POLITIK PRAGMATIS vs POLITIK GAGASAN: REFLEKSI DAN HARAPAN DI TENGAH PESTA DEMOKRASI

Baca Juga

Pesta demokrasi Indonesia yang digelar setiap beberapa tahun sekali, tak hanya merupakan perayaan kebebasan berpendapat dan hak pilih, tapi juga memperlihatkan sebuah fenomena yang telah menjadi bagian dari ritme konstelasi politik di negara ini. Antrean warga di TPS yang bergelombang, menunggu giliran dengan segenggam harapan, mencerminkan partisipasi yang kuat. Namun, berdampingan dengan antusiasme tersebut, ada pula praktik distribusi kaos dan sembako yang telah merekat kuat dengan momen pemilihan. Praktik-praktik ini menggambarkan sebuah potret kontras antara aspirasi demokratis dan realitas politik transaksional.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Di mana seharusnya politik gagasan berdiri, acapkali lenyap ditelan praktik pragmatis—politik yang berlandaskan pada kepentingan langsung tanpa memikirkan ideologi atau dasar pemikiran jangka panjang. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara ide demokrasi sebagai wadah aspirasi rakyat dengan realitas di mana politik kebendaan mendominasi. Masyarakat, pada beberapa kesempatan, cenderung melupakan pentingnya sebuah gagasan untuk masa depan yang lebih baik, dan menarik garis lurus menuju pada apa yang bisa dilihat dan dipegang hari itu juga.

Pencitraan telah menjadi alat kuasa yang tak terpisahkan dari kampanye politik. Para politisi berlomba-lomba membangun imej yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Di satu sisi, ini adalah sebuah evolusi alamiah dalam politik modern dimana media massa dan sosial menjadi penghubung antara pemimpin dengan rakyat. Akan tetapi, ketika pencitraan mengambil alih esensi debat politik, terdapat risiko bahwa yang tersampaikan hanyalah janji-janji tanpa landasan konseptual yang kuat dan realistis. Politik pragmatis melakukan sedikit untuk mengajak rakyat merenung lebih dalam tentang masa depan yang mereka cita-citakan.

Sebaliknya, politik gagasan seyogianya menjadi bekal dalam perjalanan berdemokrasi. Konsep-konsep matang mengenai pemerintahan, penegakan hukum, pengelolaan sumber daya alam, serta pembangunan sosial ekonomi harusnya menjadi fokus debat publik. Politik tidak seharusnya hanya sekadar tentang pertunjukan yang memukau di permukaan, namun juga harus kaya akan diskusi mengenai framework kebijakan yang terukur dan berkelanjutan. Namun apa daya, wacana substantif ini seringkali kalah gemerlap dibandingkan dengan praktik pragmatis yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh pemilih.

Dilema antara politik pragmatis dan politik ideologi ini menimbulkan pertanyaan yang krusial: bagaimana kita sebagai bangsa dapat melangkah ke depan jika fondasi politik kita masih goyah dan rentan terhadap imbalan jangka pendek? Wajah demokrasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kita dapat mengintegrasikan politik gagasan ke dalam praktik politik sehari-hari. Mesti ada usaha lebih dari semua pihak, baik pemilih maupun yang dipilih, untuk mengedepankan substansi dan visi yang tergerak oleh kepentingan bersama, bukan hanya untuk memenangkan pertarungan elektoral sementara.

Kaos, nasi, dan sembako yang dibagikan bukanlah sekadar objek benda, melainkan simbolik dari kebutuhan dasar yang masih belumlah terpenuhi secara merata di berbagai daerah. Dalam skenario politik saat ini, mudah untuk melihat cara tersebut sebagai bentuk real dari solusi permasalahan: langsung, nyata, dan dapat dipegang.

Namun demikian, kita patut bertanya, apakah dapat benar-benar menyelesaikan masalah jangka panjang masyarakat kita? Jawabannya, sayangnya, negatif.

Pandangan ini mengakar pada dua faktor utama. Pertama, lemahnya edukasi politik di kalangan pemilih, yang berakibat pada ketidaksadaran tentang betapa kritisnya politik ide dan gagasan untuk perkembangan bangsa. Kedua, adanya preferensi instan pada solusi jangka pendek daripada pemikiran ke depan yang matang dan berkelanjutan.

Swing Voters dan Politik Singkat

Di antara voters demokrasi kita, ada kelompok yang disebut sebagai "swing voters", pemilih tidak tetap yang keputusannya bisa menentukan arah hasil pemilu. Swing voters dengan latar belakang pendidikan menengah ke bawah sering kali memilih kandidat yang dapat memberikan kepastian dalam bentuk konkret, seperti kaos dan nasi kotak. Di sini, politik dibenturkan pada realitas yang pragmatis: pemilih membutuhkan jawaban atas krisis hariannya, bukan janji manis untuk masa depan yang belum tentu datang.

Ini mencerminkan suatu fenomena yang lebih dalam—kurangnya kepercayaan atau minat terhadap politik gagasan. Ketiadaan pengetahuan politik yang komprehensif merefleksikan kondisi sosial dimana gagasan tidak teralihkan menjadi perubahan yang nyata dalam kehidupan mereka. 

Politik tingkat tinggi yang seharusnya bergulir di bidang ide dan strategi, dengan berani mengutamakan program kerja yang inovatif dan realistis, malah mengalami pengkerdilan. Praktik ini, yang seharusnya menjadi panggung bagi diskusi ide-ide besar yang akan membentuk masa depan bangsa, nyatanya tereduksi menjadi transaksi jangka pendek antara calon dan pemilih.

Politik Bermartabat: Sebuah Harapan

Jika ini keadaanya, apa yang sebenarnya bisa kita lakukan? Bagaimana kita membawa politik kembali ke esensinya yang lebih mulia: sebuah usaha bersama untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bersama?

Pertama, perbaikan harus dimulai dari pendidikan politik. Pemilih perlu disadarkan bahwa politik adalah lebih dari sekadar transaksi; itu adalah proses memilih wakil yang akan mengambil keputusan penting atas nama mereka.

Pendidikan politik yang efektif haruslah inklusif, yang tidak hanya mencakup mereka yang telah terjangkau oleh fasilitas pendidikan formal, tapi juga masyarakat yang berada di pinggiran kebijakan publik. Ini berarti harus ada usaha berkelanjutan dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga kelompok aktivis untuk memberikan penyuluhan politik hingga ke desa terpencil.

Kedua, kampenye politik harus diwajibkan untuk transparan dan berorientasi pada gagasan serta program kerja, bukan berdasarkan hibah sosial semata. Hal ini berarti undang-undang pemilu perlu diperkuat untuk membatasi praktik politisasi sembako dan memperkenalkan sanksi yang memadai bagi yang melanggar.

Ketiga, perlu ada fasilitasi debat publik yang memberi kesempatan bagi calon pemimpin untuk mempresentasikan dan membahas gagasan mereka di hadapan publik. Media massa harus ikut serta dalam menciptakan ruang bagi para kandidat untuk berkontribusi pada diskursus publik, bukan hanya dijadikan alat kampanye.

Menuju Demokrasi yang Substansial

Akhirnya, masyarakat perlu diajak untuk berpikir dan bertindak melampaui siklus pemilu. Kita harus membangun kultur politik yang mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari pilihan politik kita. Demokrasi seharusnya bukan sekedar tentang memilih pemimpin, melainkan tentang pembangunan masa depan bersama, di mana setiap suara tidak hanya dihitung, tetapi juga diperhitungkan.

Membangun politik yang bermartabat dan esensial adalah tugas kita bersama. Ini tidak hanya akan mengubah cara kita memilih, tetapi juga cara kita memandang tanggung jawab kita sebagai warganegara. Ketika kita semua—pemilih, politisi, penyelenggara pemilu, dan aktivis—bersatu padu dalam ruang wacana yang mengedepankan kejujuran, integritas, dan visi yang jauh ke depan, hanya saat itulah kita akan bisa menyaksikan kemajuan nyata dalam praktik demokrasi kita. 

Kesadaran kolektif kita sebagai bangsa harus berkembang, membentuk warga negara yang tidak hanya pasif menerima janji-janji manis di panggung politik, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam proses penciptaan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Selayaknya jam pasir yang terus berputar, saatnya kita membalikkan paradigma politik kita; daripada menjadi pembeli suara yang pasif, haruslah kita menjadi pelaku perubahan yang aktif. Pemimpin yang kita dambakan haruslah menjadi inspirator dan fasilitator bagi masyarakat untuk mencapai aspirasi kolektif yang lebih tinggi, membimbing arah perubahan dengan visi yang jelas dan etika yang tak tergoyahkan, yang pada akhirnya akan membawa kita ke politik yang lebih matang dan produktif.

Pemilih pun memegang peranan yang sama pentingnya dalam mendorong politik yang berorientasi pada inovasi dan perkembangan. Tidak cukup hanya dengan menggunakan hak pilih setiap beberapa tahun sekali; kewajiban moral kita adalah untuk tetap terinformasi, terlibat, dan kritis terhadap proses politik antar pemilihan. Setiap warga harus memandang diri sebagai penjaga demokrasi, yang terus-menerus mengingatkan para pemimpin tentang tanggung jawab yang melekat pada jabatan publik mereka. Dengan ketajaman pikiran dan keberanian moral untuk bertanya serta menuntut lebih, pemilih dapat mengubah narasi dari yang seringkali sinis menjadi konstruktif, membuka jalan bagi politik yang bertumpu pada prinsip dan substansi, bukan sekadar retorika atau kepentingan sesaat.

Perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Transformasi dari sistem politik transaksional ke transformasional bukanlah perjalanan yang singkat atau mudah. Namun, komitmen kolektif kita untuk memperjuangkan esensi demokrasi yang sejati—penghargaan terhadap ide, integritas dalam tindakan, dan keterlibatan aktif dari masyarakat—akan menjadi cikal bakal lahirnya era politik yang baru. Hal ini menegaskan kembali bahwa dalam dunia demokrasi, kekuatan sejati terletak pada tangan rakyat yang berdaulat. Dengan senantiasa memupuk nilai-nilai ini, kita tidak hanya meninggalkan warisan politik yang lebih sehat bagi generasi mendatang, tetapi juga mengambil peran dalam skala sejarah, menciptakan masyarakat yang lebih beradab, adil, dan sejahtera bagi semua.

Share:

0 komentar