SEPI YANG MERAYAP DI ANTARA KERAMAIAN
Baca Juga
Aku berdiri di tengah kota yang tak pernah tidur ini, di antara ribuan langkah yang saling bersenggolan tapi tak pernah benar-benar bersua. Lampu-lampu neon berkedip, menawarkan cahaya yang palsu, seolah-olah mereka bisa menggantikan hangatnya lara-lara di rumah. Tapi di sini, di tengah gemuruh yang tak henti, justru sunyi itu yang paling nyaring terdengar.
Bukan sepi yang kosong, bukan. Ini sepi yang penuh—penuh dengan suara orang-orang yang berbicara tapi tak pernah menyentuh, tertawa tapi tak pernah merasuk. Aku dikelilingi wajah-waajh asing yang setiap hari bertukar salam, tapi tak satu pun yang mengenal gurat-gurat kesepian di dahiku.
![]() |
Ilustrasi (Gambar : AI Generated) |
Aku punya teman, ya. Tapi pertemuan kami seperti dua gelas kopi yang tak pernah benar-benar tercampur—meski duduk berdekatan, rasanya tetap terpisah. Mereka bercerita tentang hal-hal yang tak pernah sampai ke relung hatiku, dan aku pun mengangguk, seolah mengerti, padahal yang kupahami hanyalah betapa jauhnya jarak antara satu frekuensi dengan frekuensi lainnya.
Kadang aku merindukan obrolan di beranda rumah, di mana senyap pun terasa ramai karena diisi oleh kehadiran yang saling mengerti. Di sini, keramaian justru menjadi tembok—sebuah ilusi kebersamaan yang tak pernah cukup hangat untuk menghangatkan malam-malam yang terasa panjang.
Aku bertanya: apakah kesepian ini bentuk pengkhianatan tempat baru, atau justru pengakuan bahwa ada ruang-ruang dalam diri yang hanya bisa diisi oleh mereka yang sudah lama mengenal diam-diam kita?
Tapi hidup harus berjalan. Aku belajar menelan sepi ini seperti menelan nasi sehari-hari—dikunyah, dirasakan, lalu dibiarkan mengendap di perut, menjadi tenaga untuk melangkah lagi.
Sebab, mungkin, di balik semua ini, kesepian adalah cara bumi berbisik: bahwa kita, pada akhirnya, hanya bisa benar-benar bersama ketika berani jujur pada sunyi yang kita bawa.
*(Titik. Tapi sepi tak pernah benar-benar berakhir.)*
0 comments