PUASA YANG BELUM DATANG, RINDU YANG SUDAH TIBA
Baca Juga
Suasana Ramadan tahun depan sudah mulai terasa. Padahal kalender masih mencatat bulan September. Media sosial mulai riuh. Meme tentang Muhammadiyah yang sudah menentukan awal Ramadan 2026 beredar di mana-mana. Ada yang memuji. Ada yang menggerutu. Ada juga yang hanya menjadikannya bahan candaan. Begitulah dunia medsos: semua bisa jadi bahan obrolan.
Muhammadiyah memang selalu terdepan. Sejak dulu. Tidak menunggu rukyat. Tidak menunggu pengumuman pemerintah. Mereka sudah bisa menetapkan jauh-jauh hari. Karena pakai hisab hakiki wujudul hilal. Hitungannya matematis. Persis. Bisa dipastikan.
![]() |
Ilustrasi suasana ramadan (gambar : AI Generated) |
Tahun ini beda. Muhammadiyah mengumumkan jauh lebih cepat. Biasanya sekitar dua bulan sebelum Ramadan. Kini empat setengah bulan sebelumnya sudah diumumkan. Orang kaget. Tapi sebenarnya tidak ada yang aneh. Justru Muhammadiyah ingin lebih awal memberi kepastian.
Saya lihat pengumuman itu tidak main-main. Ada dasar barunya. Kini bukan lagi sekadar wujudul hilal. Sudah memakai KHGT. Kalender Hijriyah Global Tunggal. Matla-nya global. Bukan Indonesia saja. Jadi kalau di negara lain hilalnya sudah terlihat, maka seluruh dunia dianggap masuk Ramadan.
Ini membuat diskusi makin ramai. Beda metode. Beda hasil. Tapi justru itu menarik. Ada ilmu di baliknya. Ada sejarah panjang. Ada juga dialektika umat. Tidak semua harus sama. Perbedaan justru memberi warna.
Saya jadi teringat Ramadan di Jogja. Masa-masa kos. Masa kuliah. Masa peralihan hidup yang penuh kenangan. Jogja itu selalu punya suasana Ramadan yang khas. Tarawih di kampung. Lampu-lampu temaram. Anak-anak berlarian bermain petasan. Suara bedug bersahutan.
Saya suka suasana sahur di Jogja. Warung-warung angkringan dan nasi tetap buka. Nasi rames mengepul. Wedang jahe hangat. Sambil bercengkerama dengan teman kos. Tidak ada yang mewah. Tapi justru itulah yang membuatnya membekas.
Ramadan juga selalu menjadi tanda mudik. Di Jogja, teman-teman saya banyak yang dari luar kota. Begitu Ramadan mendekat, pembicaraan pun bergeser: kapan pulang, naik apa, dan siapa bareng siapa. Tiket bus jadi rebutan. Terminal mendadak ramai.
Saya ingat naik bus AKAP yang kadang punya bau yang khas. Asap rokok bercampur dengan aroma minyak angin. Tapi perasaan bahagia luar biasa. Karena sebentar lagi sampai kampung. Karena sebentar lagi bertemu orang tua.
Mudik itu ibadah. Begitu yang selalu saya rasakan. Bukan hanya perjalanan pulang. Tapi juga perjalanan batin. Untuk ngabekten. Untuk birrul walidain. Untuk sekadar duduk di depan orang tua. Mendengar wejangan. Atau hanya diam, tapi hati terasa penuh.
Ramadan juga punya aroma khas. Bukan hanya makanan. Tapi juga udara. Saya bisa merasakan bedanya. Malam Ramadan selalu lebih hidup. Jalanan ramai. Warung buka lebih lama. Anak-anak lebih riang. Orang-orang lebih ramah.
Saya pernah merasakan Ramadan di beberapa kota besar, di Indonesia maupun di Taiwan. Semua punya cirinya sendiri. Tapi tetap saja, kenangan Ramadan di Jogja yang paling kuat. Mungkin karena itu fase paling menentukan dalam hidup saya. Fase peralihan dari remaja ke dewasa.
Jogja itu kota pelajar. Ramadan di sana artinya berkumpulnya anak muda dari berbagai daerah. Semua membawa tradisi masing-masing. Tarawih 11 rakaat. Tarawih 23 rakaat. Ada yang pakai qunut. Ada yang tidak. Tapi semua bisa sholat di masjid yang sama. Semua selesai dengan tertawa bersama.
Saya rindu suasana itu. Rindu becak yang hilir mudik. Rindu jalan kaki dari kos ke masjid. Rindu bunyi kentongan dan suara anak-anak kampung membangunkan sahur. Bahkan rindu dimarahi ibu kos karena telat bayar listrik. Ramadan membuat semua kenangan itu hidup kembali.
Ramadan bukan sekadar ibadah puasa. Ramadan adalah atmosfer. Ramadan adalah waktu yang menempel di hati. Ramadan adalah nostalgia. Bahkan sebelum datang, kerinduannya sudah lebih dulu hadir. Seperti sekarang.
Saya percaya, Ramadan itu punya kekuatan mempersatukan. Bahkan di tengah perbedaan metode penentuan awal bulan. Bahkan di tengah perbedaan pilihan politik. Ramadan tetap datang dengan damai. Membuat orang saling mengingatkan kebaikan.
Saya jadi senyum sendiri membaca komentar di medsos. Ada yang serius memperdebatkan istilah. Ada yang sibuk mengutip kitab. Ada juga yang hanya menertawakan perbedaan. Dunia maya jadi pasar Ramadan lebih awal.
Tapi itulah kita. Bangsa yang suka ramai. Suka ribut. Suka bercanda. Suka merasa paling benar. Tapi saat azan magrib berkumandang, semua diam. Semua meneguk air. Semua berbuka. Tidak ada lagi perbedaan. Semua sama-sama lapar.
Mungkin itu yang membuat Ramadan istimewa. Semua orang jadi sama. Kaya atau miskin. Tuan atau buruh. Semua sama-sama menahan haus. Sama-sama merasakan lapar. Sama-sama belajar sabar.
Saya teringat cerita bapak saya. Waktu kecil, beliau bilang: Ramadan itu sekolah sabar. Yang lulus bukan yang kuat menahan lapar. Tapi yang kuat menahan diri. Menahan amarah. Menahan dengki. Menahan lidah. Itu yang paling sulit.
Kini saya mengerti. Lapar bisa ditahan. Dahaga bisa dilupakan. Tapi menahan lidah? Itu ujian sebenarnya. Apalagi di era medsos seperti sekarang. Lidah sudah berubah menjadi jempol. Cepat sekali menulis. Cepat sekali menghakimi.
Ramadan akan mengajarkan itu lagi. Ramadan akan datang sebagai guru. Guru yang tidak banyak bicara. Tapi memberi ujian langsung. Setiap hari. Selama sebulan penuh.
Saya selalu menunggu Ramadan. Karena di dalamnya ada nostalgia. Ada mudik. Ada sahur. Ada tarawih. Ada ketupat. Ada opor. Ada keluarga. Semua hadir dalam satu bulan yang sama.
Bagi saya, Ramadan bukan sekadar ibadah pribadi. Ramadan adalah kebersamaan. Bahkan orang yang tidak berpuasa pun ikut merasakan suasananya. Warung-warung lebih ramai malam hari. Jalanan lebih hidup. Televisi penuh acara religi.
Kini Ramadan mendekat lagi. Meski masih bulan September, hati sudah tergerak. Media sosial mengingatkan. Meme-meme itu membuat rindu. Membuat ingin segera sampai. Membuat ingin segera mudik.
Ramadan juga membuat saya introspeksi. Umur tidak pernah mundur. Waktu berjalan terus. Beberapa tahun lalu, saya masih berpuasa di Taiwan. Tahun ini di Bengkulu. Tahun depan, entah di mana lagi. Maka doa saya sederhana: Ya Allah, sampaikan kami pada Ramadan yang akan datang.
0 comments