ANIES BASWEDAN DAN RAMADAN 2025 ; MAGNET INTELEKTUAL MUDA YANG TAK PADAM

Baca Juga

Ramadan 2025 menjadi bulan yang istimewa bagi Anies Baswedan. Meski tidak lagi menjabat sebagai gubernur, apalagi berkandidat dalam kontestasi politik, namanya tetap menjadi buah bibir di kalangan intelektual muda. Fenomena ini terlihat jelas ketika Anies diundang sebagai pembicara di masjid-masjid kampus besar seperti UGM dan ITB. Kehadirannya selalu membludak, berbeda dengan pembicara lain yang mengisi acara serupa di hari-hari sebelumnya atau sesudahnya. Apa yang membuat Anies begitu istimewa? Mengapa ia masih menjadi magnet bagi anak-anak muda terdidik, bahkan di tengah ketiadaan jabatan politik?

Pertama, Anies memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa. Ia bukan sekadar orator ulung, melainkan juga seorang pendidik yang mampu menyampaikan gagasan kompleks dengan bahasa yang mudah dicerna. Di masjid kampus UGM, misalnya, Anies menyoroti bahwa pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga harus dimulai dari lingkungan keluarga. Pola asuh yang baik akan membentuk individu yang lebih bertanggung jawab dan memiliki nilai moral yang kuat. Sebagai pesan penutup, Anies mengajak para mahasiswa untuk menjadikan pendidikan sebagai gerakan yang berdampak luas. Ia menekankan pentingnya berbagi pengalaman dan inspirasi kepada saudara-saudara di daerah yang memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan. Pesan ini menyentuh hati banyak mahasiswa, karena tidak hanya berbicara tentang teori, tetapi juga mengajak mereka untuk bertindak nyata.

Anies di Masjid UGM (Foto : Tiktok)

Kedua, Anies memiliki kemampuan untuk menyentuh hati dan nalar sekaligus. Di ITB, ia menyampaikan tentang sejarah demokrasi, yang sudah tercatat dalam peradaban Islam, seharusnya menjadi pedoman dalam menghadapi tantangan zaman. Demokrasi bukan sekadar soal sistem pemerintahan, tetapi lebih kepada ekosistem yang harus terjaga dengan masyarakat yang cerdas, kritis, dan peduli. Mengutip contoh pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW di Madinah, yang menggunakan musyawarah sebagai metode pengambilan keputusan, Anies mengajak umat memahami bahwa demokrasi di Indonesia harus didorong oleh partisipasi aktif dari setiap lapisan masyarakat.

Beliau pun menyampaikan bahwa untuk menjaga ekosistem demokrasi yang sehat, masyarakat harus lebih peduli dan aktif dalam pengambilan keputusan. Jika apatis dan enggan berpikir kritis, demokrasi dapat kehilangan arah. Anies mengingatkan, berpikir kritis bukan berarti selalu menolak atau mencurigai, tetapi lebih kepada kemampuan untuk memahami secara mendalam dan mengambil keputusan yang tepat.

Ketiga, Anies memiliki aura yang sulit ditiru oleh tokoh-tokoh lain. Bandingkan, misalnya, dengan ceramah yang disampaikan oleh tokoh-tokoh lain yang juga diundang ke masjid kampus UGM dan ITB. Meski mereka memiliki pengalaman dan wawasan yang luas, gaya penyampaian mereka seringkali terasa kaku atau terlalu formal. Anies, sebaliknya, mampu menciptakan suasana yang hangat dan interaktif. Ia sering melontarkan humor segar yang tidak mengurangi kedalaman materi yang disampaikan. Di UGM, misalnya, ia bercanda tentang bagaimana dirinya sering disalahpahami sebagai "calon presiden abadi", yang langsung memecah tawa hadirin. Humor seperti ini membuatnya terlihat lebih manusiawi dan dekat dengan audiens.

Keempat, Anies memiliki kemampuan untuk merespons tantangan zaman dengan gagasan-gagasan segar. Di era di mana banyak anak muda merasa kehilangan arah dan identitas, Anies hadir dengan narasi yang menyejukkan sekaligus mencerahkan. Ia tidak hanya berbicara tentang masalah-masalah keagamaan, tetapi juga isu-isu sosial, politik, dan lingkungan. Misalnya, dalam ceramahnya di ITB, ia menyoroti pentingnya generasi muda untuk terlibat dalam pembangunan berkelanjutan. 

Kelima, Anies memiliki integritas yang diakui banyak kalangan. Meski tidak lagi menjabat, ia tetap konsisten dengan nilai-nilai yang diperjuangkannya. Ia tidak terlihat tergesa-gesa untuk kembali ke panggung politik, melainkan fokus pada kegiatan-kegiatan yang ia yakini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Sikap ini membuatnya dipandang sebagai figur yang tulus, bukan sekadar pencari kekuasaan. Hal ini kontras dengan beberapa tokoh lain yang, meski masih aktif, justru kehilangan kredibilitas karena dinilai terlalu pragmatis.

Lalu, bagaimana dengan tokoh-tokoh lain yang juga diundang untuk mengisi kuliah Ramadan di masjid kampus UGM dan ITB? Misalnya, seorang menteri yang dikenal sebagai akademisi ternama atau seorang tokoh agama yang memiliki basis massa yang kuat. Meski mereka memiliki kapasitas dan pengalaman yang mumpuni, respons audiens tidak sefenomenal saat Anies yang mengisi. Acara yang dihadiri Anies selalu dipadati oleh mahasiswa dan anak muda, sementara tokoh-tokoh lain hanya menarik segelintir audiens. Ini menunjukkan bahwa Anies memiliki daya tarik yang unik, yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh lain.

Salah satu faktor yang membuat Anies begitu populer di kalangan anak muda terdidik adalah kemampuannya untuk merangkul generasi muda dengan cara yang autentik. Ia tidak hanya berbicara tentang teori-teori besar, tetapi juga memberikan contoh-contoh praktis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam ceramahnya di UGM, ia menceritakan bagaimana ia dan timnya berhasil mengubah sistem transportasi di Jakarta dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Cerita-cerita seperti ini membuat audiens merasa bahwa apa yang ia sampaikan bukan sekadar wacana, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan.

Di sisi lain, ada tokoh-tokoh yang seharusnya memiliki kapasitas untuk menarik perhatian anak muda, tetapi justru absen dari forum-forum intelektual dan akademis. Misalnya, Wakil Presiden yang hingga saat ini belum pernah sekalipun hadir berdiskusi di kampus-kampus besar. Padahal, forum-forum seperti ini adalah kesempatan emas untuk berinteraksi langsung dengan generasi muda dan mendengarkan aspirasi mereka. Bahkan, pada saat Muhammadiyah mengundang semua capres dan cawapres untuk berdiskusi di forum akademis, hanya dia yang tidak hadir. Padahal, forum tersebut bukanlah debat kusir, melainkan diskusi yang bersifat intelektual dan akademis. Ketidakhadirannya ini menimbulkan pertanyaan: mengapa tokoh-tokoh seperti ini tidak memanfaatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan anak muda, sementara Anies justru menjadi magnet yang selalu dinantikan?

Fenomena Anies di Ramadan 2025 ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran tokoh-tokoh sipil dalam membangun narasi kebangsaan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi politik, figur seperti Anies menjadi semacam oase yang memberikan harapan. Ia tidak hanya berbicara tentang masalah-masalah keagamaan, tetapi juga isu-isu kebangsaan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini membuatnya tidak hanya digemari oleh kalangan religius, tetapi juga oleh mereka yang peduli dengan masa depan bangsa.

Pada akhirnya, fenomena Anies Baswedan di Ramadan 2025 adalah bukti bahwa popularitas tidak selalu identik dengan kekuasaan. Anies menunjukkan bahwa dengan integritas, kecerdasan, dan kemampuan komunikasi yang baik, seorang tokoh tetap bisa menjadi magnet yang menarik perhatian banyak orang. Ia tidak hanya menjadi pengingat akan pentingnya nilai-nilai keagamaan, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai itu dapat diwujudkan dalam tindakan nyata untuk kemajuan bangsa. Dan di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, sosok seperti Anies adalah penyejuk yang langka dan sangat dibutuhkan.

Share:

0 comments