
turunan bangsawan tanpa segan-segan menetapkan nilai mahar bagi anaknya senilai
seratus mayam emas atau jika dikonversikan ke nilai mata uang rupiah adalah
seratus juta rupiah.
Bagi pihak keluarga lelaki yang berniat menikahi
seorang wanita, memenuhi nilai mahar yang telah ditetapkan oleh keluarga si
wanita merupakan suatu simbol kehormatan pula. Bahkan, sering didapati pihak
keluarga lelaki akan menambah beberapa mayam emas di atas jumlah mayam emas
yang ditetapkan keluarga wanita sebagai bentuk kemapanan keluarga si lelaki.
Sulawesi
Dalam adat perkawinan Sulawesi, terdapat dua istilah
yaitu sompa dan dui‘ menre‘ (Bugis) atau uang panaik (Makassar). Sompa adalah
pemberian berupa uang atau harta dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak
keluarga perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam.
Sedangkan dui‘ menre‘ atau uang panaik adalah “uang antaran” yang harus
diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga
calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.
Secara sepintas, kedua istilah di atas memang memiliki
pengertian dan makna yang sama, yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban.
Namun, jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian kedua
istilah tersebut jelas berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal sebagai mas kawin
adalah kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan dui‘ menre‘ adalah kewajiban
menurut adat masyarakat setempat. Tetapi, sebagian orang Bugis-Makassar
memandang bahwa nilai kewajiban dalam adat lebih tinggi daripada nilai
kewajiban dalam syari‘at Islam. Sejatinya, sebagai salah satu masyarakat yang
dikenal paling kuat identitas keislamannya di Nusantara, seharusnya mereka
lebih mementingkan nilai kewajiban syari‘at Islam daripada kewajiban menurut
adat. Kewajiban memberikan mahar dalam syari‘at Islam merupakan syarat sah
dalam perkawinan, sedangkan kewajiban memberikan dui menre` menurut adat,
terutama dalam hal penentuan jumlah dui menre`, merupakan konstruksi dari
masyarakat itu sendiri tanpa memiliki dasar acuan yang jelas.
Padang
Dalam adat Padang (terutama Padang Pariaman) ada yang namanya uang hilang (atau uang bajapuik). Biasanya yang memberikan uang hilang ini adalah si calon istri dan keluarganya, uang ini juga merupakan beban yang harus ditanggung oleh orangtua pihak perempuan. Saking pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis - siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya - asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami.
Dalam adat Padang (terutama Padang Pariaman) ada yang namanya uang hilang (atau uang bajapuik). Biasanya yang memberikan uang hilang ini adalah si calon istri dan keluarganya, uang ini juga merupakan beban yang harus ditanggung oleh orangtua pihak perempuan. Saking pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis - siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya - asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami.
***
Titik potong diantara tradisi pemberian mahar yang ada
adalah bahwa adanya mahar yang ditetapkan oleh adat sesungguhnya memiliki 2
dampak sekaligus. Dampak yang pertama adalah dampak negatif dari tradisi mahar
yang berketetapan ini. Merupakan sebuah realita bahwa tak pelak adat
kewajiban mahar di beberapa daerah yang terbilang fantastis ini menjadi
hambatan bagi lelaki untuk menyunting wanita pilihannya. Cukup banyak ditemui,
wanita yang ditanyai mengapa belum menikah akan menjawab “Belum cukup simpanan
untuk mahar.” Hal ini akan membuat pernikahan yang dalam Islam merupakan sebuah
kepentingan yang harus disegerakan menjadi terlambat pelaksanaannya.
Keterlambatan ini menimbulkan efek samping yang akan menjadi bias dengan
tatanan masyarakat syari’at yang sedang dibangun. Fakta semakin tingginya kasus
perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya jumlah wanita yang memasuki
usia tua tanpa sempat menikah merupakan fenomena yang menjadi pembuktian akan
hal tersebut.
Namun di sisi lain, adanya "standar mahar"
ini juga memberikan dampak positif bagi kedua mempelai dalam mengarungi rumah
tangga, dimana hal ini merupakan stimulan bagi si lelaki untuk terus giat
bekerja dan memiliki penghasilan yang layak sebelum berani mengambil keputusan
untuk berkeluarga. Tingginya nilai mahar ini juga merupakan simbol mulianya
kedudukan seorang wanita sehingga perlu upaya lebih bagi seorang lelaki untuk
dapat menyuntingnya. Selain itu adanya standar mahar ini juga bertujuan
agar pasangan suami-istri tidak mudah kawin cerai, mengingat mahalnya biaya
untuk menikah kembali. Di beberapa daerah yang maharnya tidak terlalu tinggi,
kawin cerai sering terjadi karena mereka tidak perlu memberikan mahar yang
tinggi kepada istri.
Dari kedua dampak tersebut, kita bisa membuat sebuah
konsepsi ringan bahwa sebenarnya mahar berstandar yang ada dalam adat di
Indonesia adalah sebuah perumusan panjang yang bermuara pada pada kesungguhan
untuk membina rumahtangga abadi. Tentu konsepsi adat ini mungkin sangat efektif
berlaku pada zaman tersebut. Namun di era sekarang, kita bisa kembali
mempertanyakan apakah konsepsi ini masih bisa untuk kemudian diterapkan.
Mengingat kondisi ekonomi yang semakin sulit dan susahnya akses untuk
memperoleh pekerjaan yang layak.
Dalam hidup bermasyarakat, tentu kita tidak terlepas
dari yang namanya hukum adat. Namun jangan sampai ada yang beranggapan bahwa
adat itu sama seperti firman dan sabda. Adat itu hanya kesepakatan dari manusia
untuk manusia. Ia boleh diutak-atik. Manakala adat dipahami sebagai sebuah
kesepakatan, keniscayaan musyawarah adalah konsekuensinya. Ini artinya jumlah
mahar yang tinggi, uang hangus yang besar, dan sebagainya adalah adat yang
masih dapat dimusyawarahkan. Lalu dari itu semua, melihat besarnya manfaat
serta mudharat, dan juga bercermin dari diri sendiri, akankah kemudian kita
tetap akan mempertahankan adat tersebut? Mari kita merenung sejenak untuk
menjawabnya.
***
Tags:
Sospol
4 komentar
Terimah kasih telah berbagi ilmu.
BalasHapusSemoga bermanfaat. :)
oia salam kenal
Mahar Pernikahan
Pandaan
Kembali kasih
HapusSalam kenal juga :)
hari ini diingatkan oleh facebook, kalau dulu pernah ditandai... si penulis sudah jadi memberi mahar.
BalasHapusAlhamdulillah bu..... Hehehe
Hapus