HAJATAN YANG RAMAH LINGKUNGAN ; MENYELARASKAN TRADISI DAN TANGGUNGJAWAB EKOLOGIS

Baca Juga

Masyarakat Indonesia memiliki tradisi hajatan yang mengakar kuat dalam budaya. Mulai dari pernikahan, khitanan, hingga syukuran, acara-acara ini menjadi wujud syukur sekaligus ajang silaturahmi. Namun, di balik kemeriahannya, tersembunyi masalah serius yang sering diabaikan—pemborosan makanan dalam skala masif. Kita mungkin sudah terlalu biasa melihat tumpukan nasi dan lauk pauk terbuang percuma di meja makan atau bawah kursi, seolah itu adalah hal yang wajar. Padahal, setiap sendok makanan yang terbuang menyimpan konsekuensi ekologis dan sosial yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.

Pernah suatu kali saya menghadiri resepsi pernikahan di sebuah gedung mewah. Saat acara usai, pemandangan yang terlihat justru membuat miris—ratusan piring berisi makanan setengah termakan berjejalan di atas meja, beberapa bahkan masih utuh. Yang lebih mengherankan, hidangan tersebut sama sekali tidak berkualitas buruk. Rasanya enak, tampilannya menarik, dan baunya segar. Lalu mengapa bisa terbuang begitu saja? Ternyata masalahnya bukan pada makanannya, melainkan pada kebiasaan kita yang sudah terbentuk selama puluhan tahun.
Ilustrasi Sampah di Hajatan (Gambar: AI Generated)

Dari sudut pandang sosiologis, fenomena ini merupakan cerminan dari budaya konsumsi yang terdistorsi. Dalam banyak hajatan, terutama di perkotaan, tersedia prasmanan dengan berbagai pilihan menu. Tamu cenderung mengambil banyak makanan sekaligus, mencicipi sedikit, lalu meninggalkan sisanya. Ini terjadi karena beberapa faktor: keinginan mencoba semua menu, anggapan bahwa mengambil banyak adalah bentuk penghormatan, atau sekadar ikut-ikutan karena melihat orang lain melakukannya. Tanpa disadari, kebiasaan kecil ini berdampak besar ketika dilakukan secara massal.

Bayangkan dalam satu hajatan dengan 500 tamu. Jika setiap orang menyisakan 100 gram makanan, berarti ada 50 kg makanan terbuang dalam satu acara saja. Itu setara dengan porsi makan 100 orang dewasa. Dalam setahun, berapa ton makanan terbuang dari hajatan-hajatan serupa? Padahal di sisi lain, masih banyak masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan harian. Ironi ini menunjukkan bahwa kita telah memisahkan tradisi dari tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Limbah makanan bukan sekadar masalah moral, tetapi juga masalah ekologis serius. Makanan yang terbuang dan berakhir di TPA akan terurai menjadi metana—gas rumah kaca yang 25 kali lebih berbahaya daripada CO2. Proses produksi makanan itu sendiri sudah menyedot sumber daya besar: air untuk menanam padi, energi untuk transportasi, dan tenaga kerja. Ketika makanan terbuang, semua sumber daya itu ikut terbuang percuma.

Budaya "makan sekenanya" di hajatan juga berkaitan dengan konsep gengsi. Dalam banyak kasus, tuan rumah sengaja menyediakan makanan berlebih sebagai simbol kemakmuran. Tamu yang mengambil banyak makanan dianggap sebagai bentuk apresiasi. Sebaliknya, jika makanan habis tepat, ada kekhawatiran dianggap pelit. Pola pikir seperti ini perlu diubah secara bertahap melalui kesadaran bahwa kemewahan sejati terletak pada efisiensi dan tanggung jawab, bukan pada pemborosan.

Merancang hajatan ramah lingkungan sebenarnya tidak sulit. Langkah pertama bisa dimulai dari perencanaan menu. Alih-alih menyajikan 10 jenis makanan yang akhirnya tidak habis, lebih baik memilih 5-6 menu favorit dengan kualitas terbaik. Survei kecil sebelum acara bisa membantu mengetahui preferensi tamu. Dengan begitu, makanan yang disajikan benar-benar akan dinikmati, bukan sekadar menjadi hiasan meja.

Sistem penyajian juga mempengaruhi jumlah limbah. Prasmanan cenderung memicu tamu mengambil berlebihan. Sebagai alternatif, bisa diterapkan sistem plate service dimana porsi sudah diatur sesuai standar. Atau jika tetap ingin prasmanan, gunakan piring kecil yang mendorong tamu untuk mengambil secukupnya dulu, baru kembali jika masih ingin tambah.

Pemilihan bahan makanan lokal dan musiman adalah strategi lain yang patut dipertimbangkan. Beras organik dari petani setempat, sayuran dari pasar tradisional, atau buah-buahan musiman tidak hanya lebih segar tetapi juga memiliki jejak karbon lebih rendah dibanding bahan impor. Pendekatan ini sekaligus mendukung perekonomian lokal dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok global yang rentan gangguan.

Penggunaan peralatan makan sekali pakai memang praktis, tapi menjadi bencana lingkungan. Styrofoam butuh 500 tahun untuk terurai, sedangkan sedotan plastik sering berakhir di laut. Solusinya, beralih ke peralatan yang bisa dicuci ulang atau bahan alami seperti daun pisang untuk bungkus nasi, batang bambu untuk gelas, atau aren untuk sedotan. Meski sedikit lebih repot, dampaknya sangat signifikan bagi lingkungan.

Dekorasi acara juga bisa dirancang dengan prinsip ramah lingkungan. Alih-alih bunga potong yang cepat layu, tanaman hidup dalam pot bisa menjadi alternatif yang setelah acara bisa ditanam kembali. Ornamen dari bahan daur ulang seperti kertas atau kain perca justru bisa menambah nilai estetika sekaligus mengurangi sampah.

Masalah transportasi tamu sering luput dari perhatian. Hajatan di pusat kota yang mudah dijangkau transportasi umum akan mengurangi emisi karbon dibandingkan di lokasi terpencil yang mengharuskan tamu menggunakan kendaraan pribadi. Jika memungkinkan, penyelenggara bisa menyediakan shuttle bus untuk mengangkut tamu secara massal.

Teknologi bisa dimanfaatkan untuk mengurangi limbah kertas. Undangan digital melalui WhatsApp atau email tidak kalah efektif dibanding undangan fisik. Jika harus mencetak, pilih kertas daur ulang dengan tinta ramah lingkungan. Buku tamu elektronik juga bisa menggantikan buku konvensional yang biasanya hanya menjadi tumpukan arsip.

Pendidikan tamu tentang pentingnya menghargai makanan bisa dilakukan dengan cara kreatif. Misalnya, memasang tanda kecil di meja makan bertuliskan "Ambil secukupnya, habiskan yang ada" atau "Makanan terbuang = Sumber daya terbuang". Pesan-pesan ini jika disampaikan dengan baik bisa membangkitkan kesadaran tanpa terkesan menggurui.

Untuk makanan sisa yang masih layak konsumsi, kerja sama dengan bank makanan atau lembaga sosial bisa menjadi solusi. Beberapa organisasi seperti Foodbank of Indonesia atau Garda Pangan siap menyalurkan kelebihan makanan dari hajatan kepada yang membutuhkan. Ini membutuhkan koordinasi sebelumnya agar proses pengambilan dan distribusi bisa berjalan lancar.

Kompos menjadi pilihan terakhir untuk sisa makanan yang memang tidak layak dikonsumsi manusia. Daripada dibuang ke TPA, sisa organik bisa diolah menjadi pupuk untuk tanaman. Beberapa vendor jasa catering kini sudah menyediakan layanan pengolahan sampah organik sebagai bagian dari paket mereka.

Dari sisi ekonomi, hajatan ramah lingkungan justru bisa lebih efisien. Dana yang biasanya terbuang untuk makanan berlebih bisa dialihkan untuk meningkatkan kualitas hidangan atau elemen lain yang lebih bermakna. Investasi pada peralatan makan yang bisa dipakai ulang juga lebih hemat dalam jangka panjang dibanding terus membeli yang sekali pakai.

Perubahan perilaku tamu memang tidak bisa instan. Butuh proses untuk menggeser kebiasaan lama menuju kesadaran baru. Peran tokoh masyarakat dan publik figur bisa menjadi katalis. Ketika seorang selebriti atau pemuka agama menyelenggarakan hajatan ramah lingkungan, hal itu akan menjadi contoh yang diikuti banyak orang.

Industri penyelenggara acara juga perlu beradaptasi. Vendor catering, dekorasi, dan venue hajatan bisa menawarkan paket-paket ramah lingkungan sebagai nilai tambah. Permintaan pasar yang semakin sadar lingkungan akan mendorong transformasi ini terjadi secara alami.

Pemerintah bisa berperan melalui regulasi dan insentif. Misalnya dengan memberikan penghargaan bagi penyelenggara hajatan ramah lingkungan atau membuat aturan tentang pembatasan sampah makanan di acara-acara besar. Kampanye publik tentang dampak limbah makanan juga perlu digencarkan.

Di tingkat komunitas, bisa dikembangkan model "hajatan berbagi" dimana sebagian dana yang biasanya untuk pesta dialihkan untuk program sosial. Misalnya, menyisihkan 10% anggaran untuk membeli paket sembako bagi keluarga kurang mampu. Cara ini membuat hajatan tidak hanya bermakna bagi tuan rumah, tetapi juga bagi masyarakat sekitar.

Pergeseran nilai dalam masyarakat tentang makna kemewahan perlu terus digaungkan. Kemewahan sejati di era sekarang bukan lagi terletak pada banyaknya makanan yang terbuang, tetapi pada seberapa bijak kita mengelola sumber daya. Hajatan mewah masa depan adalah yang mampu memadukan elegan dengan tanggung jawab ekologis.

Budaya "balas dendam" dalam menghadiri hajatan juga perlu dikikis. Banyak orang merasa harus "balas budi" dengan mengambil makanan sebanyak-banyaknya karena merasa telah memberi amplop. Padahal, esensi silaturahmi seharusnya terletak pada kehadiran dan doa, bukan pada transaksi materi.

Pendekatan agama bisa menjadi pintu masuk efektif untuk perubahan. Semua agama mengajarkan untuk tidak berlebihan dan menyia-nyiakan rezeki. Ayat-ayat kitab suci atau hadis tentang larangan mubazir bisa diintegrasikan dalam konsep hajatan tanpa mengurangi makna syukuran.

Generasi muda memiliki peran krusial sebagai agen perubahan. Mereka yang lebih melek teknologi dan isu lingkungan bisa menciptakan tren baru hajatan minimalis namun bermakna. Media sosial menjadi alat ampuh untuk menyebarkan konsep-konsep hajatan berkelanjutan dengan cara yang kreatif.

Inovasi dalam penyajian makanan juga patut dicoba. Konsep "small bites" dengan porsi kecil tapi bervariasi bisa memenuhi keinginan tamu mencoba berbagai rasa tanpa menghasilkan banyak sisa. Food station interaktif dimana makanan disiapkan sesuai permintaan juga mengurangi kemungkinan terbuang.

Pengalaman menghadiri hajatan ramah lingkungan seharusnya justru lebih berkesan. Tamu akan mengingat acara yang tidak hanya meriah, tetapi juga memiliki nilai-nilai baik yang diusung. Ini berbeda dengan hajatan konvensional yang seringkali hanya menjadi rutinitas belaka.

Evaluasi pasca acara penting untuk perbaikan terus menerus. Tuan rumah bisa mencatat berapa banyak makanan yang benar-benar dikonsumsi versus yang terbuang. Data ini menjadi bahan pembelajaran untuk acara berikutnya atau bisa dibagikan sebagai referensi bagi orang lain.

Perubahan iklim dan krisis pangan global seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Tradisi hajatan yang awalnya bertujuan baik tidak boleh menjadi kontributor masalah lingkungan. Justru sebaliknya, hajatan bisa menjadi medium edukasi dan aksi nyata untuk keberlanjutan.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Setiap hajatan yang diselenggarakan dengan prinsip ramah lingkungan, sekecil apapun, adalah kontribusi nyata bagi bumi. Ketika semakin banyak orang melakukan hal serupa, dampak kolektifnya akan sangat signifikan.

Pada akhirnya, hajatan ramah lingkungan bukan tentang menyalahkan tradisi yang ada, tetapi tentang menyelaraskannya dengan tantangan zaman. Kita bisa tetap mempertahankan nilai-nilai silaturahmi dan syukuran, sambil mengadopsi praktik-praktik yang lebih bertanggung jawab.

Mari bayangkan masa depan dimana hajatan tidak lagi identik dengan pemborosan, tetapi menjadi contoh praktik berkelanjutan dalam masyarakat. Dimana setiap undangan yang hadir tidak hanya membawa doa, tetapi juga kesadaran untuk turut menjaga bumi melalui pilihan-pilihan kecil di meja makan.

Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Mulailah dari hajatan Anda berikutnya. Diskusikan dengan keluarga tentang bagaimana membuat acara yang bermakna tanpa membebani lingkungan. Ajak vendor dan tamu untuk bersama-sama mewujudkannya.

Hajatan ramah lingkungan bukanlah mimpi. Ia adalah keniscayaan yang harus kita wujudkan bersama. Karena menjaga bumi bisa—dan harus—dimulai dari meja makan kita sendiri. Dari pilihan untuk mengambil secukupnya, menghabiskan yang ada, dan memastikan tidak ada yang terbuang sia-sia.

Inilah esensi sebenarnya dari tradisi: bukan sekadar melestarikan warisan masa lalu, tetapi juga memastikan ada masa depan yang layak untuk diwariskan. Hajatan yang ramah lingkungan adalah salah satu cara kita mewujudkannya.

Mari kita jadikan setiap hajatan bukan hanya sebagai perayaan, tetapi juga sebagai deklarasi cinta kepada bumi. Karena pada akhirnya, tidak ada pesta yang benar-benar meriah jika harus mengorbankan masa depan planet kita sendiri.

Share:

0 comments