SEPULUH TAHUN, DAN MASIH ADA ESOK

Baca Juga

Langit sore itu merah seperti kain yang diwarnai oleh tangan-tangan tak terlihat. Hari ketika kau berdiri di depan penghulu dengan gaun putih yang kau rancang sendiri, gemetar namun tegas. Aku memandangmu, menyadari bahwa ijab qabul yang barusan kuucapkan bukanlah sekadar ritual—tapi guncangan dahsyat yang mengubah peta hidupku selamanya.  

Sepuluh tahun. Ratusan piring masakan yang kau buat pagi-pagi sebelum aku bangun. Aku belajar bahwa pernikahan bukan tentang dua orang yang sempurna, melainkan dua orang yang rela mengakui ketidaksempurnaannya.  
Aku dan Kamu (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Kita pernah terdampar di bandara asing tengah malam, dompet kosong, dan hanya punya sekotak bekal untuk dibagi. Kau memecahnya dengan gigitan yang adil, lalu tertawa seperti itu bukan masalah. Di saat itulah aku paham: kebahagiaan kita tidak diukur dari apa yang kita miliki, tapi dari apa yang rela kita bagi.  

Anak pertama kita lahir di tengah badai pandemi. Saat dokter menaruhnya di kotak inkubator, kau menangis bukan karena sakit, tapi karena takjub. Aku melihat cahaya baru di matamu—cahaya yang sekarang selalu ada setiap kali kau memandang mereka.  

Kita seperti dua pohon yang akarnya sudah saling melilit. Terkadang kita berebut sinar matahari, berebut nutrisi, tapi selalu berakhir saling menopang ketika angin kencang datang.  

Aku mulai beruban. Kau mulai suka mengeluh pegal. Tapi matamu masih berbinar seperti gadis 25 tahun yang kutemui dulu. Mungkin cinta itu semacam keabadian—ia tidak mencegah kita menua, tapi memastikan kita tetap mengenali satu sama lain di balik keriput dan uban.  

Kita sudah melalui pemakaman bersama—keluarga, sahabat, bahkan janin yang tak sempat melihat dunia. Kehilangan itu mengajari kita bahwa yang paling berharga bukanlah benda, melainkan waktu yang kita habiskan bersama.  

Pandemi mengurung kita dalam rumah selama berbulan-bulan. Awalnya kita saling menjengkelkan, tapi lambat laun menemukan ritme baru: kau belajar memasak hidangan yang biasa kubeli di luar, aku belajar memijat kakimu yang lelah. Terkadang bencana justru mengingatkan kita pada berkah yang selama ini diabaikan.  

Aku masih suka memandangimu tidur. Cara napasmu yang pelan, sesekali mengigau hal tak penting, tangan yang terkadang meraihku dalam gelap seperti memastikan aku masih ada. Tidurmu adalah pengakuan paling jujur bahwa kau percaya padaku.  

Kita mulai lupa tanggal-tanggal penting, tapi ingat persis rasa kesal pertama kita, aroma parfum yang kau kenakan saat pertama kali kencan, bahkan nada dering teleponmu di tahun 2015 yang sudah tak dipakai lagi. Memori itu aneh—ia membuang yang seharusnya diingat, tapi menyimpan yang tak terduga.   
 

Di usia pernikahan yang kesepuluh ini, aku menyadari bahwa "mereka hidup bahagia selamanya" itu bukanlah akhir cerita. Itu justru bab baru yang lebih menantang—di mana cinta harus terus dipilih setiap hari, bukan sekadar dirasakan.  

Mungkin nanti kita akan pikun. Lupa nama satu sama lain. Tapi aku yakin kita akan tetap ingat cara mencintai—seperti sungai yang tak pernah lupa jalannya ke laut.  

Hari ini, di antara rutinitas yang sudah begitu familiar, aku ingin menegaskan lagi: sepuluh tahun lagi, ketika rambut kita sudah sepenuhnya putih, aku akan masih mencari wajahmu di keramaian, masih menggenggam tanganmu saat menyeberang jalan, dan masih bersyukur bahwa langit mempertemukan kita.  

Karena pernikahan kita bukan tentang kesempurnaan. Bukan tentang kebahagiaan yang datar. Tapi tentang dua manusia yang memilih untuk terus tumbuh bersama, meski akarnya kadang terluka, meski dahannya pernah patah.  

Dan esok, ketika matahari terbit lagi, kita akan mulai hari yang baru seperti biasa—dengan segala ketidaksempurnaan, dengan segala keajaiban kecil yang hanya kita berdua yang mengerti. Seperti sepuluh tahun yang lalu. Seperti kemarin. Seperti besok. 

Selamat Anniversary ke-10, Cinta

Share:

0 comments