KALAU DAERAHMU TIDAK MAJU, MAKA JANGAN MINTA PISAH DARI DAERAH INDUK, TAPI SALAHKAN SAJA ANGGOTA DEWANMU

Baca Juga

Euforia pemekaran daerah seperti penyakit musiman yang selalu kambuh. Setiap kali isu ini muncul, seolah kita sedang menyaksikan drama politik yang sama dengan aktor berbeda – janji manis kemajuan daerah, tapi ujung-ujungnya hanya proyek kekuasaan.  

Sejarah membuktikan betapa banyak bayi daerah yang lahir prematur. Mereka dirayakan sejenak, lalu terlantar karena ketiadaan dana dan kapasitas. Bukannya mandiri, malah menjadi beban baru bagi negara. Ironisnya, pelajaran dari kegagalan ini selalu diabaikan.  

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Di balik hiruk-pikuk wacana pemekaran, ada pertanyaan mendasar yang sengaja dihindari: mengapa anggota dewan dari daerah tersebut tidak mampu memperjuangkan pembangunan di wilayahnya? Bukankah mereka dipilih untuk menjembatani aspirasi, bukan malah mengalihkan masalah dengan wacana pemisahan?  

Fakta di lapangan menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Banyak politisi yang tiba-tiba menjadi aktivis pemekaran ketika masa jabatan mereka hampir berakhir. Tiba-tiba mereka peduli pada nasib rakyat, padahal selama lima tahun sebelumnya sibuk dengan urusan pribadi.  

Pemekaran seringkali menjadi tameng kegagalan. Alih-alih mengakui ketidakmampuan mereka mendorong pembangunan, para wakil rakyat ini lebih memilih menciptakan entitas baru. Ini seperti dokter yang gagal mengobati pasien, lalu menyarankan untuk memotong anggota badan.  

Di meja rapat DPRD, seharusnya anggaran untuk perbaikan jalan, sekolah, dan puskesmas bisa diperjuangkan. Tapi mengapa yang terjadi justru pembahasan panjang tentang pembentukan DOB? Ini pertanda ada yang salah dengan prioritas kerja para wakil rakyat kita.  

Masyarakat perlu waspada terhadap muslihat terselubung. Banyak kasus menunjukkan bagaimana inisiator pemekaran akhirnya menjadi calon kepala daerah di wilayah baru. Mereka bukan pahlawan pembangunan, tapi penjual mimpi yang cerdik memanfaatkan kekecewaan warga.  

Dana yang seharusnya untuk membangun jalan dan sekolah justru terkuras untuk membentuk struktur pemerintahan baru. Gaji pejabat baru, pembangunan kantor bupati, mobil dinas - semua itu memakan anggaran yang seharusnya bisa langsung dinikmati masyarakat.  

Kinerja anggota dewan seharusnya diukur dari seberapa besar mereka mampu mendorong eksekutif bekerja. Jika selama ini mereka gagal, pemecahan wilayah bukanlah jawaban. Justru itu bukti bahwa mereka perlu diganti dengan wakil yang lebih kompeten.  

Di beberapa daerah, wacana pemekaran justru menciptakan polarisasi baru. Masyarakat yang sebelumnya hidup rukun tiba-tiba terpecah belah oleh isu pemekaran. Persaudaraan warga dikorbankan demi ambisi segelintir elite politik.  

Pendekatan yang lebih rasional adalah memperkuat kapasitas pemerintahan yang ada. Daripada menghabiskan energi untuk pemekaran, lebih baik fokus pada peningkatan kualitas pelayanan publik dan akuntabilitas anggaran.  

Kita perlu belajar dari daerah-daerah yang berhasil tanpa pemekaran. Keberhasilan mereka justru datang dari kepemimpinan yang kuat dan sistem pengawasan yang ketat, bukan dari perluasan wilayah administratif.  

Anggaran negara bukanlah sumber daya tanpa batas. Setiap rupiah yang dihabiskan untuk biaya pemekaran berarti pengurangan dana untuk program-program penting lainnya. Ini soal prioritas yang harus dipikirkan matang-matang.  

Masyarakat seharusnya lebih kritis. Daripada terbuai janji manis pemekaran, tanyakan apa yang sudah dilakukan wakil rakyat selama ini. Jika jawabannya tidak memuaskan, mungkin saatnya meminta pertanggungjawaban mereka.  

Korupsi seringkali menemukan lahan subur di daerah baru. Dengan sistem yang belum matang dan pengawasan yang longgar, uang rakyat mudah diselewengkan. Banyak contoh menunjukkan bagaimana DOB justru menjadi sarang baru praktik korupsi.  

Pemekaran bukan solusi ajaib. Masalah pembangunan harus diselesaikan dengan perbaikan sistem, bukan dengan menambah jumlah kabupaten. Ini seperti menambahkan kamar pada rumah yang pondasinya sudah keropos.  

Warga perlu menyadari bahwa pemekaran seringkali hanya menguntungkan segelintir orang. Mereka yang akan menikmati jabatan baru, proyek baru, dan anggaran baru. Sementara masyarakat biasa hanya akan mendapat janji yang mungkin tak pernah terwujud.  

Fungsi pengawasan DPRD seharusnya menjadi senjata ampuh untuk mendorong pembangunan. Jika selama ini tidak digunakan secara optimal, itu menunjukkan kelemahan sistemik yang harus diperbaiki, bukan dihindari dengan pemekaran.  

Pilihan konsolidasi daerah justru seringkali lebih masuk akal secara ekonomi. Penggabungan beberapa wilayah kecil menjadi satu kabupaten yang lebih kuat bisa menciptakan efisiensi dan meningkatkan daya saing.  

Kualitas pelayanan publik tidak otomatis membaik hanya karena pemekaran. Yang lebih menentukan adalah kompetensi birokrasi dan komitmen politik pemimpinnya. Tanpa itu, berapapun jumlah kabupaten tetap akan menghasilkan pelayanan yang buruk.  

Masyarakat harus berani menolak jika pemekaran hanya dijadikan alat politik. Wakil rakyat yang benar-benar peduli akan fokus pada perbaikan sistem, bukan menciptakan wilayah-wilayah baru yang berpotensi menjadi beban.  

Pemekaran yang tidak didasari kajian mendalam ibarat membangun rumah di atas pasir. Awalnya mungkin terlihat megah, tapi lama kelamaan akan tenggelam oleh masalah-masalah yang sebenarnya bisa diantisipasi sejak awal.  

Kita perlu mengubah paradigma pembangunan daerah. Bukan dengan memperbanyak jumlah kabupaten, tapi dengan meningkatkan kualitas pemerintahan yang ada. Ini tantangan sesungguhnya yang harus dihadapi.  

Ketimpangan pembangunan seharusnya diselesaikan dengan distribusi anggaran yang adil dan pengawasan yang ketat, bukan dengan pemecahan wilayah. Masalahnya terletak pada sistem, bukan pada batas administrasi.  

Masyarakat jangan mudah terbuai oleh retorika pemekaran. Tanyakan selalu: siapa yang paling diuntungkan? Jika jawabannya adalah segelintir politisi, maka sudah saatnya kita lebih kritis.  

Indonesia membutuhkan wakil rakyat yang berani bekerja keras, bukan yang mencari jalan pintas. Pemekaran bukanlah solusi, tapi pengakuan atas kegagalan fungsi representasi. Saatnya kita menuntut lebih dari para wakil kita.  

Pembangunan daerah yang berkelanjutan membutuhkan komitmen jangka panjang, bukan proyek-proyek politik sesaat. Pemekaran seringkali hanya menjadi batu loncatan bagi ambisi politik, bukan solusi tuntas bagi masyarakat.  

Kita harus berani mengatakan cukup pada wacana pemekaran yang tidak substantif. Energi dan sumber daya harus difokuskan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang ada, bukan pada penciptaan entitas baru yang berpotensi bermasalah.  

Masa depan daerah tidak ditentukan oleh luas wilayah atau jumlah kabupaten, tapi oleh kualitas kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Inilah yang harus menjadi fokus perjuangan para wakil rakyat kita.

Share:

0 comments