POSKO MUDIK DAN CERITANYA
Baca Juga
Dulu, mudik Jogja-Lampung bukan sekadar perjalanan, tapi semacam festival jalanan. Sejak keluar dari Gamping-Jogja sampai masuk Pringsewu-Lampung, posko-posko mudik berjejer seperti stan pameran. Ada yang sekadar tenda seadanya, ada yang mewah dengan baliho operator seluler warna-warni. Setiap 10 kilometer, hampir pasti ada yang menawarkan teh hangat, bubur kacang hijau, atau sekadar tempat meregangkan kaki.
Yang paling berkesan justru posko-posko operator seluler. Mereka seperti duta besar perusahaan telekomunikasi di pinggir jalan. Telkomsel dengan "Siaga"-nya, Indosat dengan jargon-jargon kreatif, bahkan banyak provider GSM yang waktu itu masih baru ikut meramaikan. Bukan cuma bagi-bagi minuman, tapi juga stiker, gantungan kunci, sampai charger HP gratis.
Posko Mudik Tahun 2010 (Foto : Senkom Mitra Polri / Istimewa) |
Ada ritual tak tertulis di setiap posko. Pemudik motor pasti berhenti, meski cuma lima menit. Minum teh, isi bensin, periksa ban, lalu lanjut lagi. Yang naik mobil pun sering mampir, sekadar buka puasa bersama atau ambil takjil gratis. Suasana seperti pasar malam dadakan—riuh tapi hangat. Sekarang, jalanan lebih sepi. Bukan karena pemudik berkurang, tapi karena posko-posko itu banyak yang tidak lagi didirikan dan raib entah ke mana. Memang masih ada beberapa, tapi jumlahnya tidak sesignifikan zaman dulu.
Dulu, posko mudik adalah tempat interaksi sosial paling jujur. Tukang pijat dadakan yang rela memijat pemudik pegal-pegal tanpa bayaran. Relawan yang antusias mengisi buku tamu pengunjung. Bahkan polisi yang biasanya galak di pos pemeriksaan, tiba-tiba ramah menyodorkan gorengan. Sekarang, kalau ada posko pun, lebih mirip formalitas. Tenda kosong, panitia lebih banyak main HP, dan pemudik lewat begitu saja.
Kenapa posko mudik kehilangan pesonanya? Salah satu jawabannya: kita sudah terlalu dimanjakan teknologi. Dulu, pemudik butuh tempat istirahat karena navigasi masih pakai peta fisik, HP cepat lowbat, dan SPBU jarang. Sekarang? Google Maps bisa kasih tahu resto terdekat, power bank menjamur, dan SPBU buka 24 jam. Posko mudik jadi terasa kurang relevan.
Tapi bukan cuma soal teknologi. Dulu, posko mudik adalah ajang branding perusahaan yang riil terasa. Operator seluler berlomba-lomba dapat simpati dengan memberi layanan gratis. Sekarang, branding lebih banyak terjadi di dunia digital. Buat apa repot-repot pasang tenda di pinggir jalan kalau bisa viralkan hashtag #MudikAman di Twitter?
Ada juga faktor perubahan perilaku pemudik. Dulu, mudik adalah perjalanan marathon yang harus dinikmati pelan-pelan. Sekarang, semua ingin cepat sampai. Motor dibikin ngebut, mobil pakai tol trans-Jawa. Tak ada lagi waktu untuk mampir posko sekadar ngopi-ngopi ala pemudik 2000-an.
Jangan lupa, dulu posko mudik adalah proyek gengsi pemerintah daerah. Bupati dan walikota berlomba-lomba menyambut pemudik dengan tenda megah. Sekarang, mungkin anggarannya dialihkan untuk bayar influencer endorsemen. Atau sekadar dianggarkan di atas kertas, tapi realisasinya sekadarnya.
Tapi yang paling terasa hilang adalah nuansa gotong royongnya. Dulu, posko mudik sering diisi relawan yang benar-benar tulus membantu. Sekarang, lebih banyak proyek instan—dibayar sekian hari, kerja sekadarnya. Jiwa sukarelawan yang dulu menghangatkan posko, kini menguap digantikan transaksi formal.
Padahal, sebenarnya kebutuhan akan posko mudik tak pernah hilang. Masalahnya, bentuknya mungkin harus berubah. Pemudik sekarang butuh charging station cepat, WiFi gratis, atau tempat istirahat yang benar-benar nyaman. Bukan sekadar tenda pengap dengan teh manis yang sudah dingin.
Ada satu hal yang mungkin terlupa: posko mudik dulu adalah tempat berbagi cerita. Pemudik dari berbagai daerah bertemu, ngobrol, saling tukar pengalaman. Sekarang, setiap orang sibuk dengan gadget-nya sendiri. Interaksi itu mati, dan posko kehilangan salah satu ruhnya.
Mungkin ini soal generasi. Pemudik era 2000-an masih menikmati proses, sementara generasi sekarang lebih suka efisiensi. Dulu, berhenti di posko adalah bagian dari petualangan mudik. Sekarang, itu dianggap pemborosan waktu.
Tapi jangan salahkan pemudiknya. Sistem transportasi kita memang berubah. Dulu, jalur pantura adalah satu-satunya pilihan. Sekarang, ada tol, ada pesawat murah, ada kereta cepat. Posko-posko di pinggir jalan jadi terpinggirkan secara alami.
Lalu apa yang tersisa dari nostalgia posko mudik? Mungkin hanya foto-foto lama di media sosial, atau cerita orang tua yang bilang, "Dulu, mudik itu lebih berwarna." Kini, yang ada hanya jalanan panjang dengan pom bensin dan minimarket seragam.
Sebenarnya, beberapa komunitas masih bertahan menggelar posko mudik. Tapi skalanya kecil, dan lebih banyak bergantung pada donasi pribadi. Tak ada lagi gebyar perusahaan besar atau pemerintah daerah. Semua serba swadaya, serba terbatas.
Mungkin inilah konsekuensi kemajuan. Banyak hal menjadi lebih praktis, tapi sesuatu yang hangat dan personal perlahan menghilang. Posko mudik adalah salah satu korban dari efisiensi modern—digantikan oleh aplikasi, rest area, dan layanan digital.
Tapi saya masih ingin percaya bahwa semangat posko mudik belum mati. Hanya berubah bentuk. Sekarang, mungkin wujudnya bukan lagi tenda di pinggir jalan, tapi media sosial yang saling bantu info macet, atau warung makan yang dengan ikhlas memberi diskon untuk pemudik.
Yang pasti, generasi 2000-an akan selalu punya cerita tentang posko mudik. Tentang teh hangat di tengah hujan, tentang senyum relawan yang menyambut, tentang rasa lelah yang terobati oleh keramahan orang asal. Itu tak bisa digantikan oleh teknologi apa pun.
Dan mungkin, suatu saat nanti, ketika segala sesuatu sudah serba digital, akan ada yang merindukan tenda-tenda sederhana di pinggir jalan itu. Seperti sekarang, kita merindukan masa di mana mudik bukan sekadar sampai tujuan, tapi juga menikmati perjalanannya.
0 comments