KOMPETEN ITU SEKSI

Baca Juga

Baru sampai rumah sekitar jam lima sore. Belum sempat duduk tenang. Belum juga sempat ganti pakaian. Pertanyaan sudah menunggu di ruang tamu. “Lulus apa tidak?” suara itu langsung mengisi telinga. Saya tahu siapa empunya suara. Saya pun tersenyum tipis.

Jawaban “Ya, alhamdulillah lulus” ternyata tidak cukup. Malah jadi pemicu pertanyaan baru. Seperti keran yang dibuka tiba-tiba. Pertanyaan keluar deras, beruntun, tanpa jeda. Saya merasa kembali ke ruang ujian. Bedanya, sekarang yang menguji bukan Master Asesor, tapi istri sendiri.
Ilustrasi Dosen Kompeten (Gambar : AI Generated)

Dia lalu berkata: dia mau ikut sertifikasi kompetensi teknis. Bidangnya: food handler. Saya kaget, tapi juga tidak kaget. Karena dua hari sebelumnya, saya sendiri yang menyalakan apinya. Saya cerita panjang soal tragedi keracunan massal MBG. Cerita juga soal bagaimana BNSP bereaksi. Dan bagaimana peluang besar ada di sana.

Saya tambah kompor dengan ide: kalau kampusnya bisa bikin LSP, akan lebih hebat lagi. Apalagi dia dosen gizi. Mengajar mata kuliah pengawasan mutu makanan. Cocok sekali. Pas sekali. Dan rupanya, obrolan itu nyantol betul di kepalanya.

Hari ini dia cerita: seharian mencari informasi. Googling sana sini. Tanya-tanya juga. Sampai akhirnya ketemu dengan LSP P3 yang memang mengurus sertifikasi bidang pengelolaan makanan. Semangatnya jelas sekali terlihat. Saya melihat matanya berbinar seperti mahasiswa baru yang menemukan buku favorit.

Dia pun melanjutkan ceritanya. Tentang unit kompetensi. Tentang metode asesmen. Tentang portofolio yang katanya harus ditulis. Dia bingung, karena dia merasa tidak punya rekam jejak industri. “Apa bisa?” katanya. Saya tahu dia sedang mencari jawaban yang meyakinkan.

Saya langsung pede. Mungkin terlalu pede. Maklum, otak masih panas. Baru tiga jam lalu saya keluar dari ruangan pelatihan calon asesor. Semua materi masih menempel kuat. Dari mulai soal elemen kompetensi, KUK, sampai teknik asesmen. Saya seolah menjadi replika para Master Asesor yang mengajar kami.

Saya jelaskan panjang lebar. Dengan gaya seperti di kelas. Saya pakai istilah-istilah yang kemarin baru saja saya hafalkan. Saya bahkan menirukan intonasi Master Asesor. Bedanya, kalau di kelas saya peserta, kali ini saya yang bicara. Seperti tahu segalanya.

Padahal, jujur saja, saat ujian tadi pagi, kepala saya lumayan pening. Jawaban saya tidak semua lancar. Beberapa kali saya sempat terhenti. Tapi ya begitulah. Karena hasil akhirnya sudah dinyatakan “kompeten”, saya punya legitimasi untuk merasa percaya diri. Label itu memang ajaib.

Istri saya manggut-manggut. Seperti mahasiswa yang baru paham rumus sulit. Matanya cerah. Semangatnya meluap. “Kalau begitu, saya mau ambil langsung tiga skema,” katanya mantap. Saya yang tadinya cuma ingin berbagi ilmu, malah jadi terkejut.

Saya melihat ke arah wajahnya. Ada kebanggaan tersendiri. Ada semangat baru. Saya tahu, ini bukan sekadar ikut-ikutan. Dia memang merasa bidangnya cocok. Dia memang merasa inilah waktunya. Dan saya tidak bisa menahan senyum.

Dunia sertifikasi memang sedang seksi. Kata “kompeten” sekarang lebih laku daripada kata “pintar”. Label itu bisa membuka pintu kerja. Bisa mengubah nasib seseorang. Bisa menambah harga diri. Dan makin lama, makin banyak orang yang sadar akan itu.

Saya sering melihat perusahaan yang lebih percaya sertifikat kompetensi daripada ijazah. Karena kompetensi bicara bukti. Bicara praktik. Bukan sekadar nilai di atas kertas. Bukan hanya teori di ruang kuliah. Kompetensi itu terasa nyata.

Bayangkan saja kasus MBG kemarin. Puluhan orang keracunan massal. Itu bukan sekadar masalah kesehatan. Itu masalah kompetensi. Kalau saja standar food handler diterapkan, mungkin ceritanya akan berbeda. Tragedi bisa dihindari.

Saya teringat kalimat salah satu Master Asesor kemarin. “Kompetensi itu bukan hanya tentang bisa atau tidak. Tapi tentang bukti bahwa Anda betul-betul bisa.” Kalimat itu terus terngiang. Dan malam ini, kalimat itu terbukti.

Istri saya sudah memilih jalan barunya. Ia ingin bersertifikat food handler. Bukan satu, tapi tiga skema sekaligus. Itu bukan main-main. Itu keputusan besar. Dan saya tahu, ini akan jadi perjalanan panjang yang penuh tantangan.

Saya pun tidak bisa menahannya. Saya hanya bisa mendukung. Karena dunia ini memang bergerak ke sana. Dunia yang makin menghargai keterampilan. Dunia yang tidak lagi puas dengan gelar semata. Dunia yang haus pada bukti nyata.

Apalagi kalau kampus-kampus ikut turun. Membuat LSP sendiri. Membuka jalur sertifikasi untuk mahasiswanya. Betapa besar dampaknya. Mahasiswa tidak hanya lulus dengan ijazah, tapi juga dengan sertifikat kompetensi. Itu akan membuat mereka lebih siap bersaing.

Saya pernah bilang: kompetensi itu seperti SIM. Kalau bisa nyetir tapi tidak punya SIM, tetap saja tidak bisa bebas di jalan. Kalau punya SIM, semua jadi sah. Semua jadi legal. Begitu juga kompetensi. Buktinya ada. Pengakuannya jelas.

Tentu, tidak semua orang suka prosesnya. Ujian itu berat. Asesmen itu bikin deg-degan. Tapi di situlah nilai tambahnya. Kalau semua gampang, nilainya jadi rendah. Sertifikat hanya berarti kalau diperoleh dengan susah payah.

Saya sendiri baru saja melewati itu. Ujian asesor bukan main. Materinya tebal. Latihannya panjang. Simulasinya bikin pusing. Tapi saat pengumuman keluar, dan kata “kompeten” disematkan, ada rasa lega. Ada rasa bangga. Dan ada rasa percaya diri yang baru.

Sekarang saya merasakan efek itu. Saya bisa menjelaskan ke istri dengan yakin. Saya bisa menjawab pertanyaan tanpa ragu. Saya bisa merasa pantas untuk memberi saran. Label “kompeten” ternyata bukan sekadar tulisan. Ia bisa mengubah cara kita berbicara.

Dan kini, giliran istri saya. Saya melihat api semangatnya yang sama. Api yang saya rasakan kemarin, kini ada di dirinya. Dunia sertifikasi sudah mencuri hatinya. Sama seperti mencuri hati saya.

Ah, dunia ini memang bergerak cepat. Kemarin saya hanya seorang peserta. Hari ini sudah jadi asesor. Dan malam ini, saya menjadi motivator dadakan untuk istri sendiri. Perubahan itu bisa terjadi hanya dalam hitungan hari.

Besok, mungkin lebih banyak lagi orang yang ikut. Lebih banyak yang sadar. Lebih banyak yang mencari label “kompeten”. Karena kata itu kini semakin seksi. Kata itu kini semakin bernilai.

Saya pun menutup malam ini dengan satu kalimat. Salam kompeten. Karena dunia ini memang sedang menuju ke sana. Dunia yang mengukur orang bukan hanya dari gelar, tapi dari bukti nyata. Dunia yang makin percaya bahwa kompeten itu seksi.

Share:

0 comments