OBRAL GELAR HONORIS CAUSA DAN LUNTURNYA INTEGRITAS PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

Baca Juga

Pemberian gelar honoris causa telah lama menjadi tradisi di banyak universitas di dunia sebagai bentuk penghargaan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan pada suatu bidang atau masyarakat secara umum. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, tradisi ini mulai menuai kontroversi, khususnya ketika gelar-gelar tersebut diberikan kepada politikus yang sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali dipertanyakan. Kritik yang muncul bukan tanpa alasan; gelar tersebut seharusnya bukan menjadi alat pemuasan ego atau sekadar ajang pencitraan, melainkan sebuah simbol pengakuan terhadap dedikasi dan kerja keras di bidang akademis atau sosial.

Ilustrasi (Gambar : Teknokra/Istimewa)

Fenomena yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini mencerminkan pergeseran nilai dari apa yang seharusnya merupakan suatu prestasi akademik menjadi lebih serupa dengan instrumen politis. Sejumlah lembaga pendidikan tinggi tampaknya telah melonggarkan kriteria dan proses pemberian gelar ini, yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan tentang standar akademis dan integritas mereka. Pemberian gelar honoris causa menjadi semacam 'transaksi' yang mengorbankan etika akademik karena tidak lagi murni didasarkan pada pencapaian akademis atau kontribusi nyata. 

Pandangan skeptis dari masyarakat ilmiah dan publik terhadap 'obral' gelar honoris causa ini bukanlah tanpa dasar. Di satu sisi, penghargaan tersebut bisa jadi salah satu cara untuk memperkuat hubungan antara universitas dan berbagai elemen masyarakat, termasuk politik. Di sisi lain, kenyataan bahwa beberapa penerima gelar hanya terlibat secara minimal atau tidak memiliki karya substansial di bidang terkait, menimbulkan keraguan terhadap legitimasi pemberian gelar tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya transparansi proses seleksi yang diterapkan oleh beberapa universitas, merusak citra akademis yang seharusnya dijunjung tinggi.

Kritikan tajam juga datang dari alumni dan mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan tingginya dengan usaha keras dan penelitian mendalam. Bagi mereka, melihat individu di luar komunitas akademik menerima penghargaan yang sama tanpa proses yang setara dirasa sebagai pengurangan nilai dari prestasi dan usaha yang telah mereka curahkan. Dampak psikologis dari fenomena ini tidak bisa diabaikan, dimana bisa melahirkan persepsi bahwa pencapaian akademik bisa didapatkan melalui jalur 'pintas', sehingga mengurangi motivasi dalam mengejar keunggulan akademis yang sesungguhnya.

Kritik akan 'obral' gelar honoris causa di Indonesia ini semestinya menjadi perhatian serius bagi pengelola pendidikan tinggi. Penting untuk kembali ke prinsip dasar dimana gelar akademis diberikan berdasarkan merit akademik dan kontribusi yang nyata. Lembaga pendidikan tinggi harus secara ketat menilai setiap calon, memastikan bahwa mereka benar-benar layak dan telah memberikan sumbangsih yang berarti, sebelum memutuskan untuk menganugerahkan gelar tersebut. Mengevaluasi ulang prosedur dan memperkuat integritas proses seleksi bisa menjadi langkah awal dalam mengembalikan esensi dan prestise gelar honoris causa yang sesungguhnya.

Kritik Terhadap Gelar Honoris Causa

Gelar honoris causa, yang dalam bahasa Latin berarti "sebab kehormatan," merupakan penghargaan yang bersejarah dan berprestise yang diberikan oleh universitas kepada seseorang yang dianggap telah memberikan kontribusi nyata dan signifikan kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan. Ironisnya, dalam praktiknya di Indonesia, gelar ini sering kali diberikan kepada politikus yang kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan sering kali tidak jelas atau kurang substansial.

Problematika yang Muncul

Kondisi ini menimbulkan beberapa masalah utama. Pertama, inflasi gelar honoris causa yang tidak sebanding dengan kontribusi penerima dapat mengurangi prestasi akademik dan merendahkan nilai ilmu pengetahuan. Kedua, menghilangnya batas yang jelas antara kepentingan akademis dan politik dapat menurunkan kredibilitas universitas. Ketiga, praktik semacam ini dapat meningkatkan persepsi masyarakat bahwa gelar akademik bisa diperoleh melalui jalur non-akademik, yakni melalui jaringan dan pengaruh politis.

Kasus Pemberian Gelar Honoris Causa kepada Politikus

Tidak jarang kita mendengar berita tentang politikus yang menerima gelar honoris causa dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia. Langkah ini kerap menjadi bahan perdebatan karena tidak selalu diikuti dengan bukti kontribusi ilmiah yang jelas dari penerima gelar. Sebagian pihak berargumen bahwa ini dilakukan lebih karena pertimbangan politik atau untuk membangun hubungan yang baik antara universitas dengan pemerintah atau lembaga tertentu.

Dampak Terhadap Marwah Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi pilar utama penegakan martabat ilmu pengetahuan. Ketika gelar Honoris Causa dilempar begitu saja tanpa pertimbangan yang matang, secara tidak langsung dia telah merobek marwah pendidikan. Hal ini dapat menimbulkan keraguan dalam komunitas akademik dan masyarakat luas tentang integritas lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita.

Urgensi Peran Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi berperan penting dalam menciptakan inovasi dan pengetahuan baru. Namun, lembaga ini harus didukung oleh sistem penilaian yang obyektif dan merdeka dari intervensi politik, dimana keputusan-keputusan akademik harus berdasar pada prestasi dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.

Menuju Reformasi Pemberian Gelar

Agar universitas dapat kembali ke jalurnya dalam memperkuat fondasi ilmu dan teknologi, terdapat beberapa langkah yang harus dipertimbangkan:

  1. Ketatkan Kriteria Pemilihan: Universitas harus memperketat kriteria pemilihan penerima gelar Honoris Causa. Harus ada prasyarat yang jelas dan detail mengenai kontribusi sains, sosial, atau kemanusian.
  2. Proses Seleksi yang Transparan: Proses seleksi penerima gelar harus dijalankan dengan transparansi dan tanggung jawab, menghindarkan dari intervensi eksternal manapun.
  3. Pertimbangan Akademis Sejati: Pemberian gelar harus berbasis pada pertimbangan akademik yang autentik, bukan karena kekuatan politik atau kepentingan pribadi.
  4. Pendidikan Publik tentang Standar Akademis: Harus ada upaya untuk mendidik publik tentang standar akademik dan pentingnya pemberian gelar atas dasar merit.
  5. Penghargaan bagi Ilmuwan dan Peneliti: Prioritaskan pemberian penghargaan kepada ilmuwan dan peneliti yang sumbangsihnya kepada ilmu pengetahuan sangat jelas.

***

Obral gelar Honoris Causa kepada kalangan politikus tanpa pertimbangan yang matang bukan hanya merendahkan nilai ilmu pengetahuan, tetapi juga melemahkan fondasi pendidikan tinggi kita. Marwah pendidikan tinggi harus dipertahankan dengan menegakkan kembali integritas akademik dan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah. Hanya dengan demikian, universitas dapat kembali menjadi benteng pengetahuan yang otentik yang mampu memberikan sumbangsih nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Share:

0 komentar