SEKEDEI VS RAFLESIA ARNOLDI
Baca Juga
Empat hari terakhir, media sosial di Bengkulu terasa lebih ramai dari biasanya. Bukan karena isu politik, bukan pula karena peristiwa kriminal. Ramainya kali ini karena bunga. Ya, bunga yang selama ini dianggap ikon Bengkulu: Rafflesia Arnoldi. Tiba-tiba saja, muncul suara-suara yang menggugat nama itu. Mereka ingin nama bunga langka itu dikembalikan pada nama aslinya: bungo sekedei. Nama yang jauh lebih tua dibanding nama yang disematkan oleh orang asing.
Bagi masyarakat Bengkulu, bungo sekedei bukan sekadar bunga. Ia bagian dari cerita turun-temurun. Nama itu muncul dari generasi ke generasi, jauh sebelum Thomas Stamford Raffles dan Joseph Arnold menjejakkan kaki di tanah Bengkulu. Di kampung-kampung, orang tua dulu sering menyebutnya dengan penuh hormat. Sebab ukurannya yang besar, baunya yang khas, dan kemunculannya yang langka selalu dianggap misteri. Tapi, dunia mengenalnya justru dengan nama dua orang asing itu.
Sejarahnya, memang Raffles dan Arnold lah yang pertama kali memperkenalkan bunga ini ke mata dunia ilmiah. Tahun 1818, mereka melihatnya di hutan Bengkulu. Arnold, seorang dokter dan naturalis, sangat terpesona. Ia menuliskan deskripsinya. Lalu, seperti tradisi ilmiah pada masa itu, nama bunga itu diabadikan dengan nama mereka. Rafflesia Arnoldi. Dari situ, nama itu masuk jurnal, buku, lalu ensiklopedia. Sampai akhirnya menjadi rujukan global.
Di dunia botani, ada aturan tak tertulis yang sudah jadi kesepakatan: siapa yang pertama kali mendeskripsikan secara ilmiah, dia yang punya hak memberi nama. Maka tidak heran jika kemudian nama Rafflesia Arnoldi bertahan lebih dari dua abad. Ia sudah tercatat di International Code of Nomenclature for algae, fungi, and plants. Sebuah “kitab suci” bagi para ahli biologi. Mengubah nama itu sama rumitnya dengan mengubah pasal di konstitusi.
Namun, masyarakat Bengkulu merasa ada yang janggal. Kenapa bunga yang lahir di tanah mereka, yang sudah diberi nama lokal sejak lama, justru dipopulerkan dengan nama orang asing? Bukankah itu bentuk penghapusan jejak budaya lokal? Pertanyaan ini sah-sah saja. Apalagi di era ketika kesadaran atas identitas lokal makin kuat. Orang ingin sejarahnya dikembalikan. Orang ingin nama lokalnya dihargai. Orang ingin bunga itu disebut sebagaimana orang tua mereka menyebutnya: bungo sekedei.
Apakah bisa nama itu digugat? Secara hukum internasional, ini memang pelik. Nama ilmiah bukan sekadar label. Ia bagian dari sistem klasifikasi global. Mengubah nama ilmiah butuh alasan yang sangat kuat. Biasanya karena ada kesalahan identifikasi, atau karena ada temuan baru yang lebih sahih. Gugatan masyarakat lokal, meski secara moral punya kekuatan, tidak serta merta bisa mengubah nomenklatur. Dunia sains bekerja dengan tata tertib yang ketat.
Namun bukan berarti jalan itu buntu. Dalam praktiknya, banyak spesies punya dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Contohnya, Durio zibethinus tetap dikenal masyarakat luas sebagai durian. Pandanus tectorius tetap disebut pandan. Orang bisa saja menghidupkan kembali nama bungo sekedei, tanpa harus membatalkan nama Rafflesia Arnoldi. Justru dua-duanya bisa hidup berdampingan. Satu untuk keperluan ilmiah, satu lagi untuk kebanggaan lokal.
Saya teringat pada kasus di India. Ada tanaman obat yang oleh masyarakat lokal sudah ratusan tahun dipakai, tetapi nama ilmiahnya tetap mengikuti aturan Latin. Pemerintah India kemudian mengajukan daftar nama lokal itu dalam dokumen resmi agar diakui dalam dunia farmasi internasional. Dengan cara itu, nama lokal tidak hilang, dan masyarakat tetap merasa punya hak. Mungkin Bengkulu bisa meniru langkah itu.
Kalau mau lebih jauh, bisa juga dilakukan gugatan class action. Tapi bukan ke pengadilan sains. Melainkan ke ranah kebijakan. Pemerintah daerah bisa mengajukan usulan resmi agar nama bungo sekedei dipakai di semua dokumen pariwisata, pendidikan, dan promosi budaya. Dengan begitu, perlahan nama itu bisa sejajar dengan nama ilmiahnya. Dunia boleh tetap menyebut Rafflesia Arnoldi, tapi di Bengkulu orang akan lebih akrab dengan bungo sekedei.
Persoalan ini sebenarnya bukan hanya soal nama. Ini soal bagaimana masyarakat ingin dilihat. Apakah mereka mau terus “mengabdi” pada sejarah kolonial, atau berani menegaskan identitas lokalnya. Nama adalah simbol. Dan simbol punya kekuatan besar dalam membentuk imajinasi. Ketika orang menyebut bungo sekedei, ia sedang menghidupkan kembali cerita lama. Cerita sebelum ada kolonialisme. Cerita tentang kebanggaan lokal.
Saya melihat, semangat ini sama seperti yang terjadi di banyak daerah lain. Di Yogyakarta, orang lebih suka menyebut malioboro dengan logat mereka sendiri. Di Jawa Timur, banyak desa yang ingin mengembalikan nama asli kampungnya setelah puluhan tahun dipakai nama administrasi kolonial. Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas itu penting. Ia tidak bisa diputus begitu saja hanya karena ada aturan ilmiah.
Apakah itu salah? Tidak. Ilmu pengetahuan memang punya logikanya sendiri. Tapi masyarakat juga punya hak atas warisan budayanya. Kalau dua logika itu bisa berjalan berdampingan, kenapa harus saling meniadakan? Saya kira itu yang harus dipikirkan. Jangan sampai karena nama ilmiah terlalu dominan, nama lokal hilang begitu saja. Padahal di situlah akar sejarahnya.
Ada cara sederhana untuk memperkuat nama lokal. Misalnya dengan festival. Buat festival Bungo Sekedei setiap tahun. Libatkan anak-anak sekolah, mahasiswa, budayawan. Ceritakan sejarahnya. Bangun narasi bahwa bunga itu memang milik Bengkulu. Dengan begitu, lama-lama dunia juga akan mengenalnya. Siapa tahu, dalam 50 tahun ke depan, orang menyebut bunga itu dengan dua nama sekaligus: Rafflesia Arnoldi alias Bungo Sekedei.
Saya kira penting juga ada penelitian akademik yang mendukung. Kampus-kampus di Bengkulu juga bisa membuat kajian tentang sejarah nama bungo sekedei. Dokumentasikan cerita-cerita lisan masyarakat. Buat jurnal internasional tentang itu. Kalau sudah begitu, dunia sains pun mau tidak mau harus membaca. Nama lokal bisa mendapat ruang terhormat, meski nama ilmiah tetap tidak berubah.
Pemerintah daerah juga bisa bikin regulasi kecil. Misalnya, setiap papan informasi di objek wisata wajib mencantumkan dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Itu bukan hal sulit. Justru akan membuat orang makin penasaran. Turis mancanegara akan bertanya: apa itu bungo sekedei? Dari situlah cerita mengalir. Identitas lokal pun terangkat.
Saya membayangkan, kelak anak-anak Bengkulu akan lebih bangga menyebut bunga itu dengan nama bungo sekedei. Mereka tidak lagi merasa asing dengan istilah Latin yang panjang. Mereka tahu, ini bunga mereka. Ini bagian dari budaya mereka. Dan mereka tahu, dunia pun akhirnya mengakui bahwa nama itu sama berharganya.
Bagi saya pribadi, pertarungan nama ini adalah pertarungan simbol. Sama seperti ketika kita memperjuangkan batik agar diakui UNESCO. Sama seperti ketika kopi Gayo didaftarkan sebagai indikasi geografis. Semua itu bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal harga diri. Dan harga diri adalah hal yang tak bisa ditawar.
Apakah masyarakat Bengkulu bisa berhasil? Bisa. Tapi butuh waktu. Butuh konsistensi. Butuh strategi. Tidak bisa hanya dengan ribut di media sosial. Harus ada langkah nyata. Harus ada kerja panjang. Harus ada kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat.
Jadi, mungkin pertanyaan yang lebih tepat bukan “bisakah mengganti nama Rafflesia Arnoldi menjadi bungo sekedei”. Tapi bagaimana cara agar bungo sekedei tidak hilang di tengah dominasi nama Latin itu. Bagaimana agar dua nama itu sama-sama hidup. Bagaimana agar dunia tahu, bunga itu lahir di tanah Bengkulu, dan punya cerita panjang di sana.
Saya melihat ini bukan sekadar polemik kecil. Ini bagian dari gerakan lebih besar: mengembalikan identitas lokal di tengah globalisasi. Setiap nama yang kita sebut, setiap simbol yang kita pertahankan, adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Dan melawan lupa adalah pekerjaan paling mulia.
0 comments